Radio Nederland Wereldomroep, 07-04-2006
Samkakai, Alias Geger Papua
Kolom Aboeprijadi Santoso
Nasionalisme, bukan patriotisme, per definisi memang irasional, meski dia pernah
berjasa besar bagi kemerdekaan. Kini, nasionalisme sudah buta, berubah jadi
nasionalisme hitam. Kasus suaka Papua adalah contoh terbaru korban nasionalisme
hitam.
"Samkakai tak betah lagi di sini," ujar pastor di Merauke yang mengenal baik
pengungsi terbaru Papua itu. Kata kunci di sini adalah 'tak betah'. Tak betah berarti
tak suka - tak suka karena harus meninggalkan kampung halaman sendiri dan
mencari perlindungan di negeri orang. Wajar. Bukankah, 'kampung halaman' (home,
heimat) adalah salah satu konsep dasar manusia sejak peradaban pengembara
beralih jadi agraris.
Walhasil, 'suaka' adalah opsi keterpaksaan, opsi yang bukan opsi, alias semu. Dan
'betah' atau 'tak betah' bukan konsep personal, melainkan soal kehidupan keseharian
bersama, yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Persis, itulah inti soal fenomena suaka kaum Papua belakangan ini.
Pekan yang baru silam, pastor di Merauke tadi menjelaskan kepada Radio Nederland
mengapa keluarga Samkakai akhirnya memilih hengkang. Paulus Samkakai, aktivis
buruh di Merauke, sering bertikai dengan penguasa lokal. Dia seringkali menggugat
penguasa dan akhirnya dikejar intel, lalu memutuskan berlayar ke Papua Nugini, dan
menyeberang selama dua jam ke Pulau Deliverance, wilayah Australia. Dia membawa
lima anggota keluarganya, termasuk seorang bayi.
Nekad? Mungkin. Tapi Samkakai punya alasan yang sah dan sempurna. UUD 1945
yang diamandemen pada 1999 (Pasal 28G) maupun UU HAM 1999 (Pasal 28)
menjamin hak warga Indonesia untuk hengkang dan mencari suaka. Indonesia juga
penandatangan Konvensi Jenewa (1951, Pasal 1A-2) yang menjamin hak yang sama.
Dan, pada akhirnya, bukankah negara memang seharusnya menjamin hak-hak dan
memberi perlindungan kepada warganya?
Jadi, bila negara tak mampu melakukan itu, maka pantaslah bahwa negara harus
menjamin dan menghormati pula hak warga untuk hengkang dan mencari suaka.
Sejak Revolusi Prancis, sejak penguasa Belanda yang Napoleonis, Herman W.
Daendels, membawa konsepnya ke Jawa, lantas, sejak kita merdeka, kita mengenal
azas bahwa negara itu ada, karena harus melindungi warganya. Keamanan warga
adalah raison d'être dari negara. Dan sejak amandemen konstitusi 1999, dalam hal
ini, Indonesia konsekuen.
Tapi, anehnya, ketika sebanyak 42 atau 43 warga Papua, seperti Samkakai, merasa
tidak aman, lalu mengungsi ke Australia, dan memperoleh suaka-sementara di sana,
kasus itu menyulut emosi bangsa. Canberra diprotes, Dubes RI ditarik, Jakarta geger,
koran bombastis berteriak dengan karikatur yang banal, dibalas secara banal pula,
bahkan sejumlah anggota DPR menuntut pengusiran Dubes Australia.
Lantas, Australia dianggap punya "akal bulus" ingin mencaplok Papua; ada "trauma"
tentang sikap Australia terhadap soal TimTim. Aneh, padahal TimTim bukan bagian
dari formasi sejarah bangsa Indonesia, melainkan produk invasi Orde Baru; padahal,
Canberra selalu setia pada Jakarta dengan mengakui "integrasi" propinsi TimTim;
padahal, seperti seluruh dunia, Australia baru mengakui kemerdekaan Timor Leste
setelah kemenangan kubu pro-kemerdekaan dalam referendum Agustus 1999.
