Radio Nederland Wereldomroep, 12-04-2006
Papua Tagih Janji SBY
Aboeprijadi Santoso & Lea Pamungkas
Papua menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang konon ingin
menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat dan demokratis. Tapi ibarat lagu
Melayu, 'janji tinggal jadi janji' Jakarta tak juga membuka pintu dialog. Alhasil Viktor
Kaisiepo, wakil Dewan Presidium Papua (DPD) di Eropa, mengatakan "merdeka"
menjadi opsi, karena martabat warga Papua tak pernah dihargai Jakarta.
Perlu dialog demokratis
Berminggu-minggu sudah, Papua bergolak. Semula di Grasberg, kawasan
pertambangan Freeport McMoRan, di Pegunungan Tengah, kemudian Timika, lalu
disusul di Abepura. Semula, kemarahan spontan, kemudian, direkayasa di Abepura.
Berbagai demo digelar pula di luar Papua, dari Makasar, Sala sampai ibukota Jakarta.
Di tengah arus lintang-pukang tersebut, muncul prakarsa menarik dari Guru besar
Australia Damien Kingsbury untuk menggelar upaya damai di Helsinki. Dengan
menjajaki keterlibatan lembaga CMI, Crisis Management Initiative pimpinan mantan
Presiden Finlandia Marttii Ahtisaari, untuk mempelajari masalah Papua.
Menanggapi hal ini, Viktor Kaisiepo menyatakan bahwa pada prinsipnya ini suatu
insiatif yang baik, "Tapi DPD melalui Konggres Nasional Papua II tahun 2000, sudah
menyampaikan kepada Pusat bahwa kami memerlukan dialog. Dialog yang
demokratis," tandasnya.
Menurut Kaisiepo, oleh berlarut-larutnya masalah tentang Papua; sangat dimengerti
bahwa dialog yang khusus mengacu ke pokok masalah menjadi sulit. Perlu dibikin
dialog setahap demi setahap. "Tapi untuk itu perlu dibangun satu dasar kepercayaan,
suatu kerjasama, pengertian yang baik antara Papua dan Jakarta, sebelum masuk ke
masalah-masalah pokok."
Jakarta Tutup Pintu
Tentang isi dialognya, Kaisiepo mengatakan bisa dipikirkan kemudian, "Yang penting
kami menyampaikan siapa yang natinya bisa mewakili Papua di situ. Misalnya ada
OPM (Organisasi Papua Merdeka,red.). Tapi mungkin tak ada yang mau bicara
dengan OPM, ada gereja, ada MRP (Majelis Rakyat Papua,red.). Jadi mana yang
perlu. Lantas Papua dan Jakarta harus dapat menentukan pihak ketiga untuk
melancarkan proses."
Sayangnya, keinginan Kaisiepo ini, tampaknya masih jadi angan-angan. Sebab
sampai sejauh ini Jakarta masih tetap menutup pintu. Dan sekali, dan sekali lagi
Papua kembali menelan pil pahit. Apalagi jika mengingat janji Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono pada kampanyenya di masa pemilihan presiden dan dalam
pidatonya di Merauke baru-baru ini.
"Beliau (SBY, red) mestinya insyaf bahwa 60% rakyat Indonesia dan Papua memilih
dia sebagai eksponen perubahan. Angin baru. Tapi mana buktinya ? Sebab sejak itu
banyak yang mati di Papua. Jadi buat saya janji di merauke itu tak ada harganya.
Bukan saya tidak setuju dengan apa yang disampaikan tetapi melihat faktanya,"
tandas Kaisiepo dengan suara tinggi.
Otsus dan Irian Jaya Barat
Menurut Kaisiepo, pada masa pemilu, SBY menjanjikan akan mengembalikan
otonomi khusus (otsus) kepada Papua. Namun sampai sejauh ini, hal itu tidak
dilakukan. Sementara Propinsi Irian Jaya Barat, warisan mantan Presiden Megawati
tetap saja dipertahankan.
"Kalau beliau mempertahankan otsus dan membatalkan Irian Jaya Barat, wah… itu
revolusi." " Dan di Papua orang akan mengerti bahwa inilah satu pemuka yang
mengerti proses hukum. Tapi kalau beliau tetap mempertahankan Irian Jaya Barat
berarti ia tetap berlawanan dengan jiwa otsus yang sebelumnya ia sampaikan."
Bagi Kaisiepo, dengan diberlakukannya otsus di Papua, Papua tetap tunggal. Tapi
masalahnya mungkinkah sekarang-sekarang ini kembali Papua menaikkan soal otsus
sebagai bahan dialog dengan Jakarta ? "Sekarang ini dengan kesalahan,
kelambanan, kelemahan, dan kekuatiran dari Pusat, Pusat sudah membangun satu
proses yang baru lagi, bahwa di Papua hanya ada satu suara saja : merdeka. Keluar
NKRI. Dan ini adalah solusi yang dipaksakan oleh Pusat. Bagi saya yang berbahaya
adalah kartu nasional Indonesia, bahwa setiap masalah ditutup dengan NKRI.
Semestinya pusat harus mengerti bahwa NKRI bukan harga mati. Itu 'kan suatu
simbol. Tapi berapa harga warga kami dalam NKRI itu ?"
Kendati begitu, Kaisiepo mengakui bahwa cita-cita untuk merdeka, jelas ada di benak
banyak orang Papua, "Tapi kalau kita deny (bantah), dan mengatakan cita-cita itu
tidak didengar, mereka (pusat, red) akan rugi sendiri. Kini tuntutan kami supaya
Papua merdeka jadi opsi, karena pintu dialog tidak dibuka. Harga diri kami sebagai
warga pun tidak dihargai oleh pusat." Demikian Viktor Kaisiepo, Wakil Dewan
Presidium Papua untuk Eropa, di Belanda.
© Hak cipta 2006 Radio Nederland Wereldomroep
|