Masariku Network, 09 Februari 2006
Pembentukan tim hukum penanganan pengungsi
-Tiga Posisi Penolakan-
Oleh: Jacky Manuputty
Sejenak saya tersentak membaca headline berita dalam beberapa koran lokal terbitan
tanggal 7 Februari 2006. "Pemerintah membentuk tim hukum penanganan
pengungsi", kurang lebih begitu bunyinya. Intinya gubernur Maluku memutuskan
pembentukan sebuah tim hukum untuk menginvestigasi sinyalemen kebohongan para
pengungsi terkait dengan penerimaan BBR. Bila kedapatan mereka berbohong, maka
proses hukum harus dijalani oleh mereka. "Kalau bukan pengungsi, yah ditangkap
langsung di tempat", demikian ketua posko penanggulangan pengungsi provinsi
Maluku mempertegas keputusan bosnya.
Dorongan adrenalin dalam darah saya secara spontan menggurat senyum kecut di
bibir. Saya bisa merasakan kegusaran pemprov Maluku terhadap tidak efektifnya
system dan mekanisme pendataan pengungsi yang mereka bangun. Kondisi yang
lalu membuka ruang bagi berkembangnya praktek-praktek manipulasi data.
Praktek-praktek yang tentunya juga dilakoni oleh sekelompok pengungsi nakal, yang
turut memanfaatkan kebobrokan mekanisme pendataan demi keuntungan lebih bagi
diri mereka. Terhadap praktek semacam ini saya mendukung penuh keputusan
pembentukan tim hukum, yang menjalankan fungsi investigasi terhadap kategori aktor
tipu-tapa diantara kelompok-kelompok pengungsi. Bagaimanapun juga secara
material, hukum harus dipakai sebagai instrument pemaksa untuk menjamin
terciptanya tertib sosial. Kebenaran material semacam i! ni tidak lalu berarti bahwa
secara moral saya mendukung sepenuhnya kebijakan ini. Ada beberapa alasan
mengapa secara moral saya menganggap kebijakan ini tak sepenuhnya baik untuk
didukung (untuk tidak secara ekstrim mengatakan buruk dan tak bermoral),
Pertama, kebijakan ini mengimpresikan berhadap-hadapannya pemerintah provinsi
Maluku dan komunitas pengungsi secara dikotomis. Sekalipun yang dimaksudkan
hanya segelintir pengungsi nakal. Dalam struktur dikotomi dimaksud, pengungsi
dikategorikan kelompok yang sa! lah dan pemerintah yang benar. Bila dikembangkan
kemudian dalam perspektif moral baik-buruk, maka dengan cepat kita akan
mengatakan bahwa pengungsi adalah komunitas yang buruk. Tindakan memanipulasi
data secara moral buruk dan harus ditolak. Persoalannya tentu tidak sesederhana itu
untuk dipotret. Belajar dari teman-teman saya para pengacara, saya paham bahwa
relasi kausalitas/sebab-akibat harus juga dipertimbangkan dengan cermat bila kita tak
mau terjebak pada sebuah keputusan material yang instant menyangkut benar-salah.
Atau bahkan keputusan moral baik-buruk.
