Radio Nederland Wereldomroep, Senin 03 April 2006 12:45 WIB
Suaka Politik dan Internasionalisasi Masalah Papua
Intro: Gelombang suaka dari Papua kembali terjadi. Kali ini giliran tiga aktivis
mahasiwa Universitas Cendrawasih. Mereka mengajukan suaka ke Papua Nugini
karena takut pada perburuan polisi terhadap orang-orang yang diduga terlibat bentrok
Abepura, beberapa waktu lalu. Menariknya pemerintah Jakarta berupaya membantah
permintaan suaka ini. Berikut laporan kantor berita 68h di Jakarta.
Ketiga aktivis mahasiswa Universitas Cendrawasih itu dikabarkan telah berada di
Papua Nugini. Mereka meminta perlindungan pemerintah Papua Nugini untuk
menghindari kekerasan aparat keamanan Indonesia.
Juru bicara Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua PEPERA
Sfert Kayet, mengatakan, menyusul bentrokan di Abepura 16 Maret 2006 lalu, polisi
terus memburu orang-orang yang diduga terlibat aksi itu.
Sfert Kayet: Nama-nama yang termasuk dalam DPO, kami belum ketahui karena
masih rahasia. Tetapi walaupun penetapan nama-nama tersebut hanya sekitar 12
orang tapi yang dikejar itu kan yang demonstran. Karena dikejar, maka temen-temen
berusaha melarikan diri. (Mereka masuk ke Papua Nugini ini kapan bung Kayet? )
Sekitar kemarin atau kemarin dulu. Mereka masuk lewat jalan darat. (Sehari setelah
peristiwa Abepura kemarin bung?) Pada hari Jumat itu setelah kejadian ada
penyisiran oleh aparat. Maka semua teman-teman mahasiswa berusaha menghindar.
Dan menyelamatkan diri.
Sfert Kayet memperkirakan jumlah mahasiswa yang meminta suaka ke Papua Nugini
akan terus bertambah. Menurutnya, saat ini setidaknya terdapat seratusan
mahasiswa Papua yang juga akan mengajukan suaka. Mereka kini tengah
bersembunyi di pegunungan pada perbatasan Indonesia Papua Nugini.
Ketakutan para aktivis Papua dinilai berlebihan oleh kepolisian Abepura. Menurut
Wakapolres Abepura Gatot Aris Purbaya, mereka semestinya tak perlu minta suaka
ke negeri orang. Jika betul mereka terlibat, sebaiknya mereka datang ke polisi. Dan,
begitu katanya, polisi akan menjamin keselamatan mereka.
Gatot Aris Purbaya: Makanya kalau mereka gentle suruh mereka datang baik-baik.
Kalau memang dalam DPO dia ada di situ, datamg. Karena DPO belum tentu
bersalah. Polri dalam penyidikan kan tidak bisa memvonis mereka bersalah apa tidak.
Nanti di pengadilan itu. Kita berusaha seprofesioanl mungkin. Kita buktikan
bersama-sama tidak ada yang sampai mati.
Gatot menambahkan, sesuai undang-undang, polisi hanya mencari orang-orang yang
bersalah dalam kasus Abepura. Setelah ditangkap, selanjutnya proses hukum
pengadilanlah yang akan berjalan.
Kabar warga Papua mengajukan suaka politik ke Papua Nugini ini dibantah
perwakilan Indonesia di Papua Nugini. Kepala perwakilan Indonesia di Vanimo
Ignatius Kristanyo Hardojo mengaku telah mencek masalah permintaan suaka
tersebut kepada pemerintah Papua Nugini. Namun, demikian Kristanyo, hingga kini
pemerintah Papua Nugini mengaku belum menerima permintaan suaka tersebut.
Ignatius Kristanyo Hardojo: Saya pernah ditanya oleh teman kita di KBRI di Port
Moresby, tetapi hingga hari ini dari atas pertanyaan dari KBRI di Port Moresby, dan
kami telah cek kepada pejabat-pejabat setempat tidak ada warga negara Indonesia
yang meminta suaka politik di Papua Nugini, khususnya di Vanimo. Kita lakukan itu
kan hari Jum'at. Hari besok saya akan ketemu lagi dengan ketua atau kepala badan
perbatasannya Sandaun Province
Menurut Kristanyo pihaknya juga telah memeriksa sejumlah pintu perbatasan
Indonesia Papua Nugini. Ini untuk memastikan kabar rencana masuknya ratusan
mahasiswa Papua ke PNG. Dari hasil pemeriksaan petugas perbatasan tidak
ditemukan para mahasiswa tersebut.
Mungkin saja para petugas perbatasan belum menemui mereka. Ketua Umum Front
Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, Hans Gebze mengatakan sampai
kemarin malam ia masih berada dalam perjalanan di hutan menuju perbatasan
Indonesia-Papua Nugini. Hans mengaku tengah bersama sekitar 50an mahasiswa
Universitas Cenderawasih yang terlibat dalam bentrokan di Abepura. Menurut dia,
sejauh ini, sembilan orang telah tiba di perbatasan.
Hans Gebze: Saya masih dalam perjalanan tetapi tidak bersama dengan
kawan-kawan. Mereka duluan. (Pemerintah Indonesia kabarnya tidak menemukan
permintaan suaka yang diajukan teman-teman mahasiswa Papua, permintaan suaka
ini sebenarnya apakah sudah diajukan atau belum bung?) Ada beberapa yang sudah
mengajukan tetapi yang lain masih menyusul karena masih dalam perjalanan.
Dari Senayan, DPR mengingatkan pemerintah supaya serius menangani kasus ini.
Anggota Komisi Pertahanan DPR Ali Muchtar Ngabalin mendesak aparat keamanan
di Papua supaya menjamin keamanan masyarakat Papua. Jika tidak, akan banyak
lagi mahasiswa Papua yang mencari suaka ke negara lain.
Ali Muchtar: Aparat keamanan kita itu harus memberikan jaminan kepada adik-adik
kita. Mahasiswa yang hari ini dikejar di tengah hutan dan bersembunyi. Karena dari
Artfok ke PNG itu Cuma 4-5 jam. Udah kita kasih tahu ini kemarin. Mestinya harus
segera disikapi. Kepada penguasa ini. Sekarang kan terbukti mereka ada di PNG.
Dan mereka minta suaka politik. Ini bisa diterima sah karena mereka memang
dikejar-kejar. Nah kalau ini yang terjadi bagaimana? Jadi responsibilitas yang dimiliki
oleh penguasa negeri ini memang tidak ada sense of crisis. Tidak ada rasa kasihan
aparat kepada warganya. Saya tidak tahu apa yang mereka kerjakan sekarang.
Ali Muchtar menilai munculnya kasus pengajuan suaka menunjukkan pemerintah
selama ini telah mengabaikan hak-hak warga Papua. Dan pengabaian itu telah
menyebabkan sesuatu yang tidak disenangi oleh pemerintah. Itulah kenyataan bahwa
masalah Papua sekarang telah menjadi masalah internasional, yang paling sedikit
melibatkan Australia dan mungkin sebentar lagi, Papua Nugini.
Tampaknya para mahasiswa Papua ini memang mengikuti jejak mahasiswa Timor
Timur dulu, menginternasionalkan masalah mereka. Paling sedikit itu berarti bahwa
perhatian pada masalah mereka bukan hanya terbatas di Papua, tetapi terus ke
Jakarta dan tembus ke luar negeri. Itulah jaminan bagi berlanjutnya perhatian dunia
pada masalah mereka.
Tim Liputan KBR 68H melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum.
© Hak cipta 2006 Radio Nederland Wereldomroep
|