Masariku Network, 28 Februari 2006
Terbaik atau Tarbae?
Serba Serbi Penanganan Pengungsi Maluku
Oleh: Jacky Manuputty
Ketua Posko Penanganan Pengungsi Provinsi Maluku ketika menanggapi saudara
Made Rahman Marasabessy, dengan lantang mengatakan penanganan pengungsi
Maluku adalah yang terbaik di Indonesia. Indikatornya adalah adanya juknis dan
payung hukum, serta pujian dari presiden SBY dan Mensos. Terkait dengan aspek
hukum telah saya katakana pada tulisan sebelumnya bahwa mekanisme penanganan
pengungsi bisa saja memenuhi aspek kepastian hukum, dengan adanya payung
hukum dan juknis pemprov Maluku. Meskipun demikian saya haqqul yakin kalau
semua pendekar hukum pahami persis, bahwa aspek kepastian pelaksanaan hukum
dan aspek pemenuhan rasa keadilan masyarakat, adalah dua aspek tak terpisahkan
dari aspek kepastian hukum. Artinya ketiga aspek itu pada dirinya, memiliki
interrelasi yang inheren sebagai sebuah keutuhan bangun hukum. Disini saya lalu
pahami posisi gugatan saudara Made Rahman Marasabessy SH, yang menohok
mekanisme penanganan pengungsi dari aspek kepastian pelaksanaan hukum dan
pemenuhan rasa keadilan masyarakat (dalam hal ini komunitas pengungsi). Saya
juga lalu maklumi gugatan simultan para pengungsi di Maluku, berdasarkan
tercabiknya rasa keadilan mereka terhadap sekian banyak penyimpangan yang terjadi
dalam implementasi kebijakan penanganan pengungsi.. Sebaliknya kegelian
menggelitik dan menggeliatkan saya, manakala seorang pejabat publik selevel
assisten gubernur menggunakan indikator pujian presiden dan seorang mensos,
untuk mengimpresikan berhasilnya payung hukum dan juknis penanganan pengungsi.
Ini yang katong bil! ang 'dunya su tabula bale'. Logika hukum dijungkirbalikan dan
dipaksa memasuki ruang impresi kolektif publik. Namun ini bisa dimengerti, bila
sebuah ruang publik cenderung dikuasai oleh korporasi para hipokrit. Dalam situasi
itu sah-sah saja kalau amanah jabatan dipertangung-jawabkan bukan di atas dasar
spiritualitas kemanusiaan, tetapi sebaliknya berdasarkan spiritualitas kekuasaan.
Seluruh indikator keberhasilan ditentukan berdasarkan otoritas kekuasaan. Dan
rakyat kecil, 'koe sapa?, cuma wong cilik kok'.
Memandang Dari Lapangan
Kalau indikator keberhasilan harus diukur berdasarkan implementasi kebijakan serta
juknis dan segala payung hukumnya di lapangan, maka sudah pasti stake holder
utama yang harus didengar adalah penilaian pengungsi sendiri serta semua elemen
publik lainnya yang bekerja sebagai stake holder diantara masyarakat. Khususnya
mereka yang bekerja diantara para pengungsi.
Mendengar keluhan pengungsi dan warga masyarakat biasa tentunya bukan lagi
perkara baru. Tidak ada pengungsi yang tak mengeluh, kecu! ali para pengungsi
siluman yang mengambil untung dari kelemahan mekanisme pendataan. Keluhan
yang mewujud melalui protes yang disampaikan baik secara santun maupun
terkadang cenderung anarkis. Di negeri ini keluhan dan protes pengungsi telah
memenuhi atmosfir, serta menjadi polusi bagi setiap tarikan nafas. Karenanya tidak
lagi up to date kalau dalam tulisan ini saya mengungkap berbagai keluhan pengungsi,
sebagai salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan penanganan pengungsi,
yang 'katanya' dipuja-puji presiden dan mensos. Adalah lebih menarik melihat
penilaian lembaga-lembaga masyarakat yang mengalokasikan sedikit kepeduliannya
untuk memotret masalah ini. Berikut ini saya mengutip beberapa saja dari laporan,
ataupun komentar beberapa lembaga terkait dengan persoalan pengungsi.
DPD KNPI Maluku
Dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan DPD KNPI Maluku telah membentuk
semacam desk khusus untuk mengeksplorasi permasalahan pengungsi di Maluku.
