The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Paras Indonesia


Paras Indonesia, January, 18 2006 @ 10:32 am

Catatan Awal Tahun HAM Papua

Bonar Tigor Naipospos, Ketua Solidaritas Nasional untuk Papua (SNUP)

Sepanjang tahun 2005 kondisi situasi hak asasi manusia, khususnya sipil dan politik, ada kemajuan dibanding tahun sebelumnya. Setidaknya ada dua kejadian menonjol, yang pertama ketika terjadi tindakan represif terhadap pendukung dan simpatisan Filep Karma saat ia disidangkan di Jayapura, dan yang kedua, baru-baru ini, tewasnya seorang penduduk sipil pada 1 Desember 2005 di Boven Digul. Orang tersebut mencoba mengibarkan bendera Bintang Kejora namun kemudian ditembak mati oleh aparat setempat. Di lain pihak, kita juga dapat melihat adanya ruang bagi kebebasan berekspresi di Papua, terbukti dengan banyaknya demonstrasi yang masih ditolerir oleh aparat setempat. Juga waktu demonstrasi saat pengembalian Otsus, 12 Agustus 2005.

Yang menjadi kekhawatiran adalah penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Misalnya sampai sekarang tidak jelas tindak lanjut dari Komnas HAM atas kasus-kasus Kimaam dan Wasior misalnya. Walaupun sudah diinvestigasikan, sampai sekarang tidak jelas bagaimana laporannya. Ada juga kasus Abepura yang vonisnya cukup mengecewakan dan perlu diragukan independensi majelis hakim pengadilan Ham kasus tersebut. Belum lagi kasus-kasus seperti Puncak Jaya, penembakan di Wutun, Freeport, Timika (update: liat tulisan Hans Gebze). Yang juga menjadi keprihatinan adalah Komisi Daerah HAM Papua yang sejak 2004 akhir telah dibentuk namun sampai sekarang belum berjalan efektif. Dengan anggaran yang kecil, komisi ini belum melakukan investigasi terhadap sejumlah kasus yang ada di Papua. Penanganan pelanggaran HAM masa lalu yang seakan-akan diabaikan. Komda HAM Papua dan KOMNASHAM tampaknya kurang ada perhatian terhadap masalah ini, padahal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah usaha yang dapat meningkatkan rasa percaya dan keadilan rakyat Papua terhadap pemerintah.

Penegakan hak ekonomi, sosial dan budaya juga sangat mengkhawatirkan. Sangat buruk tingkat pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Penyebaran HIV/AIDS boleh dikata yang tertinggi di Indonesia. Kematian ibu dan anak Papua juga yang tertinggi di Indonesia. Menurut data Bank Dunia, hampir 73 persen rakyat papua di bawah garis kemiskinan, dan kematian di Yahukimo adalah indikasi yang terparah, dipicu oleh kurangnya perhatian pemerintah. Barnabas Suebu mengatakan ada dua dunia yang berbeda. Dunia elit mempermainkan uang otsus dan tak kentara dan menetes ke rakyat bawah.

Kisruh tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) dan PILKADA mewarnai politik Papua sepanjang 2005. Memang MRP pada Nopember 2005 telah terbentuk dan perlu diberikan apresiasi. Namun sekarangpun intervensi pemerintah terhadap MRP terus dirasakan. Ada upaya untuk menekan MRP untuk segera mengesahkan provinsi Irja Barat. Sesungguhnya tugas MRP bukan hanya soal pemekaran tetapi lebih dari itu, yaitu menyusun sebuah kebijakan yang memihak rakyat. Upaya konsultasi MRP dengan rakyat menyangkut pemekaran perlu didukung, bukan intervensi pemerintah pusat terhadap MRP. Pemekaran adalah domain rakyat papua, biarkan rakyat Papua sendiri yang menentukan apakah pemekaran provinsi itu sebaiknya berlangsung atau tidak.

Isu Papua juga rupanya menguat di dunia internasional, bukan karena diangkat oleh dua orang anggota konggres Amerika Serikat, namun juga karena dukungan sejumlah organisasi internasional dan sejumlah anggota parlemen Eropa, Selandia Baru dan Australia. Kalau pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani masalah Papua, masalah ini akan menjadi batu sandungan bagi pemerintah pusat. Karena itu pemerintah sebaiknya memfasilitasi sebuah dialog nasional yang melibatkan seluruh elemen rakyat Papua, termasuk yang selama ini beroposisi, seperti Presidium Dewan Papua (PDP), dan mereka yang berada di luar seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), ataupun grup Bintang 14, untuk tbertemu dalam dialog yang jujur dan terbuka untuk membahas tentang Papua di masa depan.

Yang terakhir, kebenaran dari Pepera 1969 juga perlu dibahas. Seperti disebut kan oleh undang-undang otsus, dimungkinkan dibentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk Papua. Ini bukanlah untuk mempersoalkan status politik Papua karena secara internasional status Papua adalah bagian sah dari Indonesia. Namun rakyat Papua berhak mengetahui kebenaran bagaimana proses itu terjadi, karena itu merupakan suatu proses penyembuhan. Kalau rakyat Papua dapat memahami suatu proses politik pada waktu itu, maka rakyat Papua juga dapat mencoba untuk tulus dan memahaminya. Selama proses Pepera 1969 belum dibeberkan, maka bagian dari sejarah ini akan tetap menjadi ganjalan bagi relasi Papua dan Jakarta di kemudian hari.

Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/lokkie2005
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044