Radio Vox Populi [Ambon], 01-Mar-2006
Tradisi Suku Naulu: Kepala Manusia, Persembahan Buat Rumah
Adat
Azis Tunny- Ambon
Di jaman yang serba modern saat peradaban manusia sudah keluar dari
keterisolasiannya, ternyata di pedalaman Pulau Seram, Provinsi Maluku, terdapat
satu komunitas suku asli yakni Naulu yang masih bertahan dengan tradisi unik
peninggalan jaman bar-bar yang saat ini sangat bertentangan dengan norma hukum
positif di belahan dunia manapun.
Tradisi tersebut adalah memotong kepala manusia buat persembahan. Sebuah ritual
adat yang diyakini sebagian warga Naulu sebagai kepercayaan yang mutlak harus
dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia karena
kepercayaan yang diyakini pelakunya, jika tidak mendapat kepala manusia buat
persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah.
Suku yang prianya bercirikan khas ikat kepala merah itu hidup di pedalaman Seram
dengan berkoloni dan agama yang dianut adalah aliran kepercayaan, sebagaimana
agama para leluhurnya. Kehidupan masyarakatnya yang suka berburu dan berladang
untuk makan itu tidak menetap dalam satu perkampungan besar. Mereka tersebar
pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun masing-masing Nuane, Bonara, Naulu
Lama, Hauwalan, dan Rohua.
Pada Juli 2005 lalu, warga Masohi Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah
digegerkan dengan penemuan dua sosok manusia yang sudah terpotong-potong
bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan
tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga
Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat
mereka.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah
jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan
di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas
Nuane.
Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal
di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri
Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry.
Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing
Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe. Para pelaku mutilasi ini
dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur
dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang dilakukan
warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal yang berlaku di
Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan
karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral.
"Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa," terang Sahune saat
ditemui Radio Vox Populi di Kantor LSM Humanum, Ambon, beberapa waktu lalu.
Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan baru pertama kali terjadi.
Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari komunitas Nuane dihukum 17
tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat itu korbannya dua orang yang
tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil kepalanya untuk ritual adat seperti yang
terjadi pada Juli 2005 lalu.
"Kami tidak tahu dan mengerti hukum. Saya memang sudah memberi arahan saat
peristiwa sebelumnya terjadi, tapi itu tidak berhasil karena anggapan mereka
(warganya, red) kita ini sama. Selain itu tidak ada dukungan pemerintah untuk turun
ke suku saya untuk memberikan arahan," ujarnya.
Dikatakannya, tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman bar-bar, saat sering terjadi
perang antar suku di pedalaman Pulau Seram sejak berabad-abad tahun lalu. Dalam
kondisi seperti itu siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu,
seorang raja yang ingin mengangkat seorang anak mantu laki-laki haruslah heroik
dengan menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala manusia
sebagai mas kawin.
"Ajaran adat kami sebenarnya tidak seperti itu tapi tradisi adat dilepaskan saat
muncul masa-masa penguasaan. Saat terjadi perang antar suku untuk saling
menguasai," jelasnya.
Sahune mengatakan, keyakinan dikalangan warganya bahwa potong kepala
merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan saat akan melakukan ritual adat
seperti perbaikan atau pergantian rumah adat. "Perbuatan mereka karena tidak tahu
tentang hukum, dan keyakinan mereka kalau tidak melakukan pemotongan kepala
bisa sakit bahkan mati," ungkapnya.
Disamping itu, kuasa hukum banding terdakwa Naulu, Samson Atapary, balik
mempertanyakan tanggungjawab negara yang tidak menyikapi secara serius tradisi
masyarakat Naulu tersebut. Tradisi potong kepala manusia di suku Naulu ini, kata
Samson, bukan yang pertama terjadi tapi sudah berulang kali dan tidak pernah ada
pendekatan atau penyuluhan oleh pemerintah ke masyarakat Naulu.
"Ini sebenarnya tanggungjawab negara yang sudah mengetahui ada tradisi yang
bertentangan dengan hukum formal tapi tidak ada proses untuk memberikan
pemahaman dan penyuluhan tentang hukum kepada warga Naulu," sesal Samson.
Dirinya menambahkan, pihaknya tidak puas dengan putusan hakim yang tidak
mempertimbangkan faktor non yuridis dalam pengambilan keputusan. "Kami melihat,
vonis yang diberikan hakim buat mereka (para terdakwa, red) tidak menjadi sarana
penyadaran dan pembinaan buat mereka, sehingga kami selaku kuasa hukum akan
banding dengan harapan ada pertimbangan-pertimbangan non yuridis terhadap vonis
nanti," kata Samson.
"Kami akan banding sebagaimana diatur dalam undang-undang," sela Stenley
Mailissa. Dalam proses banding tersebut, penasehat hukum dari keenam terdakwa
mutilasi yang melibatkan warga suku Naulu ini adalah Samson Atapary dan Stenley
Mailissa.
"Kami akan prioritaskan kasus tiga klien kami yang divonis mati, dengan meminta
keadilan buat mereka. Kenapa pengadilan memutuskan hukuman seberat itu, ini ada
diskriminasi hukum. Mereka bunuh orang karena tidak tahu konsekuensi hukumnya
apa," kata Stenley.
Dirinya menceritakan, dari fakta persidangan menunjukkan kepolosan kliennya dan
ketidaktahuannya akan hukum. "Saat hakim bertanya ke terdakwa apa yang mereka
rasakan saat membunuh orang, jawaban dari dua orang terdakwa sangat
mengejutkan kami yakni mereka merasa bangga. Ini menunjukkan kalau mereka
memang tidak tau apa-apa. Bahkan mereka katakan kepada hakim kalau tidak ada
kepala manusia katong (kami) bisa sakit dan mati," kata Stenley, meniru ucapan para
terdakwa saat persidangan lalu.
Untuk itu dirinya berharap, perlakuan hukum kepada kliennya pada banding nanti
tidak bisa disamakan dengan warga masyarakat lain yang sudah hidup terbuka.
Mengingat pendidikan dan pengetahuan warga Naulu sama sekali tidak ada tentang
hukum karena tidak ada pembangunan hukum, sosial, maupun pendidikan terhadap
warga masyarakat Naulu. "Yang diketahuinya hanya sebatas berburu dan bertanam,"
ujarnya.
Kehidupan sosial yang terbelakang ini juga diakui Raja Sahune Matoke.
Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau sekitar 900 jiwa itu belum
tersentuh pembangunan sama sekali. Ironisnya, tidak jauh dari perkampungan Nuane
atau sekitar dua kilometer terdapat pemukiman transmigrasi lokal yang baru ada 10
tahun belakangan ini.
"Di lokasi transmigrasi sudah jalan raya, sekolah, dan listrik. Kami yang sudah ada
sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang tidak dibangun jalan raya dan listrik,"
ungkapnya.
Selain itu, agama yang dipakai oleh masyarakatnya yakni aliran kepercayaan justru
mempersulit mereka dalam mencari pekerjaan, termasuk dalam hal pengurusan Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Hingga saat ini, kata Sahune, baru satu warganya yang
kuliah. Itupun baru duduk pada semester lima di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan
Politik di Masohi, Maluku Tengah. Sementara lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)
baru lima orang.
"Selain faktor ekonomi masyarakat saya yang miskin, anggapan dari para orang tua
di kalangan masyarakat kami bahwa percuma sekolahkan anak kalau nanti tidak bisa
bekerja di kantor pemerintahan. Persoalannya karena agama yang dianut kami
katanya tidak resmi," terangnya. (vp)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|