Pembentukan desk khusus itu diikuti dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi
permasalahan pengungsi pada beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Maluku sejak
awal tahun ini. Dalam pemberitaan media Ambon Ekspres tgl 23 Februari 2006,
dipublikasikan secara terbatas beberapa informasi hasil monitoring lapangan DPD
KNPI Maluku. Beberapa data temuan y! ang dipublikasi memberi impresi yang cukup
kuat bahwa bagusnya juknis dan payung hukum lainnya, ternyata tak didukung
dengan bagusnya implementasi penanganan di lapangan. Jelasnya mekanisme
penanganan dipenuhi berbagai masalah yang ujung-ujungnya merugikan komunitas
pengungsi. Dengan tegas DPD KNPI Maluku mengancam akan melapor ke polisi, bila
kesemerawutan ini tak segera ditangani. Sikap DPD KNPI Maluku dipertegas melalui
wawancara khusus Ketua DPD KNPI Maluku dengan TVRI station Ambon, yang
dipublikasi melalui segmen berita daerah tanggal 24 Pebruari 2006. Dengan tegas
Ketua DPD KNPI Maluku menyatakan keberpihakannya secara institutional terhadap
koreksi sosial yang dilakukan oleh sekelompok komponen pemuda Maluku, melalui
demonstrasi bersama pengungsi yang diusung ke DPRD Provinsi Maluku pada hari
yang sama. Sikap ini setidaknya menjadi penegasan bahwa gerakan pemuda sebagai
moral force bagi penguatan civil society masih tetap hidup dan berkembang.
Sekalipun juga tak terpungki! ri bahwa banyak pula diantara mereka telah meludahi
spirit Rengasdengklok, dan mengencingi roh reformasi, atas nama kegilaan terhadap
trend hidup instant dan hedonis. Bagaimanapun juga penegasan ini dengan serta
merta melambungkan harapan yang tinggi terhadap kontinuitas dan konsistensi sikap
jajaran DPD KNPI Maluku, untuk turut memperkaya varian-varian advokasi bagi para
pengungsi di Maluku.
PANSUS A Penanganan Pengungsi
DPRD Provinsi Maluku
Saat ini Pansus Penanganan Pengungsi pada DPRD Provinsi Maluku sementara
menyelesaikan laporan final hasil monitoring dan evaluasi penanganan pengungsi
Maluku, berdasarkan hasil kunjungan mereka ke berbagai kabupaten dan kota.
Sekalipun disesalkan bahwa dalam 12 point daftar isi draft laporan pansus tidak
secara khusus memberi ruang untuk pemaparan fakta-fakta lapangan (dari proses dan
kerja pansus pada point 8 daftar isi, melompat langsung kepada hasil penilaian
pansus pada point 9 daftar isi), namun tetap menarik untuk mencermati hasil
penilaian 22 anggota pansus. Berikut beberapa kutipan hasil penilaian pansus,
berdasarkan laporan sementara hasil kerja pokja-pokja didalam pansus, yang kami
peroleh dari salah seorang anggota pansus! .
Point No.2, hal.8.
Pembentukan Posko Penanganan Pengungsi Provinsi Maluku dengan Keputusan
Gubernur Maluku No 1233 Tahun 2004, tanggal 25 Mei 2004 dinilai tidak maksimal
dalam melaksanakan tugasnya. Penyebabnya adalah keterbatasan tenaga lapangan,
kurang koordinasi dengan aparat Kecamatan maupun petugas koordinator pada
tiap-tiap lingkungan dimana pengungsi berada. Disamping itu kurang tanggap terh!
adap sejumlah tuntutan/protes dari pengungsi mengakibatkan terjadinya perubahan
data pengungsi. Apalagi petugas-petugas lapangan juga tidak jujur.
Point No.3, hal 8.
Penanganan pengungsi oleh Posko dengan cara pembagian tugas kepada tiga
instansi yaitu Dinas PU, Dinas Nakertrans, dan Dinas Sosial terkesan tidak serius,
bahkan tidak fokus pada satu kebijakan (policy). Artinya tidak melalui satu pintu yait!
u Posko Penanganan Pengungsi. Kondisi demikian berakibat pada perbedaan data,
ketepatan penyelesaian, kualitas bangunan, bahkan terjadi kecurangan-kecurangan
dalam pembagian hak-hak pengungsi.
Point No.5, hal 9.
Bahwa proses penanganan pengungsi oleh Pemerintah Provinsi yang jatuh tempo
tanggal 15 September 2005, tidak mungkin terselesaikan karena masih banyak
kendala ditemukan di lapangan. Misalnya masih t! erdapat adanya rumah pengungsi
yang belum terdata sesuai dengan peta blok. Akibatnya harus diperpanjang sampai
Desember 2005, namun juga tak selesai, sehingga Pemerintah Provinsi menunda
sampai Januari 2006 juga belum selesai.
Point No.6, hal 9.
Pemberian kewenangan secara tekhnis khusus kepada Pemerintah Kabupaten untuk
menangani dan menyelesaikan persoalan pengungsi di Kabupaten masing-masing,
ternyata menimbulkan masalah-masalah baru, seperti koordinasi, pendataan, kualitas
pembangunan rumah, manipulasi oleh rekanan/kontraktor dalam kaitan dengan
pengadaan bahan bangunan rumah dan ketepatan waktu penyelesaian. Kondisi ini
sangat merugikan negara, daerah dan pengungsi itu sendiri, yang berakibat akan
menambah atau menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan.
Point No.7, hal 9.
