Radio Nederland Wereldomroep, Minggu, 23 April 2006
Gereja di Papua Lebih Menghendaki Dialog
Kamis kemarin, dua perahu cepat berpenumpang 21 pengungsi warga Papua terbalik
di perairan Tanjung Baru. Dipastikan satu orang tewas dan dua orang dirawat di
rumah sakit. Polisi masih mencari 18 penumpang lainnya. Sementara itu
gereja-gereja di Papua dalam beberapa hari mendatang berusaha mengadakan rapat
untuk mengkomentari semua yang terjadi ini. Bagaimana sikap gereja dalam kasus
pengungsi ini? Apakah mendukung langkah mereka meninggalkan Papua dengan
perahu? Lebih jauh berikut Pendeta Herman Awom, moderator Dewan Presidium
Papua:
Herman Awom [HA]: Kami gereja memberikan pendampingan untuk mereka, para
pengungsi itu. Kami sedang berusaha memberikan pengarahan-pengarahan. Karena
kebanyakan mereka yang mau melarikan diri itu adalah yang takut peristiwa tanggal
16 Maret itu. Jadi kami dari gereja sedang berusaha untuk memberikan
percakapan-percakapan pastoral supaya tidak takut kalau yang tidak terlibat dalam
peristiwa itu jangan takut, dan kembali.
Persoalannya adalah bahwa, seketika mereka kembali, tidak aman. Itu kami dari
kalangan gereja sedang mengadakan percakapan dengan pihak pemerintah, polisi
dan militer di Papua untuk hal itu dilihat. Yang bersalah itulah yang ditindak,
sedangkan yang tidak bersalah, jangan sampai ditindak.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Juga dikabarkan bahwa sekelompok gereja di
Papua mendukung gerakan separatis di sana. Bagaimana Anda menanggapi berita
ini?
HA: Kami bukan gereja di Papua sebenarnya. Yang kami gereja memberikan laporan
itu, adalah tekanan-tekanan terhadap masyarakat situ. Karena masyarakat Papua
menghendaki suatu dialog damai dengan pemerintah. Pemerintah tidak memberikan
kesempatan untuk dialog, tapi dilawan dengan kekerasan represif.
Jadi kami dari gereja berusaha untuk alangkah baiknya permasalahan politik Papua
itu, sebagaimana Presiden SBY punya prinsip bahwa penyelesaian masalah politik di
Papua itu harus diselesaikan secara damai, demokratis, bermartabat dan
kompresensif. Sebab banyak hal yang mesti kami koreksi terhadap pemerintah,
pusat maupun daerah. Misalnya otonomi khusus. Otonomi khusus tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekuen.
RNW: Menlu Hassan Wirajuda juga sependapat bahwa kasus Papua bisa dituntaskan
lewat dialog. Tapi menurutnya tidak perlu melibatkan pihak luar. Anda sependapat?
HA: Selama ini pemerintah Jakarta itu, kalau orang Papua minta untuk berdialog,
selalu mereka pikir di dalam benak mereka, itu seolah-olah orang Papua di dalam
dialog meminta merdeka sebenarnya. Oleh sebab itu permasalahan-permasalahan di
Papua, baik Presiden, menteri luar negeri, selalu sebelum dialog, mereka sudah
takut.
Misalnya sekarang, Ibu katakan bahwa mereka menyampaikan bahwa tidak
melibatkan orang luar negeri. Masalah Papua itu harus melibatkan orang luar negeri
yang netral. Karena pemerintah Indonesia, kami tidak percaya bahwa mereka akan
secara jujur.
RNW: Menlu Hassan Wirajuda juga mengatakan bahwa para pengungsi itu bukan
karena cita-cita separatis, bisa juga mereka mengungsi karena tujuan komersial dan
bukan politik. Bagaimana ini menurut Anda?
HA: Ya, memang mereka selalu menjawab seperti itu. Di Papua ini sekarang orang
Papua, tiga banding 20 orang pendatang. Sekarang di Papua ini aparat keamanan
sudah melampaui kami di Papua. Apalagi dengan peristiwa yang terjadi terakhir ini
dengan tanggal 16 Maret itu. Kemudian peristiwa Wembi tanggal 10 April itu.
Di kampung-kampung, di kabupaten-kabupaten terpencil itu semakin banyak pasukan
ada di sana, sehingga hak hidup orang Papua semakin terancam. Mengapa mereka
cari keluar? Bukan komersial, ekonomi.
RNW: Sekjen Uni Eropa, Javier Solana, yang berkunjung ke Indonesia, tetap
mendukung Papua dalam teritori Indonesia, jadi tetap masuk NKRI. Bagaimana ini
menurut Anda?
HA: Ya, ketika otonomi khusus mau dilaksanakan, 13 duta besar Uni Eropa datang
ke Papua untuk mendorong supaya orang Papua menerima otonomi khusus. Nah
sekarang pertanyaan saya yang terbalik untuk Ibu itu adalah, ketika otonomi khusus
itu tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh pemerintah pusat, mana
orang Uni Eropa yang datang ke mari, mau katakan kepada pemerintah Indonesia
supaya melaksanakan itu?
Sekarang ketika orang Papua mau mencari kehidupan, mau mencari keamanan
karena hak-hak hidupnya semakin terancam, semua orang katakan bahwa Papua
adalah bagian yang integral dari Indonesia.
Orang Papua sekarang sudah tahu bahwa masuknya Papua ke Indonesia itu, atas
konspirasi politik antara Belanda, Amerika dan Indonesia. Orang Papua yang kami
sekarang sudah mengerti, jangan katakan bahwa Papua bagian integral dari
Indonesia. Kenapa mesti bertanya apakah masuknya Papua ke Indonesia untuk
menjadi bagian integral itu secara sehat atau permainan, manipulasi secara
konspirasi politik untuk memaksa Papua untuk masuk ke Indonesia, juga karena
kepentingan ekonomi waktu itu. Dengan Amerika mau masuk untuk memiliki
Freeport.
Demikian Pendeta Herman Awom kepada Radio Nederland Wereldomroep.
© Hak cipta 2006 Radio Nederland Wereldomroep
|