Paras Indonesia, April, 18 2006 @ 12:28 pm
Agama Dalam "The Indonesian Dream"
By: Imdadun Rahmat
M. Imdadun Rahmat adalah penulis buku Arus Baru Islam Radikal: Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (2006)
Minggu-minggu ini berlangsung polemik dan diskusi di media massa menyangkut dua
hal; RUU APP dan relevansi Pancasila sebagai falsafah/ideologi negara. RUU APP
menimbulkan perang statement dan argumentasi dari pihak yang pro dan kontra.
Sedangkan tentang hal kedua Sulastomo menulis di harian Kompas dengan judul
"Masih Relevankah Pancasila?" (Kompas, 4/3) yang ditanggapi oleh M. Alfan Alfian di
koran yang sama berjudul "Mimpi Pancasila yang Tidak Pernah Terwujud" (Kompas,
14/3) yang kemudian ditanggapi lagi oleh Sulastomo dalam "Merekonstruksi 'The
Indonesian Dream'" (Kompas, 17/4). Polemik dan diskusi ini tidak saja menarik dari
segi discource, tetapi juga sangat penting karena muaranya akan menentukan tidak
saja nasib kita sebagai warga negara tetapi juga eksistensi kita sebagai bangsa. Dua
tema ini seakan-akan terpisah satu sama lain tetapi seungguhnya mendedah hakikat
yang sama; keindonesiaan yang semakin pudar.
Salah satu hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai
dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk
menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan
tidak porno dibangun dari keyakinan, sumber, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi
bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai
dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa
ketidakadilan.
Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran yang berharga bahwa segala macam
penyeragaman akan menuai perasaan ketertindasan bagi kalangan minoritas.
Kebijakan penyeragaman sistem budaya dan politik beraroma Jawa yang berjargon
"membangun jatidiri bangsa" di masa Orde Baru mudah sekali dibaca sebagai
"Jawanisasi". Ini tidak saja mendistorsi hakekat ke-Indonesia-an tetapi juga
melahirkan sentimen anti Jawa bahkan membangkitkan sentimen kedaerahan yang
sempit.
Ketika RUU tentang pornografi dan pornoaksi ditengarai abai terhadap keragaman
budaya, keanekaan adat dan ketidaktunggalan nilai-nilai agama, orang kemudian
muncul daya kritisnya dan bertanya; ini kepentingan siapa? Jawaban
terang-benderang muncul ketika pendukung RUU ini tidak saja ormas-ormas Islam
mainstream semisal NU dan Muhammadiyah tetapi juga kalangan gerakan Islam
yang lebih ekslusif lengkap dengan aksi massanya. Maka bukan hal aneh kalau
kaum minoritas menolak sembari berujar "ini Islamisasi".
Perasaan terdiskriminasi yang mebuncah tak pelak melahirkan kehawatiran
bercampur kemarahan kalangan kaum minoritas. Eksistensi mereka sebagai bagian
sah dari Indonesia terasakan sedang dieliminasi untuk tidak mengatakan
dinegasikan. Budaya dan nilai-nilai unik yang hidup dan menghidupi komunitas
suku-suku dan agama-agama minoritas tidak diakui sebagai hakikat yang legal dan
berhak hidup di negeri ini.
Dalam situasi krusial ini perbincangan tentang Pancasila menemukan momentumnya.
Barangkali kita sepakat bahwa Pancasila telah gagal menunaikan mandatnya menjadi
landasan karacter building bangsa ini. Kita dihadapkan pada kenyataan orang-orang
yang paling getol mendakwahkan Pancasila justru menampilkan perilaku yang
berpunggung-punggungan dengan ciri "Pancasilais" sebagaimana dikehendaki
Soekarno dan generasi founding fathers kita. Sistem politik, ekonomi dan budaya
yang dikampanyekan sebagai "berlandaskan Pancasila" terbukti menghasilkan
bangunan yang menindas tetapi rapuh. Kira-kira demikian ungkap Alfan Alfian
(Kompas, 14/3). Akibatnya di mata generasi kita, Pancasila bagaikan macan dalam
sirkus; dianggap angker sambil ditertawakan jadi hiburan.
Di tengah citranya yang sedang terpuruk, sesungguhnya Pancasila meletakkan
landasan kokoh yang belum tergoyahkan hingga kini; ia menjadi acuan nation state
kita yang meletakkan seluruh agama pada posisi yang sama. Kesetaraan kedudukan
agama-agama menjadi pilar teramat penting tidak saja bagi keutuhan teritorial tetapi
juga eksistensi Indonesia. Sejak mula, Indonesia dibangun di atas keragaman.