Sumber dana/pembiayaan! untuk penanganan pengungsi di Maluku tahun anggaran
2005 dari pusat adalah :
- Cadangan Umum Rp 61.651.500.000
- SKPA Rp 109.539.500.000
-ABPNP Rp 77.000.000.000
Rp 247.556.500.000
Dana tersebut diperuntukan untuk menyelesaiakan pengungsi yang berjumlah 19.849
KK, diperlukan transparansi, akuntabilitas dalam realisasi dan pelaksanaannya.
Terhadap 9 point penilaian terdapat 13 point rekomendasi, diantaranya adalah sebagai
berikut.
Point No.1, hal 11.
Pembangunan rumah pengungsi yang berjumlah 837 unit oleh PT. Kornama ! Lestari
dan PT. Sharli Jaya di Kecamatan Tehoru dan tersebar di desa Ulahahan, Desa Laha
Islam/Kaba, Desa Laha Serani, Desa Yamalatu, Desa Hunisi, Desa Maneoratu, Desa
Lafa, dan dusun Yamahena sangat-sangat tidak sesuai dengan petunjuk tekhnis
penanganan pengungsi, dan sarat dengan manipulasi. Terindikasi adanya korupsi
sehingga merugikan negara, daerah serta masyarakat pengungsi. Karena itu terhadap
oknum/pelaku segera ditindak tegas oleh aparat hukum.
Point No.2, hal 11.
Bahwa pembangunan rumah yang dimaksudkan pada desa-desa tersebut tidak/belum
diikuti dengan fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat. Misalnya tidak ada
sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah (Mesjid dan Gereja). Untuk itu diharapkan
kepada Pemerintah Provinsi/kabupaten Maluku Tengah untuk segera menanganinya.
Point No.3, hal 11.
Pada pengungsi di kabupaten Buru, lokasi Rata Gelombang, Waikose, Dusun
Balu-Balu, persoalan yang dihadapi adalah belum mendapat BBR. Rumah yang
dibangun tidak sesuai Petunjuk Tekhnis. Uang tukang dan uang pemulangan belum
dibayar. Karena itu diminta dengan cepat kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten Buru untuk segera menyelesaikannya.
Point No.4, hal 11.
Uang tukang untuk 1250 KK pengungsi MTB tahun 2003-2004 belum juga diberikan.
Untuk itu kepada Pemerintah Provinsi (Dinas PU) segera merealisasikannya.
Point No.5, hal 11.
Indikasi manipulasi terhadap pembangunan rumah pengungsi sebanyak 150 KK di
desa Olilit ! Lama tahun 2002 yang dibangun oleh Dinas Nakertrans, hanya dibangun
2 (dua) unit dengan spesifikasi yang sangat-sangat tidak memadai. Demikian juga di
Kecamatan PP. Babar, dibangun 25 unit rumah tidak/belum ditempati oleh pengungsi
karena lokasi air dan tanah bermasalah. Terhadap indikasi manipulasi ini agar
ditindak-lanjuti oleh Pemerintah Provinsi Maluku untuk mengusut kasus ini secara
tuntas.
Point No.11, hal 13.
Perlu investigasi lebih jauh terhadap 100 rumah fiktif di Kabupaten Kepulauan Aru.
Point No.12, hal 13.
Terhadap kasus-kasus manipulasi data pengungsi dan penyalahgunaan dana
pengungsi sejak tahun 2003-2005 yang diduga merugikan pengungsi, negara, dan
daerah, harus diusut tuntas dan ditindak tegas sesuai prosedur hukum. Satu kasus
antara lain yaitu dana pengungsi Rp. 7,6 M di Maluku Tenggara tidak jelas
penggunaan dan pertanggung-jawabnya, padahal suda! h ada temuan Bawasda
Kabupaten Maluku Tenggara.
Tentunya baik penilaian maupun rekomendasi Pansus Pengungsi DPRD Provinsi
Maluku, tidak dengan serta merta mengungkapkan semua situasi problematik yang
terjadi seputar implementasi kebijakan penanganan pengungsi di Maluku. Sekalipun
demikian dengan sangat jelas sebagian point yang kami kutip di atas, menunjukan
terjadinya berbagai bentuk manipulasi, dalam keseluruhan sistem dan mekanisme
penanganan pengungsi. Hal yang tentunya sangat kontradiktif bila kita
mengkonfrontirnya dengan pujian presiden dan mensos, sebagaimana yang
diutarakan oleh Ketua Posko Penanggulangan Pengungsi Pemprov Maluku. Terhadap
temuan pansus, saya kira kita perlu terus mengikuti secara cermat, bagaimana
proses penyelesaian yang diusung semua pihak.
