The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


Masariku Network, 01 Februari 2006

Bersatulah pengungsi Maluku

Oleh : Jacky Manuputty

"Ya Allah, kalau Engkau jadi pengungsi pasti Engkau ditipu juga", demikian salah satu ungkapan yang terpampang pada sebuah spanduk, dalam demonstrasi Koalisi Pengungsi Maluku ke DPRD Provinsi Maluku beberapa hari silam. Tajam, gamblang, dan sedikit menggelikan, namun miris menyentuh ruang empati ketika saya membacanya. Entahlah, apakah para pengungsi merasa realitas public dengan segala elemennya tidak lagi berpihak pada mereka, sehingga Allah-pun harus dilibatkan. Namun setidaknya demikian, bila kita cermatI apresiasi public saat ini terhadap fenomena pengungsi di Maluku. Rupanya selama kurun waktu tujuh tahun disungguhkan tontonan parody pengungsi di Maluku, telah mengkondisikan sikap imun public kebanyakan, terk! ait dengan tuntutan keberpihakan pada komunitas pengungsi. Jangankan berpihak, pertemuan-pertemuan konsolidasi untuk membicarakan advokasi terhadap realitas pengungsi di Maluku belakangan ini lebih banyak diisi deretan kursi kosong. Selebihnya dihadiri penyelenggara dan delegasi pengungsi sendiri. Fenomena ini berbeda jauh bila topic yang diusung terkait dengan persoalan-persoalan Pilkada, yang hampir selalu penuh dijubeli peserta. Pertanyaan mendasar yang lalu menohok disini, dimanakah peran para kapitan kemanusiaan yang bercokol di lembaga-lembaga public, lembaga-lembaga agama, OKP-OKP, LSM-LSM, jurnalis, atau bahkan deretan akademisi di berbagai kampus?. Apakah mereka semua telah mati suri, atau memang secara nurani telah kelelahan.

Tidak gampang memang mempertahankan konsistensi pembelaan dalam sebuah proses advokasi public. Apalagi membela mereka yang tak dapat bersuara, ditengah kecenderungan dominant masyarakat yang serba instant dan mengusung sikap hedonis sebagai norma. Apa untungnya bagi kita? merupakan pertanyaan diam yang kerap membelah batasan nurani antara hitam dan putih. Soal mencari untung inilah yang yang pada gilirannya mereduksi rasa memiliki terhadap Maluku dalam perspektif yang general. Kebanyakan orang kehilangan sense of belonging terhadap ke-Maluku-annya. Ironis memang, karena seharusnya keterpurukan akibat konflik mendorong masyarakat untuk memiliki moralitas bersama/common morality guna memperbaiki carut-marut wajah negeri ini. Terutama common morality untuk menyoal nasib mereka yang terpuruk sebagai korban konfli! k di berbagai barak pengungsi.

Kembali kepada pengungsi, mati surinya control public terhadap mekanisme penanganannya, secara tragis melebarkan ruang bagi berkembangnya jejaring manipulasi dan korupsi, pada seluruh mata rantai penanganan pengungsi di Maluku. Memang dibutuhkan ketahanan nalar serta nurani, untuk tidak tertundukan pada permainan ambivalensi dan inkonsistensi mekanisme, serta jejaring pertemanan atau pertalian darah, untuk bisa membabat tikus-tikus pengerat tanpa harus ada rasa malu hati. Kalaupun memang harapan pembelaan public serta seluruh jejaring elemennya tak lagi mampu bersuara, maka saatnya kita kaum pengungsi harus menyatu angkat suara "Bersatulah Pengungsi Mal! uku". Berikut ini beberapa alasan yang mendasari tuntutan penggalangan soliditas gerakan pengungsi di Maluku:

1. Tertundukannya kemanusiaan oleh atribut yang simbolik

Salah satu output dari mekanisme penanganan pengungsi adalah tertundukannya kesadaran sosial dan relasi kemanusiaan, pada sejumlah atribut yang digunakan untuk menandai eksistensi pengungsi. Secara terstruktur dan dalam kurun waktu yang panjang kesadaran batin dan pencerapan kolektif pengungsi tereduksi untuk mengidentikan dirinya dengan atribut berbagai jenis kartu, ataupun deretan angka yang berganti-ganti. Tanpa sadar kaum pengungsi teralienasi/terasingkan dari kesadaran dirinya sebagai makhluk sosial dalam relasi-relasi keluarga dan masyarakat. Ruang sosial dibalik fenomena pengungsi dipaksa tergantikan oleh setumpuk atribut simbolik, yang dipaksa masuk ke dimensi bawah sadar para pengungsi. Atribut-atribut identifikasi pada saat yang sama difungsikan sebagai atribut-atribut pengendali di tangan para maniak kuasa dan uang, yang memegang otoritas penuh terhadap penentuan kebijakan. Inilah fenomena buruh pabrik, atau juga fenomena penjara, atau bahkan fenomena militeristik, yang dengan garang digugat oleh beberapa pemikir dari aliran dekonstruksi. Karena itu janganlah heran kalau fenomena penanganan pengungsi di Maluku lebih didominasi oleh diskursus tentang penanda/atribut ketimbang pengungsi yang ditandai.

Pengungsi dibuat pusing untuk memahami titik api, atau kartu putih, merah, dan kemudian kuning, sehingga kehabisan energi untuk mewacanakan pemulihan integritas dirinya sebagai makhluk sosial. Pengungsi dipaksa memahami dan menerima dirinya sebagai seonggok kartu. Tidaklah mengherankan kalau Kepala Dinas Sosial Provinsi Maluku ! dengan arogan dan enteng memberikan komentar di media, bahwa BBR pengungsi telah diserahkan kepada kontraktor dan kami tak perlu memonitor lagi. Tentu dia benar dan secara moral tak bisa digugat, karena toh pertanggung jawaban moral tak harus diberikan kepada tumpukan kartu kuning, yang telah dia pakai untuk menggantikan keutuhan integritas pengungsi sebagai makhluk moral. Tak dapat pula disalahkan kalau para punggawa rakyat di DPRD Maluku cenderung berpihak ke ketiak penguasa, karena toh political benefit tak dapat diambil dari tumpukan kartu merah ataupun kuning.

2. Mekanisme telah menjadi Makan'isme

Substansi mekanisme terkait dengan tata aturan dalam sebuah system. Bagaimana menentukan interkoneksi antar elemen yang mengatur dinamika sebuah system, kurang lebih merupakan pemaknaan dari mekanisme. Sementara substansi makan'isme terkait dengan aktifitas makan sebagai nilai tertinggi yang harus diperjuangkan. Secara substantive keduanya bisa berbeda, namun secara strategis keduanya bisa jalin menjalin dalam sinergitas yang taktis dan indah. Tak sulit diduga, bagaimana mendesign mekanisme untuk memuaskan karakter makan'isme, itu yang mau kami katakan. Hal ini nampak dalam mekanisme penanganan pengungsi di Maluku selama sekian tahun belakangan ini. Inkonsistensi dan ambivalensi penetapan mekanisme penanganan pengungsi, dalam kenyataannya telah memberikan ruang bagi pemuasan hasrat makan'isme dari tikus-tikus pengerat di setiap level penanganan. Kembali pada contoh komentar Kepala Dinas Sosial Pemprov Maluku, terkait dengan monitoring penyaluran BBR oleh para kontraktor. Komentar enteng dan naïf seperti itu mengimpresikan bagi public lemahnya elemen control atau monitoring dalam design mekanisme penyaluran BBR di Maluku. Bila by design elemen ini lemah ataupun sengaja dilemahkan, maka jangankan di lobang-lobang got yang berbau busuk, di atas meja makan bertabur melati sekalipun para tikus pengerat bisa dengan leluasa menjalankan aksinya. Hal ini jelas nampak melalui presentase infocus Koalisi Pengungsi Maluku (KPM), di ruang pleno para wakil rakyat nan se! juk. Tampilan foto rumah-rumah pengungsi yang telah dibangun di berbagai lokasi, menunjukan betapa digdayanya para tikus mengerat setiap bagian rumah. Jelas kalau di salah satu spanduk KPM yang terusung ke DPRD tertulis "kami perlu rumah dan bukan kandang". Para punggawa rakyat itu bungkam. Beberapa diantaranya hanya bisa menggelengkan kepala. Entah untuk apa menggeleng, karena merekapun merupakan salah satu elemen dari mekanisme itu. Mungkin bukan saja mekanisme, karena orang tahu bahwa banyak punggawa rakyatpun adalah bagian inheren dari makan'isme. Simak kutipan cerita ini,

