Paras Indonesia, March, 14 2006 @ 09:27 am
Keputusan Konyol Jakarta
Joost W Mirino & Roberth Ivs Horassonte
Tabloid Suara Perempuan Papua
Bila pemerintah pusat memekarkan Provinsi Irja-Bar atau yang lain di luar UU RI No.
21, DPRP akan menggelar rapat paripurna untuk mengembalikan undang-undang
tersebut dan mengajukan referendum.
FRAKSI Gabungan DPRP yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan, Partai Persatuan Daerah, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan
Demokrasi Kebangsaan, Partai Amanat Nasional, Partai Kasih Peduli Bangsa dan
Partai Merdeka, dengan tegas berpendapat, mendukung keputusan MRP, yakni
menolak keberadaan Irja-Bar untuk saat ini dan menunggu proses pemekaran yang
diatur dengan UU No. 21/2001. Mereka juga mendesak pemerintah pusat untuk
konsekuen terhadap pelakanaan UU No 21/2001. Hal ini dikemukakan Weynand
Watori, anggota DPRP Papua dari Partai Merdeka saat dihubungi Suara Perempuan
Papua, Selasa sore, 7 Maret.
Dikatakan, hal itu sudah disampaikan pada Sidang Paripurna Khusus, 17 Februari
lalu. Saat itu Fraksi Partai Damai Sejahtera menegaskan, pemekaran Provinsi Irja-Bar
tidak dapat dilakukan sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang implementasi pasal-pasal dalam UU No. 21/2001 termasuk Pasal 76.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) DPRP, mengembalikan
masalah pemekaran kepada pemerintah pusat untuk dicarikan jalan penyelesaiannya
dengan tetap berpedoman kepada Pasal 76 UU No 21/2001.
Fraksi Golongan Karya juga memberikan pertimbangan agar prosedur pemekaran
Irja-Bar tetap mengacu pada Pasal 76 No 21/2001, dan pengkajian untuk mengetahui
kesiapan sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Selain itu, rencana pembuatan payung hukum provinsi baru ini harus dilakukan
dengan hati-hati dan mendalam. Karena pada saat yang bersamaan muncul tuntutan
pemekaran Provinsi Papua Selatan, Papua Utara dan Papua Tengah. Fraksi Golkar
berkomitmen melaksanakan UU No. 21/2001 sebagai landasan gerak semua
kebijakan di Papua sebagai strategi dalam rangka penguatan bingkai negara
Indonesia.
"Pemerintah Jakarta begitu nekat dan tak rasional lagi dalam membuat kebijakan
pemekaran dan Pilkada. Kebijakan yang sudah tak sesuai dengan komitmen awal
penyelesaian masalah-masalah politik di Papua. Di mana dasar pijaknya adalah UU
No. 21," kata Weynand. Ia menegaskan, hal itu sudah menjadi komitmen. Jadi, tidak
bisa kita menggunakan aturan lain, karena itu berarti kembali ke titik nol. Rakyat
akan kembali menuntut aspirasi mereka semula: Papua merdeka.
Weynand merujuk posisi MRP setelah tarik-menarik dengan Jakarta menyangkut
mekanisme memutuskan soal pemekaran. Dari konsultasi publik yang dilakukan,
sangat jelas bahwa masyarakat Irja-Bar umumnya menghendaki penundaan
pemekaran.
Mengenai Pilkada Irja-Bar yang akan dilaksanakan pada 11 Maret, Weynand
mengingatkan tentang keputusan DPRP pada Sidang Paripurna Khusus 17 Februari
lalu. Yakni, pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irja-Bar atau nama lain,
belum saatnya dilakukan. Dan bahwa pemekaran harus berdasarkan pasal 76 UU No.
21/2001.
"Bila pemerintah pusat memekarkan Provinsi Irja-Bar atau yang lain diluar UU No.
21/2001, DPRP akan menggelar rapat paripurna untuk mengembalikan
undang-undang tersebut dan minta referendum," tandas Weynand. Walau, katanya,
ini bukan keputusan lembaga, tapi perorangan. Mantan pengajar di Unipa Manokwari
ini mengatakan, ia dan rekan-rekannya di DPRP tak ‘kan beranjak sedikit pun dari
keputusan itu.
"Kepada pemerintah pusat, kami ingatkan: pertimbangkan baik-baik. Jangan
membuat keputusan konyol yang akan mengorbankan kepentingan negara; jangan
membuat konflik di Tanah Papua," tandasnya. Kunci pemecahan kebekuan ini,
menurut Weynand, ada di tangan Presiden SBY. Karena itu ia berharap presiden
yang tenang ini mau turun tangan mengatur Mendagri dalam hal membuat keputusan.
Apalagi yang sejalan dengan komitmen beliau bahwa penyelesaian Papua harus
sungguh-sungguh, bermartabat, adil dan komperensif. "Ini semua sesuai dengan UU
No. 21," tegas Weynand.
Yang terjadi kini, ungkap Weynand, mereka menggunakan UU No. 32/2004 sebagai
dasar pemerintahan dan Pilkada. Pemerintah tidak komit melaksanakan UU No. 21.