ECHO
Sebuah lembaga kemanusiaan resmi dalam lingkup Uni Eropa melakukan monitoring
terbatas terhadap kondisi Maluku pada akhir tahun lalu, termasuk monitoring
menyangkut realitas penanganan pengungsi di Maluku. Langkah monitoring ini
tentunya terkait dengan koordinasi perumusan kebijakan serta dukunga mereka, yang
diberikan melalui berbagai INGO yang bekerja u! ntuk Maluku selama dan pasca
konflik. Berikut saya mengutip sedikit (4 point) dari opini mereka terkait dengan
realitas penanganan pengungsi di Maluku.
1. According to different officials met, the under target is caused by late disbursement
of funds from central government and high data of families' claims over housing
ownership manipulated by particular parties for self benefits. Apart from this factor, it
seems that the lack of inter-department communication and coordination is weak
aggravated by poor planning. Reportedly there have been many complaints against
the performance of the task force.
2. No IDPs database was ever established, the task force is fully depended on simple
computerized record of IDPs and on manual documentation of assistance distributed
(housing package, living and transportation allowances) causing difficulties for
responsible offices to cross-check and verify data. The officials admitted the
weakness of the system but it does not stimulate the task force to look for ways
enabling more efficient works. In different IDP locations, either in Ambon city or in
Seram, some families in the same compound reportedly have received BBR but some
have not without clear information when they will receive it.
3. Offices involved in the IDPs task force are managing different functions. The Social
Welfare office is mandated to distribute BBR, Jaminan Hidup and Bekal Hidup also
transportation allowances. The Public Works and Manpower and Transmigration
offices are mandated to construct housing and other public facilities for the ex-IDPs.
Ideally, BBR will not be given to ex IDP families benefiting from housing programme
provided by Public Works or Manpower and Transmigration office. But it is difficult to
track whether one particular family receives assistance from Social welfare office only,
or has received assistance from two offices etc.
4. Lack of transparency. Maluku province is reserving some IDR 194 billions for the
IDPs handling programme. Out of the amount, it is not clear how much have been
spent on what activities and where. Progress of government's house construction
works in different places is not in the same speed"
Beberapa opini di atas hanya sebagian kecil dari pokok analisa lembaga-lembaga
seperti ECHO dan lainnya. Saya kira laporan-laporan seperti ini dengan mudah bisa
diakses pada berbagai web site dari lembaga-lembaga donor, yang concern dan
bekerja untuk Maluku selama dan pasca konflik. Satu kata saja untuk menyimpulkan
semuanya, "amburadul".
Klasis Telutih Gereja Protestan Maluku (membawahi Tehoru dan Werinama)
Ketua Klasis Telutih Gereja Protestan Maluku dalam kesempatan kunjungan pansus
DPRD Prov Maluku ke wilayah Tehoru, berkesempatan turut menemani. Selama ini
proses advokasi terhadap hak-hak pengungsi (terutama yang Kristen Protestan) di
wilayah itu dilakukan secara sangat dinamis oleh pihak Klasis Telutih GPM. Secara
kontinue pihak Sinode GPM melalui Crisis Center GPM memperoleh laporan
perkembangan penanganan pengungsi pada semua desa dalam kawasan pelayanan
Klasis Telutih, baik di yang berada pada wilayah kecamatan Tehoru, maupun wilayah
Kecamatan Werinama. Karenanya perj! alanan kunjungan tim pansus di wilayah
kecamatan Tehoru yang didampingi oleh Ketua Klasis Telutih GPM, secara detail
juga diinformasikan kepada kami. Berikut ini sedikit gambaran menyangkut kondisi
beberapa desa yang dikunjungi anggota pansus, dengan didampingi oleh pihak Klasis
Telutih GPM.
Desa Ulahahan
Pembangunan rumahnya rata-rata menggunakan jenis keyu kenanga, salawaku, dan
ketapang. Jumlah sink yang dipakai rata-rata sebanyak 42 lembar denga! n kerapatan
tindisan antar sink selebar satu gelombang. Semen yang digunakan untuk setiap
rumah rata-rata sebanyak 6-9 sak semen. Pada umumnya rumah dibangun tanpa
fondasi, tanpa kloset, dengan sekat kamar dari triplek, dan sebagian besar rumah
dindingnya dicor tanpa rangka.
Desa Laha
Pembangunan rumah umumnya menggunakan jenis kayu merah, tawang, dan siki.
Jumlah sink rata-rata 44 lembar. Semen yang digunakan sebanyak rata-rata 10 sak
untuk setiap rumah. Sebagian dari 76 unit rumah yang tela! h dibangun tanpa fondasi,
tanpa tiang tengah, dan tanpa kloset.
Desa Yamalatu
Jenis kayu yang dibunakan pada umumnya sama dengan yang dipakai di desa Laha.
Sementara itu jumlah sink sebanyak 42-44 lembar. Semen yang dipakai sebanyak 9
sak. Di desa ini 17 unit rumah sudah dibangun tanpa fondasi, tanpa kloset, dan dicor
dindingnya tanpa rangka.