Lagi pula, bukankah Samkakai dan 43 rekannya pencari suaka itu mendayagunakan
hak mereka? Apa bedanya dengan badan hukum Australia - bagian dari civil society,
bukan aparat pemerintah Canberra - yang memutuskan memberi suaka-sementara
kepada mereka? Mengapa sebelum Canberra belum menyikapi secara resmi, Jakarta
sudah marah dan geger?
Lebih mendasar lagi, mengapa segelintir kasus suaka Papua menimbulkan heboh
besar, seperti kasus suaka TimTim pada 1990an, sedangkan kasus-kasus hengkang
dan suaka yang lain - ratusan kaum Ahmadyah yang siap hengkang, 20-an ribu warga
Aceh di Malaysia sejak 1980an (terbesar dalam sejarah suaka Indonesia), ratusan
warga Tionghoa menyusul kerusuhan 1998, dan ribuan yang 'terhalang pulang' sejak
1965 - tidak pernah menimbulkan heboh serupa?
Jawabnya jelas: berbeda dengan Papua, kategori-kategori tsb terakhir itu dianggap
tidak mengancam NKRI, Negara Kesatuan gaya Orde Baru.
Jadi, sebenarnya Jakarta mengakui bahwa hengkang, pengungsian dan pencarian
suaka adalah suatu bentuk protes dan pembelotan. Dan Papua dianggap sebagai
potensi ancaman terbesar, seperti TimTim (1975-90an) dan Aceh (GAM di Aceh dan
di Swedia, tapi bukan yang di Malaysia) di masa lalu.
Tapi, lebih penting sebenarnya adalah jika mengakui bahwa setiap pembelotan adalah
pertanda cacat pada nation-state - ada cacat dalam menjaga kebangsaan. Apa pun
yang terjadi di Papua, buruk atau baik, adalah buatan Indonesia. "Tuan-tuan terhormat
di Jakarta khilaf tentang Papua," ujar pengamat Papua Benny Giay. Tapi kita lebih
suka mencari kambing hitam di luar kandang. Ingat heboh Ambalat dengan Malaysia.
Nasionalisme, bukan patriotisme, per definisi memang irasional, meski dia pernah
berjasa besar bagi kemerdekaan. Kini, nasionalisme sudah buta, berubah jadi
nasionalisme hitam. Jenderal Ryamirzad Ryacudu pernah terang-terangan
mensyukuri pembunuhan pemimpin Papua Theys Hilo Eluay; dan puluhan tahun
Jakarta tak peduli akan ingkar janji dan represi terhadap Aceh.
Kita tahu, setiap genosida dan represi selalu berekor gejala hengkang. Para
korbannya menjadi heimatvertriebenen (tak ada ekuivalennya dalam bahasa lain). Tapi
Orde Baru mengajarkan bahwa tolok ukur martabat bangsa bukan kemanusiaan,
melainkan kesetiaan pada 'kesatuan' NKRI. Akibatnya, nasionalisme hitam amat
peduli heimat, tapi tak peduli heimatvertriebenen - tak peduli pada ketidakbetahan
orang Papua di negeri sendiri.
Untung, masih ada yang mengingatkan kita pada nasionalisme yang lain, dari para
pendiri negara-persatoean RI. Cokorda Sawitri, juru bicara kesepakatan Bali
menentang UU Anti Pornografi, misalnya, baru-baru ini mengajak "Mari membangun
format kebangsaan. Janganlah manusia memakan kemanusiaannya". Susbstansi
semacam ini, bukan slogan-slogan NKRI, itulah kunci sebenarnya bagi persatoean
bangsa.
Kasus suaka Papua adalah contoh terbaru korban nasionalisme hitam. Selamat
hengkang Pak Samkakai!
© Hak cipta 2006 Radio Nederland Wereldomroep
|