"Saya sementara duduk dengan salah satu anggota DPRD Prvonsi Maluku di resto Hotel Mutiara. Sejenak kemudian seorang staff dari salah satu dinas di lingkungan Pemprov Maluku menghampiri kami. Tanpa sungkan ia menyodorkan envelope putih kepada sang anggota dewan teman saya. "ini jatah bapak setelah hearing tadi dengan pak kepala dinas" ucap si staff datar. Entah karena ada saya disitu, teman saya agak marah dan menolak pemberian itu. "jangan pak, nanti saya dimarahi. "Teman-teman bapak di komisi sudah dikasih, dan hanya bapak saja yang belum" ucap si staff menanggapi. "yah tapi masa dikasih disini" ujar teman saya pelan tapi tegas.

Entah diberikan dimana kemudian envelope itu, saya merasa tak perlu tahu. Tapi setidaknya ini satu dari banyak fakta bahwa gedung dewan yang terhormat juga menjadi ruang bagi praktek-praktek makan'isme. Karenanya di ruang Sang Wakil Ketua DPRD Provinsi Maluku saya menjadi sangat geli dan kemudian marah, ketika kehadiran KPM disambutnya dengan menyoal ketentuan mekanisme dewan. Demikian pula pada suatu kesempatan saya merasa sangat mual ketika seorang asisten Pemprov Maluku, mengurai kecerdasannya menyusun mekanisme penanganan pengungsi, dihadapan para pengungsi yang terbengong-bengong terhadap tekhnologi grafik design, yang ditampilkan lewat disp! lay kotak canggih LCD. Betapa tidak, saya cukup mengerti bahwa kebanyakan model dan mekanisme yang muncul pada display screen, tak lebih dari kosmetik di atas meja sang asisten. Toh output dari sebuah mekanisme harus terukur dari implementasinya di lapangan. Menyimak presentasi KPM dalam pertemuan di gedung dewan, dengan sangat graphic dan gamblang kita tahu, bahwa output dari mekanisme penanganan lebih banyak diwarnai nuansa makan'isme. Terhadapnya tidak ada elemen punishment/sangsi yang diharapkan bisa memberi efek jera terhadap para tikus pengerat. Eksekutif hanya bungkam ketika beberapa anggota dewan mempertanyakan data kontraktor nakal dan tindakan hukum yang diambil terhadap mereka, terkait pembangunan rumah pengungsi. Mereka memang pantas bungkam, karena bukan rahasia umum lagi bahwa ada kuaota 10% (atau bahkan lebih) dari setiap project yang harus diberikan kontraktor kepada pimpro. Menetapkan sangsi hukum kepada kontraktor, sama dengan membuka borok para eksekutif. Mengh! apuskan peluang makan'isme dari mekanisme sama dengan menutup lumbung para maniak kuasa dan uang, yang menafkahi keluarganya dengan sumpah serapah para pengungsi yang terampas hak-hak mereka.

3. Menjangkitkan ketakutan bagi penguasa lalim

Saat paling menakutkan bagi penguasa lalim dan arogan adalah ketika rakyatnya bersatu menentangnya. Karena itu dalam system pemerintahan rezim, tekhnologi penundukan rakyat harus secara terstruktur dikembangkan. Mulai dari manipulasi mental, pencerapan, politik uang, sampai dengan cara-cara kasar melalui represi. Satu yang paling pokok, jangan biarkan rakyat atau orang-orang kecil bersatu. Buat mereka berselisih. Kondisikan dan biarkan mereka berkonflik. Ciptakan system dan mekanisme yang memecah soliditas mereka. Pada akhirnya mereka tak mampu menentukan kebijakan bersama bagi diri mereka secara kolektif. Kondisi ini secara efektif akan melanggengkan ketergantungan dan kepatuhan mutlak terhadap mereka yang berkuasa. Ini semua cara rezim, sekaligus gaya predator yang siap menggerogoti tumpukan sum-sum di belikat rakyatnya.