Desa Hunisi
Jenis kayu yang dipakai pada umumnya antara lain tawang, durian, pulaka, pala
hutan, salawaku, dan kenanga. Jumlah sink sebanyak 42 lembar, dan jumlah semen
sebanyak 10 sak untuk setiap rumah. 14 rumah sudah dibangun di desa ini, dan
sebagian besarnya tanpa fondasi dan tanpa kloset.
Desa Maneoratu
Jenis kayu yang dipakai antara lain pulaka, salawaku, gondal, siki, durian, dan pala
hutan. Pembangunan menggunakan sink sebanyak rata-rata 42 lembar dan semen
sebanyak 5-10 sak untuk setiap rumah. Di desa ini tercatat 14 rumah sudah dibangun
dalam kondisi yang lebih kurang sama dengan di desa Hunisi.
Desa Lafa
Jenis kayu yang dipakai antara lain meranti, samama, gujawas, dan kayu merah.
Jumlah sink sebanyak 42-44 lembar, dan semen rata-rata sebanyak 9-10 sak untuk
setiap rumah. Di desa ini 25 rumah sudah dibangun dan sebagian besar tanpa
fondasi, cor tanpa rangka, sekat ruang ½ beton, dan tanpa kloset.
Semua triplek yang dipakai pembangunan rumah-rumah ini berukuran rata-rata
1,5mm. Data kondisi rumah yang diambil ini berdasarkan status rumah yang telah
selesai dibangun saat ini. Data ini tidak termasuk sekian banyak rumah lainnya yang
masih dalam tahap penyelesaian. Validasi data-data di atas tentunya bisa di-check
ulang di lapangan, karena kami yakin baik pansus pengungsi DPRD Provinsi Maluku,
maupun DPD KNPI Maluku memiliki seabrek data yang lebih kurang sama. Soalnya
kemudian bagaimana data-data ini kemudian diolah untuk kebutuhan seperti apa.
Akankah direduksi untuk tujuan menutup kudis mekanisme yang amburadul, ataukah
diungkapkan secara transparan untuk mengelupas kudis dan menyembuhkannya,
walahualam!.
LSM PEDULI ARU
Dalam sebuah peberitaan media lokal di Maluku, dipublikasikan bahwa persoalan
pengungsi di Kabupaten Aru telah tuntas. Bahkan ada tersisa dana sebesar Rp. 100
juta, yang entah mau dikemanakan oleh Bupati Aru. Informasi ini terasa melegakan,
namun kenyataannya memprihatinkan. Pokja Aru dari Pansus A DPRD Provinsi
Maluku, dalam monitoringnya ke kawasan itu, menemukan banyaknya permasalahan
yang ternyata belum tuntas terkait dengan penanganan pengungsi disana. Selain data
Pokja Aru, maka salah satu LSM yang dengan intens mengikuti realisasi kebijaka! n
penanganan pengungsi diwilayah itu adalah LSM Peduli Aru. Tidak saja mengawasi di
Aru, LSM ini juga melakukan konfirmasi sejumlah data temuan ke Departemen Sosial
di Jakarta. Temuan-temuan yang diperolehnya kemudian dikemas dalam bentuk
laporan yang disampaikan kepada berbagai pihak secara nasional, maupun kepada
para petinggi di Maluku. Gubernur Maluku termasuk diantaranya yang memperoleh
laporan dimaksud. Kepada Koalisi Pengungsi Maluku (KPM)
sejumlah laporan dan data monitoring LSM Peduli Aru juga diberikan. Berikut
beberapa kutipan yang dipetik dari laporan-laporan dimaksud.
Dari surat LSM Peduli Aru kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nasional,
tertanggal 18 Oktober 2005.
Point 1, Diskripsi Penyimpangan.
Bahwa "disinyalir" HK Direktur CV. SPA telah "menjual bendera perusahan" kepada
Sdr. YT, Direktur CV. MAJ. Sehingga tanpa bekerja HK telah "meraup laba bersih"
dari dana BBR pengungsi Dobo sejumlah Rp. 3.083.500,- x 290 KK = Rp.
894.215.000,- Sedangkan Sdr YT Direktur CV. MAJ 'Berhasil meraup laba bers! ih"
sejumlah = Rp. 3. 083.500,- x 140 KK = 431.690.000,-
Point 3, Diskripsi Penyimpangan.
Bahwa memenangkan tender BBR dengan ganjaran "jasa kerja 31,6% dari nilai murni
bantuan BBR "diduga" adanya kerjasama antara Pimpro BBR di Propinsi dan
Kontraktor untuk mark-up harga barang atau bahan-bahan pabrikan dan lokal sesuai
tender, tidak sama dengan yang disalurk! an oleh CV.SP dan CV.MAJ via pelaksana
lapangan Ny.S.
Demikian dua petikan dari sejumlah point laporan LSM Peduli Aru, yang entah
ditindak-lanjuti seperti apa oleh aparat terkait. Adapun laporan-laporan seperti ini
tentunya membutuhkan klarifikasi selanjutnya, baik terhadap pelapor, mereka yang
dilaporkan, maupun masyarakat penerima manfaat. Meskipun demikian dari sejumlah
temuan data yang dilaporkan kita wajib mempertanyakan, seberapa benar penjelasan
pejabat pemerintah terkait bahwa persoalan pengungsi di Aru telah tuntas...tas...tas.