Daripada repot terus, kembalikan saja," ujarnya.
Ketidakpuasan juga datang dari puluhan mahasiswa yang mendatangi Sekertariat
MRP di Hotel Numbay, Dok V dan DPRP, Rabu, 8 Maret lalu. Kelompok bernama
Lintas Mahasiswa Peduli Demokrasi di Tanah Papua itu meminta pemerintah pusat
segera menyelesaikan masalah Irja-Bar sesuai UU No. 21/2001. Mereka
merentangkan spanduk dan poster sebagai wujud kekecewaan. Ada tulisan, antara
lain, Elite Politik Papua Stop jadi Boneka Pemerintah Pusat, Jangan Jadikan Rakyat
Papua Korban Karena Kepentingan Pusat.
Sekretaris Umum Dewan Adat Papua Leonard Imbiri kepada Suara Perempuan Papua
menegaskan, pemerintah Jakarta sengaja merawat kondisi ini demi kepentingannya.
"Sejak 12 Agustus lalu, kami sudah tegaskan, Pemerintah Republik Indonesia tidak
konsisten melaksanakan amanat rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU No. 21,"
katanya.
Sebagai persoalan sesama anak adat Papua yang diciptakan dari luar, Leo
menyarankan masalah Papua-Irja-Bar dibawa ke para-para adat. Di sinilah fora yang
bisa mengelakkan sesama anak adat dari jalan menuju konflik horizantal yang
sedang dirancangkan bagi mereka.
Leo berharap Jakarta tidak setengah-setengah memberikan wewenang kepada Papua
untuk mengatur dirinya. "Pengalaman selama ini memperlihatkan kebijakan pusat
hanya memarginalisasi masyarakat," paparnya.
Reaksi penolakan memang telah ditampilkan di mana-mana. Leo menyebutkan,
misalnya, pihaknya telah didatangi Sekretaris Dewan Adat Daerah Sorong, Yoab
Syatfle, yang menegaskan penolakan masyarakatnya mengikuti Pilkada Irja-Bar.
Alasanya, soal payung hukum yang belum ada. "Kami juga akan meyurati DPRP
untuk konsisten pada keputusan Sidang Paripurna Khusus pada 17 Februari lalu,"
kata Leonard Imbiri.
Sekretaris Dewan Adat Daerah Sorong, Yoab Syatfle, tiba di Jayapura, Selasa siang,
7 Maret dengan pesawat Merpati. Saat itu, ia ditemani Wakil Ketua DPRD Kota
Sorong Yosafat Kambu, Amandus Mirino, Dr. Pdt. Marten ML Wanaha, dan Marten
Yauwen.
"Kami sudah demo dua kali, yaitu 16 Februari dan 6 Maret untuk mendukung
keputusan DPRP Kota Sorong dalam Sidang Paripurna khusus 17 Februari lalu,"
paparnya. Yoab juga menyatakan dukungan terhadap Surat Rekomendasi MRP serta
tiga yang dimuat dalam SK MRP No 04/MRP/2006. Rekomendasi itu pertama,
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru, seperti Propinsi Irja-Bar
atau dengan nama lain, belum saatnya dilakukan.
Kedua, Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi baru seperti Irja-Bar atau
dengan nama lain dilakukan berdasarkan Pasal 76 UU No. 21/ 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua.
Apabila pemekaran Provinsi Papua tetap dilaksanakan dengan mengabaikan diktum
pertama dan kedua keputusan ini, masalah Papua akan semakin rumit. Oleh karena
itu, MRP, atas nama rakyat Papua, meminta pemerintah melakukan dialog guna
menyelesaikan masalah Papua secara demokratis, komprehensif, adil, dan
bermartabat.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Papua meliputi seluruh wilayah
Provinsi Papua, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a UU No 21/2001, yang
sebelumnya disebut Provinsi Irian Jaya.
"Kami berdemo di DPRD Kota Sorong karena mendukung rekomendasi ini. Irjabar tak
ada payung hukumnya, jadi Pilkada tak perlu dilaksanakan,"ujar dia, yang mengaku
telah bertemu Wakil Ketua MRP Ir. Wospakrik dan juga Ramses Wally dari Komisi A
DPRP untuk menyampaikan ketidakinginan itu.
"Kami telah menyampaikan aspirasi, bila Pilkada Irja-Bar dipaksakan, Sorong
Selatan, Kabupaten Sorong, Kota Sorong, dan Raja Ampat akan melakukan boikot.
Kami minta Pilkada Irja-Bar ditunda sampai ada keterangan dan jawaban yang jelas
dari pemerintah pusat," ujarnya.
Ketua DPRD Irianjaya Barat Jimmy Demianus Idjie yang dihubungi, Rabu malam, 8
Maret menegaskan, ia tetap akan tampil dengan pendiriannya. "Kami tetap
laksanakan Pilkada 11 Maret nanti. Saya tak gentar, saya bukan tipe orang yang
mudah ditakut-takuti," kata Jimmy lugas.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|