Rakyat Merdeka, Kamis, 16 Maret 2006
Ambon & Poso Itu Ulah Elit
Membincang Agama Di Negeri Belanda (3)
Di sela-sela acara Dialog Antar Agama Indonesia-Belanda, yang digelar antara 28
Februari hingga 1 Maret lalu oleh Kedutaan Besar RI (KBRI) Den Haag, bekerjasama
dengan organisasi-organisasi non pemerintah setempat seperti Cordaid, Islamic
University of Rotterdam, Kerkinactie, dan Radio Nederland serta dukungan
Kementrian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dan Kemlu Belanda, koresponden Rakyat
Merdeka di Belanda A Supardi Adiwidjaya mewawancarai sosiolog Tamrin Amal
Tomagola Berikut ini petikannya.
Komentar Anda mengenai dialog antar agama Indonesia-Belanda ini?
Ini langkah awal yang bagus. Bagus bukan hanya bagi kelompok-kelompok agama
yang ikut, tetapi juga untuk hubungan antar negara, antara Indonesia dan Belanda.
Yang kalau bisa nanti lebih bagus lagi, kalau dia menjadi landasan hubungan antara
Indonesia dengan negara-negara Eropa Barat seluruhnya.
Dialog antar agama di Indonesia sendiri?
Masalahnya di Indonesia, agama bisa kita pahami paling kurang tiga wujud. Agama
sebagai dogma, sebagai ajaran. Kalau sebagai dogma, maka peranan Tuhan besar
sekali. Agama sebagai ideologi, di mana wahyu dan dogma itu diinterpretasi manusia
dan diwujudkan dalam satu wujud ideologi tertentu. Misalnya, ideologi Islamnya NU,
dengan ideologi Islamnya Muhammadiyah. Itu berbeda. Disitu campur tangan
manusia besar sekali sebagai ideologi. Ketiga, sebagai umat. Sekarang yang ribut di
Indonesia itu, atau kurang lancar atau tidak mulus itu sebenarnya dalam dua yang
pertama itu. Sebagai dogma itu memang tidak pernah ketemu. Kemudian yang serius
terjadi ditingkat ideologis. Yang nanti akan keluar misalnya dalam wujud-wujud
perdebatan dan pertikaian tentang UU pendidikan nasional yang baru saja terjadi.
Saat itu sengit sekali, karena disitu akan mengatur siapa guru agama di setiap
sekolah, apakah sekolah negeri, sekolah Muhammadiyah atau sekolah Katolik atau
sekolah Protestan - guru agama itu diangkat siapa? Itu menjadi isu politik antara
umat yang bukan main dan itu ideologi sebenarnya.
Penyelesaiannya?
Akhirnya hal itu diputuskan pemerintah. Itu mendapat tantangan kuat dari kelompok
Protestan, Katholik, Hindu dan sebagainya, karena mereka tahu persis, pemerintah
itu kan berarti ditangani Departemen Agama, yang mayoritasnya orang Islam. Itu
secara terselubung seperti kemenangan Islam dengan memakai baju negara. Tetapi
di tingkat umat sebenarnya tidak masalah. Konflik di Ambon, di Poso lebih
merupakan ulah dari para elit lokal, bukan ulah umat. Misalnya, di Nania (sebuah
desa, dari bandara Laha menuju kota madya Ambon berada sebelum Paso), dua
pihak umat itu sudah ketemu beberapa kali, malah dilarang pemimpinnya. Orang mau
bikin pertemuan dalam gereja, itu kemudian dipersoalkan. Sebenarnya antara umat
itu oke-oke saja. Karena pemimpin di atas kan punya "domba-domba" yang
digembalakan, kalau orang Islam itu punya umat. Itu kan sebenarnya power. Jadi
exercise power mereka. Padahal di antara umat tidak ada persoalan. Sekali lagi itu
sebenarnya lebih merupakan masalah elit agama, bukan masalah umat agama yang
biasa.
Komentar Anda mengenai toleransi agama dikaitkan dengan masalah Ahmadiyah?
Itu terlihat semacam pemaksaan dogma, karena syahadat itu kan dogma yang tidak
bisa ditawar. Pemaksaan dogma, yang tidak membumi dan lepas dari konteks.
Secara teologis barangkali MUI betul, bahwa tidak ada Nabi dan Rasul sesudah Nabi
Muhammad. Tapi secara sosiologis konteks kemasyarakatan itu harus diselidiki
kenapa sampai muncul gagasan seperti itu? Karena gagasan itu muncul dia muncul,
misalnya di Lahore atau dimana, dia muncul disitu pasti ada suatu keadaan tertentu.
Yang lebih penting, sebenarnya bukan gagasan itu sendiri, tapi keadaan, kondisi
yang melahirkan gagasan itu. Sehingga kita mungkin bisa memahami, jangan-jangan
yang maksudkan dengan Nabi dan Rasul itu dengan pengertian tertentu dan dalam
upaya menggunakan titik tolak itu, pemahaman itu untuk satu tujuan praktis dan
kontekstual tertentu.
Dalam konteks ini, ada pengertian tentang gagasan yang teologis, tetapi bagi saya
yang lebih penting itu kajian-kajian sosiologis untuk memahami. Kenapa kok desa
tertentu di Lombok, yang tertarik dengan gagasan Ahmadiyah itu, kenapa desa-desa
lain tidak tertarik. Juga misalnya di Parung. Kenapa cuma di Parung yang tertarik,
kenapa tempat-tempat lainnya di Bogor tidak tertarik? Atau tempat-tempat di Jawa
Barat yang lain tidak tertarik? Itu berarti dia sangat kontekstual. Ketertarikan pada
satu gagasan, kalau dia nyambung antara gagasan itu yang abstrak (itu sebenarnya -
ideologi) dengan kebutuhan praktis dalam rangka survive (bertahan).
Dilihat dari penyelesaian yang dilakukan oleh, katakanlah, kelompok Islam garis
keras itu sekali lagi menunjukkan keluar, bahwa lagi-lagi menunjukkan tidak toleran.
Bagaimana pendapat Anda ?
Ini sebenarnya, ada dua pihak yang bertanggungjawab. Pertama karena ada fatwa
MUI. Itu mungkin tadi seperti secara defensif Din Samsyuddin bilang, mereka tidak
menganjurkan kekerasan. Tetapi sebagai pemimpin, mustinya mereka tahu, bahwa
dengan fatwa itu bisa dimanfaatkan di lapangan untuk menyerang, karena secara
hukum agama sudah sah, sudah ada fatwa. Masa pemimpin pada tingkat MUI tidak
mengantisipasi itu. Itu kesalahan besar. Kemudian, sebelum menjatuhkan fatwa
begitu, kenapa tidak ditempuh cara-cara yang berdasarkan ukhuwah islamiyah.
Kesalahan kedua, sebenarnya pemerintah. Terutama pemerintah daerah, karena tidak
mengantisipasi itu. Tugasnya aparatur negara itu kan sebenarnya memberikan
jaminan keamanan. Yang paling bertangungjawab terutama adalah dua pihak yang
saya sebutkan itu. Bukan pihak yang menyerang itu. Mereka yang menyerang itu
dapat angin untuk melakukan kekerasan itu. Sebenarnya pemerintah bisa mencegah
itu, atau langsung ditindak sebagai tindakan kriminal terhadap orang atau kelompok
yang melakukan tindakan kekerasan itu. Tetapi itu tidak dilakukan pemerintah.RM
|