Paras Indonesia, March, 23 2006 @ 11:15 am
Kisah Dibalik Serbuk Emas
Eri Sutrisno & Cunding Levi, perempuan_papua@yahoo.com
Menjadi pendulang emas tradisional di dalam kawasan Freeport selain
menguntungkan, tapi juga merugikan. Sejauh mana kisah dibalik serbuk-serbuk emas
itu?
Deretan toko emas di Jalan Bogenvile samping Pasar Timika, terlihat sepi. Hanya
satu-satu pengunjung terlihat keluar atau masuk ke toko yang khusus jual dan
membeli emas di kawasan itu. Disinilah hasil pendulangan emas tradisional dalam
bentuk serbuk emas dari para pendulang yang dilakukan dalam kawasan Freeport
bermuara. "Hanya saja saat ini lagi sepi," ujar Hapsah, salah satu pedagang emas
yang ditemui di Timika, beberapa waktu lalu.
Padahal, sebelum kasus penertiban yang berakhir bentrok dan pemalangan di Ridge
Camp Mile 72 Tembagapura, Timika Selasa, 21 Februari 2006 lalu, bisnis membeli
serbuk emas dari para pendulang tradisional cukup ramai. "Bahkan dua hari sebelum
pemalangan terjadi kasus di mile 72 itu, hampir semua pembeli emas dulang di
deretan pertokoan ini kehabisan uang modal beli emas dari para pendulang. Mereka
yang datang jual emas, tak hanya warga asli suku setempat, tapi juga ada orang
yang dari luar Papua dan juga aparat keamanan, seperti TNI atau Polisi," tambahnya.
Bisnis pembelian emas dari para pendulang cukup menggiurkan. Biasanya mereka
bisa mengumpulkan 100 gram hingga satu kilogram dalam seminggu. Walau ada
yang diolah dalam bentuk jadi seperti kalung, cincin dan gelang atau lainnya di Kota
Timika, tapi meningkatnya emas yang mereka beli, dibanding yang dijual kembali,
serbuk emas ini biasanya mereka kirim ke luar Timika, seperti ke Makassar dan
Jayapura atau kota-kota besar lainnya. Satu gram emas yang berupa serbuk itu,
dihargai Rp 100 ribu dari para pendulang. Jika sudah dilebur, harganya bisa mencapai
Rp 160 ribu per gram. Harga ini belum dihitung jika logam mulia itu sudah dibentuk
menjadi cincin atau kalung dan lainnya. Harga 100 ribu rupiah didapat jika para
pembeli melakukan transaksinya di Kota Timika atau di toko emas mereka. Tapi jika
para pembeli membeli langsung di lokasi pendulangan, harganya bisa Rp 50 ribu per
gramnya atau bisa kurang dari harga itu.
Di lokasi pendulangan, serbuk emas hasil dulang bisa dibarter dengan bahan
makanan atau barang lainnya.
"Untuk mendapat keuntungan lebih, kami sering mempermainkan berat gramnya.
Misalnya, berat sesungguhnya ada sepuluh gram, tapi jika dipermainkan angka di alat
penimbangan, beratnya bisa turun jadi lima gram. Sehingga berat itulah yang kami
banyar. Apalagi para pendulang yang rata-rata warga suku asli Papua memang tak
mengerti atau tak mempehatikan soal itu, tapi yang penting mereka terima uang,
pasti sudah senang," papar Amir, salah satu pembeli emas lainnya yang terkadang
bisa naik ke salah satu lokasi pendulangan di mile 38 atau mile 72 di dalam kawasan
Freeport, guna membeli langsung dari para pendulang.
Pendulang emas tradisional biasa ditemui di sepanjang mile 34 hingga di mile 72,
terutama di sepanjang sungai pembuangan tailing yang dikenal warga dengan nama
Kali Kabur. Sebab airnya berwarna keperak-perakan akibat air sungai bercampur
tailing atau lumpur konsentrat sisa bongkahan batu mineral yang sudah digerus
mesin produksi perusahaan yang ditempatkan di mile 72. Sisa yang berbentuk
lempungan dan nilai ekonomisnya dianggap sudah rendah inilah yang dialirkan ke
sungai itu. Sementara pisahan yang sudah dalam bentuk emas, perak, dan tembaga
dialirkan ke pipa dari ketinggian 3000 meter dari permukaan air laut atau dari
sepanjang mile 72 ke pelabuhan Amampare di Port Site yang siap diangkut kapal ke
luar. Tempat paling diminati pendulang di mile 72, tepatnya di bawah mesin pemecah
batu raksasa perusahaan. Sebab di lokasi ini serbuk emasnya cukup banyak,
dibanding lokasi dibawahnya.
"Sebab sehari taruh pantat (berendam) di sungai di mile 72 itu, kitorang (kami) bisa
dapat 10 hingga 20 gram lebih," ujar Pius Kogoya, salah satu pendulang tradisional
yang mengaku mulai menggeluti usaha pendulangan tiga tahun lalu.
Para pendulang emas tradisional dan para pembelinya yang datang membawa uang
dalam kopor, jelas membutuhkan bantuan orang dalam untuk sampai ke lokasi.
Belum lagi lokasi ini mendapat penjagaan super ketat dari petugas keamanan, baik
dari TNI, Polisi maupun security Freeport. Memang memasuki kawasan Freeport,
tidaklah gampang. Selain harus mendapatkan ijin resmi dari perusahaan, tapi juga
harus menggunakan mobil khusus yang berkekuatan besar.