Tentunya saya sendiri tidak akan membuat penilaian atas data-data empirik seperti
ini. Apalagi melakukan check silang berdasarkan ketentuan material yang ditetapkan
oleh juknis pemprov, yang kemudian diterjemahkan dalam berita acara penyerahan
bahan kepada para kontraktor. Ruang penilaian terbuka kepada publik maupun
lembaga-lembaga publik, yang memiliki kapasitas untuk melakukan taksasi terhadap
penggunaan material, dalam proses pembangunan rumah pengungsi di Maluku.
Demikian pula telusuran terhadap sejumlah data yang mengindikasikan terjadinya
penyimpangan, membuka ruang kepada aparat-aparat penegak hukum untuk
menindak-lanjutinya. Urusan saya disini adalah menguji logika bengkok pernyataan
Ketua Posko Penanggulangan Pengungsi Provinsi Maluku, mengenai mekanisme
penanganan pengungsi Maluku yang dianggap terbaik oleh presiden dan mensos.
Terlebih lagi ketika logika bengkok itu mencederai sebuah spritualitas kemanusiaan
yang seharusnya patut dijunjung tinggi.
Mendorong Reintegrasi Atau Memelihara Potensi Konflik
Semestinya proses pembangunan rumah pengungsi juga dipakai untuk merajut
kembali reintegrasi sosial diantara masyarakat yang pernah berkonflik. Dalam kaitan
ini para tukang yang dipakai sedapatnya diambil dari komunitas masyarakat, yang
memiliki relasi kultural dengan negeri yang akan dibangun kembali. Kalaupun tidak,
maka sebaiknya para tukang diambil dari komunitas negeri tetangga, setelah
sebelumnya dilakukan pendekatan dan dibangun kesepakatan antar warga, melalui
proses persiapan sosial yang terencana. Negeri Waai merupakan contoh yang baik,
ketika pembangunan rumahnya dilakukan melalui kerjasama para tukang dari Negeri
Waai dan Negeri Morela, yang memiliki pertautan hubungan gandong antara
keduanya. Pendekatan ini ideal untuk medorong percepatan reintegrasi diantara
masyarakat. Meskipun de! mikian kemungkinan ini tak lahir begitu saja.
Proses-proses preparasi sosio-kultural telah dilakukan jauh-jauh hari diantara mereka,
sekalipun banyak diantaranya tak terpublikasikan secara luas.
Waai dan Morela hanya contoh keberhasilan yang sangat kecil, dibanding sekian
banyak proses pengembalian pengungsi yang tak didahului dengan perencanaan
sosio-kultural yang matang. Implikasinya ada sekian banyak kasus yang lalu diwarnai
dengan ketegangan antara kebijakan pengembalian dengan masyarakat penerima.
Dalam beberapa kasus pemerintah menempuh kebijakan pembayaran kompensasi
bagi masyarakat penerima, yang sangat besar nilain! ya. Kebijakan ini menjadi
preseden bagi komunitas di wilayah lain, untuk menggunakan proses pengembalian
pengungsi sebagai komoditi ekonomi yang menguntungkan mereka. Entah lewat
tuntutan kompensasi, ataupun kolaborasi dengan para kontraktor yang menggunakan
para tukang dari warga masyarakat penerima. Disatu sisi warga penerima
memperoleh keutungan kompensasi ekonomi. Di lain sisi para kontraktor bisa
menyembunyikan manipulasi proyeknya, dengan memakai tekanan tak langsung
komunitas penerima, untuk membungkam kemungkinan protes pengungsi sebagai
penerima manfaat.
Beberapa pemimpin adat dari sebuah wilayah menuju Ambon un! tuk memberikan
keterangan pers, terkait dengan pembangunan rumah mereka sebelum kembali. Di
Ambon, beberapa koral lokal mempublikasikan permintaan mereka supaya polemik
soal pembangunan rumah di wilayah itu dihentikan, karena semua persoalan sudah
terselesaikan. Tentunya pernyataan ini mengejutkan dan mengherankan, mengingat
bahwa Pansus A penanganan pengungsi DPRD Provinsi Maluku baru saja selesai
melakukan monitoring disana, dan menemukan sangat banyak pelanggaran.
Keheranan itu terjawab ketika seorang teman yang kebetulan bersama mereka di
perjalanan ke Ambon, mempertanyakan maksud keterangan pers yang akan mereka
buat. Jawaban yang mereka berikan sangat manusiawi. Pada dasarnya mereka
mengkhawatirkan bilamana polemik itu terus berlanjut, maka proses pengembalian
mereka menjadi terancam. Alasannya karena para kontraktor yang menangani
pembangunan rumah-rumah mereka, menggunakan tukang dari kelompok
masyarakat yang pernah mereka anggap sebagai agresor mereka disaat konflik. Ker!
ap kali mereka ditekan dan diancam, ketika hadir dan turut mengawasi pembangunan
rumah mereka. Karenanya mereka memilih menerima apa adanya pembangunan
rumah mereka, dengan harapan proses pengembalian mereka tak terhambat.