Tentu dalam perspektif di atas saya tak berpretensi untuk mengidentikan pemerintahan di Maluku sebagai sebuah rezim, yang dipimpin oleh Gubernur Karel Ralahallu. Namun menyimak karakter para pejabat pemerintahan di daerah ini, jujur harus dibilang bahwa mentalitas rezim ternyata juga menjangkiti banyak diantara mereka. Rakyat kecil dan terutama pengungsi betul-betul dibuat tertundukan dan tak berdaya, ketika berhadapan dengan mereka. Indikatornya tak perlu diulas lebih jauh, namun ! secara sederhana perhatikan saja gaya bertutur dan bahasa tubuh/body language mereka ketika berhadapan dengan para pengungsi. Betul-betul terjaga dan mengambil jarak dengan logika kerakyatan. Performance macam ini secara sadar kerap dikembangkan untuk mengimpresikan kuasa dan otoritas penundukan, sejak awal pertemuan dengan komunitas pengungsi. Apalagi bila komunitas pengungsi yang datang tak seberapa jumlahnya, untuk menentukan posisi tawar mereka. Nantilah ketika cara ini tak lagi ampuh, maka tahap berikutnya dalam strategi penundukan dijalani. Panggil koordinator-koordinator aksi pengungsi secara terpisah. Secara persuasive sogok mereka dengan sejumlah uang. Kalaupun tak mempan instrument represif mulai dipertimbangkan untuk membungkam mereka. Makanya jangan heran kalau banyak coordinator atau mereka yang vocal memperjuangkan hak-hak pengungsi mendadak bungkam. Mereka telah terbeli atau tertundukan secara represif. D! i tangan rezim masa lalu, senjata adalah instrument pembungkam. Namun rezim saat ini menggunakan uang dan iming-iming fasilitas sebagai alat penundukan. Karenanya ketahanan nurani dan mekanisme control internal menjadi mutlak dalam menggalang solidaritas advokasi bagi pengungsi. Terutama yang saat ini dilakoni oleh Koalisi Pengungsi Maluku (KPM). Hanya dengan begitu gerakan pengungsi akan menjangkitkan ketakutan bagi para predator di kelas penguasa. Satu hal harus diingat, bahwa jumlah pengungsi masih cukup besar untuk digalang sebagai kekuatan masa yang menakutkan. Mereka yang hak-haknya dikebiri adalah bencana bagi perkoncoan penguasa, bila mereka bisa digerakan. Hanya ketika kita bergerak bersama, penguasa lalim tak lagi nyenyak tidurnya. Makananpun menjadi sembilu tajam yang mengiris hitam belahan lidahnya.

Kembali ke persoalan pokok kita, tuntutan bersatunya pengungsi Maluku adalah prinsip utama dalam strategi perjuangan kelas. Penguasa dengan sangat sadar telah mengembangkan mekanisme kelas, yang didalamnya kelas pengungsi dikondisikan untuk tunduk pada system yang tak manusiawi. Tidak ada pilihan lain kecuali melawannya, dan untuk melawan kita harus menggalang solidaritas. Jangan lagi mengurus BBR dalam kelompok kecil-kecil. Jangan lagi memperlihatkan kerelaan untuk menerima berbagai pemotongan jadup yang tak manusiawi. Jangan lagi menjadi bungkam untuk menerima rumah jadi yang serupa kandang. Jangan lagi membiarkan tikus-tikus pengerat mengebiri paket-paket hak pengungsi. Jangan lagi bersopan-sopanan dengan penguasa lalim bermental rezim. Hanya dua kata yang harus membingkai solidari! tas kelas pengungsi. BERSATU dan LAWAN!. Percayalah, ketika pengungsi bersatu, gelombang ketakutan akan menerjang para penguasa lalim, laksana tsunami menggempur Aceh. Di saat itu Allah-pun tak perlu menjadi pengungsi.

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/lokkie2005
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044