Pengunjung resmi harus melewati sekitar enam pos penjagaan atau dikenal sebagai
chek point di sepanjang jalan dari Timika ke Tembagapura. Belum lagi beberapa
pos-pos monyet yang dipasang sepanjang jalur yang hanya satu-satunya jalan
menuju Tembagapura dan tempat penambangan. Terus dalam satu chek point
misalnya, ditemui lima hingga tujuh personil keamanan, baik polisi, TNI atau security
Freeport.
Untuk naik ke lokasi pendulangan harus rela membayar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta
per kepala kepada pihak aparat keamanan yang akan mengantar menggunakan
kendaraannya.
"Jika tidak, biasanya ada juga dalam bentuk bagi hasil. Tapi kitorang (kami) mau naik
ke lokasi pendulangan, harus rombongan minimal empat orang dan jangan lebih
sepuluh orang. Sebab biasanya dorang (mereka) tentara tidak mau antar, takut
ketahuan orang. Sehingga kitorang biasanya naik pada malam hari," terang Pius yang
mengaku bisa naik ke lokasi pendulangan berkat bantuan aparat keamanan.
Pendulangan yang dilakukan di tailing yang dilepas ke lembah mulai dari pabrik di
mile 72 di Utikini, dan turun ke Banti di mile 68 sampai ke Sungai Ajkwa dan
bermuara di sekitar pelabuhan Amampare di Poumako itu cukup menjanjikan
kehidupan para pendulangnya. Pendulangan ini baru dikenal warga suku setempat
sekitar tahun 2002 itu dan peminatnya sedikit. Hanya warga yang berada di dalam
kawasan perusahaan, seperti warga di Kampung Banti di sekitar mile 68, Kampung
Utikini di sekitar mile 72 dan beberapa kampung kecil lainnya yang ada di sepanjang
aliran tailing Freeport. Tapi kini, pekerjaan dulang emas sisa Freeport itu sudah
menjadi pekerjaan pokok dan sangat diminati. Selain warga asli suku setempat yang
ada di kawasan Kota Timika (di luar kawasan Freeport), tapi juga warga pendatang,
baik orang Sulawesi, Maluku, dan Jawa.
Bahkan kini ada diantara mereka mendatangkan keluarganyan dari daerah lain dan
begitu pun dengan peralatan yang mereka gunakan, biasanya dibeli dari luar Kota
Timika. Lihat saja saat aksi pemalangan di mile 72 itu, ada sekitar 500 pendulang
yang ikut aksi. Jumlah ini belum terhitung mereka yang ada di mile dibawahnya,
seperti di mile 34 dan lainnya. Diperkirankan ribuan pendulang tradisional yang kini
tengah mendulang di dalam kawasan Freeport.
Para pendulang yang mengais sisa-sisa tambang dari Freeport itu dilakukan secara
sederhana. Di dasar sungai terdapat gundukan pasir bercampur lumpur itu terdapat
emas berbentuk serbuk bercampur pasir. Sehingga dengan peralatan sederhana,
wajan penggorengan dan sekop mereka memulai pekerjaannya. Pasir yang ada di
dasar dikeruk dengan menggunakan sekop, lalu ditampung di wajan penggorengan
berdiameter 50 centimeter atau lebih dan kemudian digoyang-goyang bersama air
sungai. Sehingga, pasir, lumpur dan serbuk emas terpisah. Serbuk emas secara
otomatis berada di bagian dalam wajah penggorengan, sedangkan sisa material
lainnya berada di luar.
"Dalam seminggu, bisa mendapat serbuk emas antara 30 hingga 50 gram dan paling
banyak itu di lokasi pendulangan mulai dari atas Utikini di mile 72 hingga Banti di
Tembagapura, di mile 68," terang Pius.
Tingginya minat menjadi pendulang, diakui beberapa warga yang ada di Kwamki
Lama dan Kwamki Baru di Kota Timika. Dua daerah ini memang basis orang-orang
dari enam suku asli (di luar Suku Kamoro) yang masuk dalam tujuh suku yang berhak
mendapat dana satu persen hasil bruto perusahaan Freeport. Namun kehidupan
mereka terlihat cukup memprihatinkan.
Dampak hasil pendulang ini bisa dibuktikan di rumah Pius Kogoya. Lihat saja
kehidupannya. Sebelum menggeluti penuh pekerjaan pendulangan emas tradisional di
dalam kawasan Freeport, kehidupannya tergolong miskin. Rumahnya yang berada di
Kwaki Lama, Kota Timika perlahan-lahan menampakkan perubahan. Walau hanya
dibangun seadanya yang terbuat dari separuh tembok dan tanah itu serta beratap
seng yang sudah mulai berkarat dan bocor di beberapa tempat, tapi di dalamnya bisa
ditemui peralatan stereo dan televisi berukuran besar. Bahkan dia kini sudah memiliki
handphone.
"Rencananya sebelum penertiban itu, sa (saya) ada mau beli sepeda motor. Tapi
sepertinya gagal, sebab dorang su (mereka sudah) larang kitorang dulang. Padahal
kitorang hanya ambil yang sisa-sisa saja dan itu kitorang (kami) ambil di tanah
sendiri," terang Pius yang mengaku dari hasil dulang dalam bentuk bubuk emas yang
dijual di Kota Timika bisa berpenghasilan Rp 7 juta hingga Rp 14 juta sebulan.
Namun tak jarang diantara mereka harus mempertaruhkan nyawanya akibat terseret
arus sungai, terjatuh dalam jurang, tertimpa batu atau longsoran dan yang paling
banyak diderita kulit kakinya membusuk akibat berendam seharian, dan terkena
penyakit kulit lainnya, serta diserang penyakit malaria yang cukup ganas di lokasi
pendulangan. "Bahkan di pertengahan tahun 2005 lalu,ada teman yang mati di dalam
tenda, karena sakit malaria dan kurang makan," ujar Pius.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|