Tentunya fenomena di atas dengan sangat gampang dimanipulasi, untuk mengatakan
bahwa masyarakat penerima manfaat tak mempersoalkan adanya berbagai praktek
manipulatif dalam pembangunan rumah mereka. Para pembela hak masyarakat akan
dibuat mati kutu, karena dibenturkan kepada pernyataan wakil-wakil masyarakat yang
telah dikondisikan. Potensi benturan/konflik antar masyarakat dengan sendirinya dipe!
lihara sebagai amunisi yang sewaktu-waktu diledakan bila posisi para manipulator
dan koruptor menjadi terancam. Gugatan vertical secara manipulatif digeser menjadi
ketegangan horizontal dalam masyarakat. Strategi pecah belah kembali diduplikasi
untuk membiaskan tuntutan pertanggung-jawaban terhadap perilaku-perilaku
manipulatif yang merugikan masyarakat. Fenomena serupa terjadi di Poso, namun
memperoleh perlawanan keras para pengungsi, yang mengakibatkan beberapa
pejabat teras di kabupaten itu harus lengser ke balik terali besi. Bahkan gubernur
Sulteng terancam diperiksa terkait masalah penanganan pengungsi. Tentu tak salah
untuk menilai, bahwa dari perspektif kesadaran masyarakat dan keberanian
pengungsi untuk menggugat, ternyata masyarakat Poso lebih maju dari Maluku. Pada
pokok ini reintegrasi sosial harus dikondisikan dari persepsi bottom up. Artinya
masyarakat didampingi untuk melihat persoalan bersama, ataupun musuh bersama
yang secara manipulatif mencederai nilai kemanusiaan,! yang patut dijunjung
siapapun juga. "Dunya memang su susah, tapi jang tapancing par bakalae yang akan
bikin tambah susah, cuma karna skepeng dua kepeng. Padahal orang laeng
sambunyi diblakang layar, lalu makang dar karong sampe deng cupa".
Spiritualitas Kemanusiaan Sebagai Landasan Advokasi Pengungsi
Seorang rekan pemuda dari salah satu OKP terkenal mengomentari dua tulisan saya
mengenai pengungsi, dalam sebuah percakapan lepas. Intinya ia menyoal
kemungkinan kepentingan politik saya dibalik sikap pembelaan terhadap pengungsi.
Tentu saya tak terkaget-kaget oleh pernyataannya. Mengapa tak perlu kaget, karena
sejak lama dinamika sosial dan pola relasional kemasyarakatan di negeri ini
mengimpresikan bagi saya sebuah mekanisme pengendali yang dituntun oleh
kepentingan politik dan ekonomi, ketimbang kepentingan kemanusiaan. Tidak semua
memang, namun dalam cermatan dan cerapan saya ada cukup banyak korporasi
kepentingan politik dan ekonomi yang menentukan dinamika sosial saat ini.
Alih-alihnya, mekanisme korporasi digerakan demi orientasi bursa saham di pasar
politik maupun pasar uang saa! t ini, ataupun sebagai investasi masa depan.
Sebenarnya kalau kita punya waktu untuk mencermati trend global neoliberalisme,
maka pola relasional seperti di atas bisa dianggap memenuhi kategori karakter relasi
pertemananan yang khas neoliberalisme. Hal mana dengan jelas menunjukan bahwa
relasi-relasi kelompok semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kekuatan dan
tekanan pasar. Spiritualitas kemanusiaan dalam kaitan ini sangat ditentukan oleh
cara pandang terhadap nilai manusia itu sendiri. Dalam konstelasi sosial a'la
neoliberalisme, nilai seorang manusia akan ditentukan oleh seberapa besar
kemampuannya untuk meningkatkan k! ekuatan atau tekanan pasar. Spiritualitas
kemanusiaan diperhambakan kepada sebuah otoritas pasar. Entah itu pasar politik,
namun yang terutama pasar uang sebagai the supreme reality/realitas tertinggi. Ini
salah satu sisi dari arus global yang tanpa sadar semakin terinternalisasi dalam
konstruksi kognitif maupun mental kita saat ini. Laksana puting beliung ataupun
kecepatan gerak tsunami, ia menggulung masuk ke konstruksi-konstruksi sosial dan
menginfeksi karakter kita. Karenanya saya sangat mahfum kalau spiritualitas
kemanusiaan berdasarkan harkat manusia sebagai Nur Ilahi, semakin menipis pada
ruang-ruang publik yang kita hidupi. Tentunya kondisi ini sangat menentukan posisi
keberpihakan kita, pada komunitas-komunitas yang terpinggirkan dalam konstruksi
sosial dimana kita hidup. Komunitas pengungsi misalnya.