Pada point di atas saya lalu melihat bahwa setting mekanisme di! dalam mata rantai
penanganan pengungsi, membuka ruang yang lebar bagi berkembangnya kesalahan
dan keburukan in potential/masih merupakan potensi, menjadi sebuah actus/tindakan
yang salah dan buruk secara moral. Mekanisme ini menyangkut baik preparasi
kebijakan, implementasi, maupun monitoring. Celakanya mekanisme penanganan
pengungsi ditetapkan oleh pemerintah sendiri, tanpa pelibatan partisipatoris para
pengungsi. Tak bisa disangkal ada pengungsi yang salah dan buruk secara moral,
untuk memanfaatkan kebolongan mekanisme ini. Meskipun demikian tak juga bisa
diingkari, bahwa kondisi in potential pada pengungsi berubah menjadi actus yang
salah dan buruk, ketika menemukan momentum pada sebuah sistem dan mekanisme
yang amburadul. Tentu kita sepakat bahwa momentum ini tidak jatuh dari langit, atau
spontan muncul dari bawah laut teluk Ambon. Momentum ini merupakan salah satu
output dari mekanisme penanganan pengungsi, yang dengan sadar dan terstruktur
dikreasi oleh pemerintah provinsi Ma! luku. Jelas disini bahwa dikotomi pemerintah
dan pengungsi nakal dalam kategori benar-salah ataupun baik-buruk, secara moral
tak harus didukung sepenuhnya. Dari perspektif kausalitas/sebab akibat, kebijakan
pembentukan tim hukum terhadap pengungsi dengan gamblang mengimpresikan
terjadinya sebuah proses reduksi/memperkecil, atau bahkan transformasi kesalahan,
dari pemerintah dan mekanisme bentukannya kepada kelompok pengungsi nakal.
Dibelakang mekanisme itu ada otak dan tangan para staff pemprov Maluku yang
mengutak-atik designnya. Ironisnya beberapa dari mereka selalu dengan lantang pula
berteriak-teriak menyalahkan pengungsi. Sungguh tak tahu malu dan tak bermoral.
Disini posisi penolakan saya yang pertama.
Kedua, mendikotomikan pemprov Maluku dan pengungsi nakal sebagai dua elemen
yang berhadap-hadapan, akan mengaburkan peran elemen lainnya dalam mekanisme
penanganan pengungsi selama ini. Peran para kontraktor dan calo project
penanganan pengungsi, tak pernah boleh dilupakan sebagai elemen
determinan/penentu lainnya dalam keutuhan mekanisme penanganan pengungsi.
Mereka sangat menentukan karena mereka merupakan perpanjangan tangan pemprov
Maluku di lapangan, terkait dengan distribusi beberapa jenis komponen material, yang
melekat secara inheren sebagai hak para pengungsi. Oleh kebanyakan pengungsi,
kelompok ini dilihat sebagai problem maker/pembuat masalah, yang selalu ditohok
kinerjanya, melalui banyak gugatan pengungsi. Tentu kita harus jujur juga untuk tidak
serta merta menggeneralisir kategori problem maker terhadap semua kontraktor, yang
pernah dan sedang terlibat dalam project-project pen! anganan pengungsi. Ada
diantara mereka yang memiliki kinerja yang terpuji, namun jumlahnya sangat
terbatas. Terhadap elemen ini saya belum akan menyoalnya pada kesempatan ini.
Persoalan saya adalah impresi/kesan keberpihakan pemprov Maluku terhadap
kontraktor nakal ketika berhadapan dengan pengungsi. Terhadap mereka pemerintah
cenderung mengelak, dengan menuntut masyarakat menyerahkan berbagai bukti
kenakalan mereka. "Sebutkan nama kontraktor-kontraktor itu!", "bawa buktinya,
jangan asal ngomong!", "jangan memfitnah!", demikian beberapa kutipan dari
ungkapan para pejabat pemprov Maluku, sebagaimana yang terpublikasi melalui !
media masa. Sikap ini menjadi sangat kontras ketika terhadap pengungsi nakal,
pemerintah membentuk tim hukum untuk melakukan investigasi. Dengan sangat
mudah kita bisa menganalogikan kelompok kontraktor nakal, sebagai anak-anak
domba dalam lindungan pemerintah sebagai gembala. Sebaliknya para pengungsi
sebagai serigala yang selalu merongrong dan siap merampok di peternakan para
gembala, dan karenanya instrumen hukum harus dipasang terhadap mereka. "Dunya
su tabula-bale" begitu ungkapan lokal yang sering kita dengar ketika orang
mengekspresi kan sebuah kenyataan yang menistakan akal budi dan moral. Hukum
tidak lagi menggaransi aspek pemenuhan rasa keadilan masyarakat, selain aspek
kepastian hukum dan kepastian pelaksanaan hukum. Kebijakan pemprov menjadi
produk hukum yang sepenuhnya ditunggangi oleh otoritas joki pemerintah, dan
diarahkan kemana mereka kehendaki. Sungguh tak tahu malu!. Disinilah posisi
penolakan saya yang ke-dua.