Adalah keajaiban dunia, sebuah bangsa bisa muncul dari keberbedaan yang tak
terhingga, dan bertahan ketika bangsa-bangsa lain pecah berantakan tak tahan
menampung geliat perbedaan. Inilah satu-satunya yang bisa kita banggakan sebagai
bangsa.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan dari waktu ke waktu, prinsip kesetaraan
agama-agama dalam konteks negara ini tetap bertahan sebagai penyangga
berkembangnya multikuturalisme. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat
rentan, multikulturalisme menjadi palung penyelamat. Modal sosial kultural yang
berbasis ko-eksistensi (saling menghormati) bahkan pro-eksistensi (saling
menghidupi) antar golongan, suku, ras dan agama ini menjadi benteng pertahanan
dari berbagai triger ke arah kekacauan sosial. Mau tidak mau kita harus bilang
"Pancasila tak ada matinya".
Adalah suatu hal yang memprihatinkan ketika asas multikultur berbasis pengakuan
yang sama terhadap nilai-nilai budaya dan agama-agama mengalami reduksi dari
waktu ke waktu. Asas kesetaraan agama-agama merupakan salah satu aspek yang
oleh Sulastomo disebut sebagai "The Indonesian Dream" yang terkait dan sejajar
dengan asas lain seperti keadilan sosial, kesatuan bangsa dan representative
democracy yang berbasis musyawarah. Memudarnya sensitifitas para pengambil
kebijakan terhadap keberbagaian agama dalam meramu RUU APP menunjukkan
adanya erosi jati diri ke-Indonesia-an kita sebagai bangsa. Kearifan dan kebajikan KH.
Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman, KH. Mas Mansyur dan
teman-temannya gagal diwarisi oleh generasi kita saat ini. Dengan kesalehan yang
tak diragukan para ulama negarawan ini menghormati eksistensi golongan lain yang
berbeda. Mereka tidak terbelenggu hasrat memutlakkan keyakinan atas orang lain.
Karena bagi mereka inilah hakekat Indonesia; keberagaman.
Dengan demikian, tak hanya Pancasila yang harus direaktualisasi tetapi juga
penghayatan kita terhadap ke-Indonesia-an. Hal yang perlu menjadi agenda kita
adalah meneguhkan kembali komitmen kita terhadap hakekat negara yang bercorak
"secular religius" dalam arti bukan negara teokratis tetapi menempatkan
agama-agama sebagai aspek yang amat penting dan memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan Pancasila sebagai payung bersama (common denominator).
Dalam konteks ini ummat Islam sebagai mayoritas seyogyanya tidak menampilkan
diri dalam warna ekslusif. Dalam arti, gerakan Islam tidak menampakkan warna
keislamannya, tetapi mengintegrasikan amal baktinya dalam kegiatan bangsa secara
keseluruhan. Agenda dan pilihan masalahnya adalah masalah bangsa.
Paradigmanya, "berangkat dari agama untuk menyelesaikan masalah-masalah
bangsa". Artinya, Islam berperan sebagi sumber inspirasi dan motifasi bukan sebagai
dasar system social yang berlaku secara keseluruhan. Dalam konteks RUU APP,
Islam bukan alternatif bagi system social lainnya tetapi menjadi factor pelengkap dari
spectrum yang lebih luas dari factor-faktor lain dalam kehidupan bangsa. Dengan kata
lain, RUU APP mesti direvisi dengan meletakkan sumber moral Islam sebagai salah
satu saja dari sekian sumber yang berasal dari kenyataan keberagaman budaya dan
agama.
Prasyarat untuk hal di atas adalah adanya komitmen ummat Islam terhadap impian
bangsa Indonesia tentang sebuah tatanan politik yang dihasilkan oleh proklamasi
kemerdekaan di mana semua warga negara memiliki derajad yang sama tanpa
memandang asal-ususl agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin.
Konsekwensinya, politik ummat Islam Indonesiapun terikat dengan mimpi tersebut.
Segala bentuk ekslusifisme, sektarianisme dan –privelege-privelege harus dijauhi.
Maka cita-cita yang perlu diperjuangkan umat Islam dalam politik adalah sebuah
masyarakat Indonesia di mana ummat Islam kuat, dalam pengertian berfungsi dengan
baik sebagai warga negara. Mereka memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan
ummat yang lain untuk mewujudkan mimpi Indonesia tentang demokrasi, keutuhan
bangsa dan kehidupan yang adil. Wallahu a'lam.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|