Di lain pihak mempertahankan konsistensi keberpihakan pada pengungsi memang
bukan perkara sepele. Disatu sisi jalinan dan jaringan pertemanan dalam lingkup
Ambon yang begini kecil cukup kait mengait. Terutama jaringan pertemanan dalam
bangun atas konstruksi sosial, yang didominasi oleh para penguasa dan pengusaha.
Wilayah geografis yang terbatas memang memiliki signifikansi bagi pengentalan
model relasioanl seperti ini. Di sisi lain wilayah geografis yang terbatas ju! ga
cenderung menjebak masyarakat untuk memaknai dinamika sosial sebagai sebuah
institusi publik, yang merepresentasikan kepentingan dan keterwakilan tiap segmen
berdasarkan perspektif in-group dan out-group. Hal ini yang juga (selain terbatasnya
akses terhadap transparansi kebijakan penanganan pengungsi) membumbui tendensi
keenggangan kolektif segmen masyarakat untuk terus menyoal berbagai
penyimpangan kebijakan terkait dengan realitas penanganan pengungsi di Maluku.
'Kasana sudara, kamari tamang, bagemana katong mau bicara?', kurang lebih
demikian kalau ungkapan lokal kita pakai untuk menggambarkannya. Model-model
patronase sosial tanpa terasa berkembang sebagai instrumen pembungkam, atau
setidaknya membuat publik enggan bicara. Dalam acara Dies Natalis GMKI yang
baru lalu, saya katakan bahwa spiritualitas kemanusiaan terkadang begitu nyaring
terdengar dalam wilayah-wilayah seremonial OKP-OK! P, atau bahkan sebatas
gheto-gheto ruangan ibadah. Di domain publik kesunyian belaka cenderung mewajah,
karena semuanya cenderung tertundukan oleh politik dan uang sebagai makanisme
pengendali.
Memaknai hakekat manusia sebagai Nur Ilahi atau cahaya dan gambaran Allah,
adalah prinsip dasar untuk mengembangkan spiritualitas kemanusiaan. Keberpihakan
terhadap dan didalam proses advokasi pengungsi di Maluku haruslah dibangun
berdasarkan prinsip dimaksud. Ketika kita mengingkarinya maka pada saat yang
sama kita sedang mendinamisir sebuah poros arus yang kelak menggerakan tsunami
kemanusiaan. Kesalahan terbesar di jaman ini, adalah melakukan reduksi makna
konsep ecce homo menjadi semata-mata homo economic atau homo politic. Inilah
salah satu sisi bengis trend global, yang saat ini sedang memicu perlawanan arus
bawah yang juga sedang mengglobal. Gerakan-gerakan perlawanan sosial baru kelas
bawah kini mengemuka sebagai suatu model globalisasi bottom up.
Demonstrasi-demonstrasi menentang penghancuran kemanusiaan dan lingkungan
tidak lagi terbatasi oleh tembok-tembok otoritas negara, tetapi telah mengglobal lintas
negara. Pendulum kemanusiaan sedang bergerak balik, ketika tatanan harmonis
elemen-elemen ciptaan terancam kolaps. Semuanya hanya bertumpu pada satu
spirit, kemanusiaan dan lingkungannya yang sedang terancam.
Ecce homo/behold the man/pandanglah dia, adalah teriakan Pontius Pilatus, ketika
padanya dibawa Isa Almasih yang menderita. Ecce homo kemudian menjadi teriakan
solidaritas kemanusiaan untuk memaknai manusia yang menderita. Berdasarkan
konsep ecce homo, realitas pengungsi seharusnya diletakan secara substantif
sebagai manusia yang menderita. Berdasarkan substansi ecce homo, pembelaan dan
advokasi terhadap pengungsi tidak harus dideterminasi oleh spirit homo economic
ataupun homo politic. "Ini orang nyong, bukan barang papalele yang bisa ale taru
harga iko suka!"
Tentu realitas pengungsi masih menjadi soal yang belum tuntas. Gubernur Maluku
menegaskan tak ada batas waktu bagi penyelesaian pengungsi di Maluku, karena ini
menyangkut persoalan kemanusiaan. Sebuah kalimat bijak tentunya yang perlu
diamini. "Saya jarang tidur, karena memikirkan persoalan pengungsi", demikian
kurang lebih ungkapan Gubernur Maluku kepada media, selepas demo pemuda dan
pengungsi yang terakhir. Sebuah ungkapan yang tentunya simpatik dan penuh
empati. Namun tentunya juga kita harapkan bahwa ungkapan-ungkapan ini tak akan
terjebak perangkap verbalisme, tetapi diterjemahkan secara konsekwen dan
transparan dalam sikap nyata. Dengan demikian orang tak pernah akan bilang! "batul
di hadapan, putar bale di balakang". Salamat kerja keras Upu Latu Kabasaran!,
katong laeng tongka-tongka laeng.
MASARIKU NETWORK AMBON
|