Ketiga, dengan mereduksi dan mentransformasi kesalahan hanya kepada pengungsi,
maka salah satu implikasi yang akan muncul adalah melemahnya solidaritas kelas
pengungsi. Kelompok masyarakat yang tergabung berdasarkan kesamaan nasib dan
penundukan oleh sistem. Kelompok seperti ini, seperti kebanyakan kelompok rakyat
kecil lainnya memiliki karakter yang rentan terhadap perpecahan bila tak diorganisir
dengan baik. Kemampuan mengolah sensitifitas diantara mereka cenderung lemah,
bila kedapatan ada yang berkhianat terhadap spirit kolektif perjuangan mereka. Dalam
tulisan saya sebelumnya yang dipublikasi di harian Suara Maluku dengan top! ic
"Bersatulah Pengungsi Maluku" saya telah menyinggung bagaimana implikasi
penundukan terhadap kelompok pengungsi, menjadi sebuah output dari system
penanganan yang ditentukan melalui otoritas penguasa. Implikasi ini semakin jelas
nampak melalui penetapan pembentukan tim hukum oleh pemerintah, yang secara
sepihak hanya diarahkan kepada pengungsi yang nakal.
Mengintrodusir perspektif tunggal dengan menekankan kesalahan pada pengungsi,
berimplikasi pada terbangunnya sikap sensitive untuk saling mencurigai diantara
pengungsi. Energi kolektif pengungsi yang diharapkan menggumpal untuk menggugat
mekanisme penanganan yang tidak adil, terpeca! hkan untuk mencermati adanya
penghianatan internal diantara mereka. Implikasi lanjutnya tak sulit diduga. Pengungsi
akan disibukan untuk saling memantau satu terhadap lainnya, yang berakibat
melemahnya focus dan gugatan mereka terhadap elemen penentu lainnya, didalam
keseluruhan system penanganan pengungsi yang sesungguhnya merupakan pokok
masalah. Pandangan ini tidaklah berarti saya menutup mata terhadap adanya
pengungsi nakal, yang memang patut ditindak. Pokok kritikan saya bahwa implikasi
kebijakan ini akan menyembunyikan kejahatan lain yang jauh lebih besar, ketimbang
kenakalan sekelompok pengungsi nakal. Kalau prosentase ketidak-adilan dari sebuah
output kebijakan, jauh lebih besar dari prosentase keadilan yang mau dicapai, maka
kebijakan itu harus disempurnakan atau sama sekali ditolak. Disinilah posisi
penolakan saya yang ke-tiga.
Terhadap tiga posisi penolakan ini saya sungguh berharap, bahwa kebijakan ini
diambil berdasarkan kegemasan para pemimpin di daerah ini, terhadap impotensi
system dan mekanisme yang mereka bangun, terkait dengan penanganan pengungsi
yang berlarut-larut. Bukan berdasarkan sebuah pengolahan akal budi yang terstruktur,
dengan mempertimbangkan secara matang aspek-aspek moral yang membingkainya.
Sebab bila mereka berkeras untuk mengatakan bahwa kebijakan ini telah
dipertimbangkan dengan matang, maka saya kira tak terlalu salah untuk mengatakan,
bahwa kelas pengungsi di Maluku sedang berhadapan dengan system pemerintahan
rezim. Didalamnya terjadi perkoncoan penguasa dan pengusaha, untuk berhadapan
dengan rakyat yang dipimpinnya. Saya lalu mengingat sebuah dialog antara seorang
warga kota dengan sang guru. Di tepi jalan seorang warga kota bertanya pada sang
guru, "bagaimana saya harus mengenali pemimpin saya?". Jawab sang guru,
"kenalilah dia bukan ketika dia memimpinmu, tetapi ketika dia melayanimu".
MASARIKU NETWORK AMBON
|