Radio Vox Populi [Ambon], 06-Feb-2006
Tujuh Tahun Mengungsi di Negeri Sendiri: Diusulkan Masuk
Rekor MURI
Azis Tunny - Ambon
Tujuh tahun sudah usia pengungsi di Maluku sejak pecah kerusuhan 19 Januari 1999.
Barak-barak tempat penampungan, mulai dari ruko-ruko hingga sejumlah fasilitas
umum masih terisi oleh mereka yang terusir! dari tanahnya sendiri akibat amuk
massa saat kerusuhan lalu.
Selama itu juga, para pengungsi masih terus mengurusi masalah mereka untuk
memperoleh hak-haknya dari pemerintah. Kantor Dinas Sosial dan Pekerjaan Umum
masih dijubeli pengungsi yang datang dari pelbagai pelosok daerah. Protes terus
dilayangkan kaum tak berumah ini karena nasibnya tidak diperhatikan secara baik.
Berbagai metode telah ditempuh pemerintah tetap saja tidak berubah. Tiga gubernur
Maluku, M. Saleh Latuconsina, Sinyo H Sarundajang, hingga Karel Albert Ralahalu,
belum mampu mengurus habis masalah yang muncul akibat dampak dari kerusuhan
ini. Malah penanganannya semakin tidak jelas.
Konflik berkepanjangan di Maluku merupakan yang terbesar selama ini di Indonesia.
Gejolak bersenjata di provinsi seribu pulau itu telah menciptakan rekor tersendiri, baik
dari segi jumlah pengungsi, maupun lamanya konflik. Kondisi ini melebihi daerah
konflik seperti Aceh yang dikenai status DOM sejak diberlakukan tahun 1989. Juga
melebihi pengungsi Timtim di Nusa Tenggara Timur.
Ketua Koalisi Pengungsi Maluku Pieter Pattiwaelapia kepada Radio Vox Populi belum
lama ini mengatakan, pengungsi di Maluku sudah hidup selama tujuh tahun dengan
status tersebut sehingga masalah pengungsi internal terlama di Indonesia adalah
pengungsi di Provinsi Maluku.
"Kami usul ke Musium Rekor Indonesia (MURI) agar rekor terlama mengungsi
diberikan kepada pengungsi Maluku karena tanggal ! 19 Januari 1999 awal orang
Maluku mengungsi di tanahnya sendiri hingga kini masih terus hidup dengan status
itu," kata Pattiwaelapia.
Ia mengatakan, usulan ke MURI tersebut dilakukan karena setelah dikaji belum
pernah di Indonesia ada warganya yang mengungsi paling lama seperti pengungsi
Maluku.
Pattiwealapia menegaskan, merananya pengungsi Maluku hingga saat ini disebabkan
penanganan dari pemerintah yang tidak jelas. Petunjuk Teknis (Juknis) yang menjadi
pedoman dalam membangun rumah pengungsi sudah diabaikan. Belum lagi data
base yang tidak pernah valid membuat ribuan keluarga masih hidup sebagai
pengungsi tanpa kejelasan nasib.
Dikatakan, sejumlah ! bukti bahwa pemerintah telah mengabaikan regulasi (peraturan)
yang dibuatnya sendiri terlihat saat pembagian bahan bagun rumah (BBR) langsung
dipisahkan dengan uang tukang (biaya kerja). Pembangunan rumah pengungsi juga
tidak diikuti dengan sarana dan fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas dan
sarana ibadah. Akhirnya, banyak rumah yang sudah dibangun tidak ditempati.
"Jika tidak ada fasilitas umum yang disiapkan pemerintah seperti sekolah di lokasi
pembangunan rumah pengungsi, bagaimana pengungsi itu mau tinggal karena
mereka juga memikirkan kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Jika dipaksakan,
malah biaya hidup dan lainnya menjadi lebih tinggi," jelasnya.
Selain itu, di dalam Juknis penanganan pengungsi juga disebutkan rumah yang
dibangun pemerintah berdind! ing semi permanen. Sehingga dinding rumah jika
tingginya 3 meter maka 1,5 meter adalah beton dan 1,5 meter sisanya berbahan
tripleks.
"Yang terjadi justru sekitar 60 centimeter beton dan sisanya tripleks. Fatalnya lagi, di
beberapa lokasi perumahan pengungsi mulai dari pondasi hingga batas dinding atas
terbuat dari tripleks sehingga sebelum ditinggali oleh pengungsi rumah-rumah ini
sudah rusak. Melihat kondisi ini berarti pemerintah secara sadar sudah mengingkari
regulasi yang mereka buat sendiri," tandasnya.
Masalah mendasar lain yang dihadapi para pengungsi saat akan kembali, rumah yang
dibangun tidak ada dapur dan MCK. Untuk itu, dirinya mempertanyakan, apakah yang
terjadi dalam penanganan masalah pengungsi Maluku merupakan kebijakan
pemerintah pusat ataukah ! sudah dipelintir oleh pemerintah daerah. Ditegaskannya,
dalam tataran kebijakan saja sudah salah, apalagi implementasi di lapangan.
"Orang mau pulang tapi tidak ada dapur untuk memasak, mau buang hajat tapi tidak
ada wc. Bagaimana bisa kebijakan pemerintah seperti ini maka secara sadar
pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah Maluku sudah melakukan kemiskinan
baru pada pengungsi Maluku. Belum lagi mereka yang tinggal di pengungsian saat
kembali dengan segala yang serba nol, tidak ada pemberdayaan-pemberdayaan
ekonomi, padahal di regulasi itu ada," katanya.
Persoalan lain yang baru adalah kebijakan pemerintah mengurusi pengungsi
berdasarkan metode titik api yakni berdasarkan pondasi bekas rumah terbakar
menjadi persoalan tersendiri. Pasalnya, ribuan warga Sulawe! si Tenggara yang
berdiam di Maluku umumnya memiliki rumah panggung sehingga sulit dilacak karena
tidak ada bekas fondasinya.
Ketua Persatuan Keluarga Sulawesi Tenggara-Maluku (PKST-M) Husni Muhammad
meminta agar kebijakan dalam memberi bantuan kepada pengungsi untuk mendapat
hak-haknya harus berpihak kepada pengungsi itu sendiri. Dijelaskan, data yang
dimiliki pihaknya, jumlah keluarga pengungsi asal Sulawesi Tenggara berjumlah 1.338
keluarga atau 6.690 jiwa.
"Dengan metode titik api yang dipakai pemerintah tentu saja hak-hak dari warga kami
terabaikan," sebutnya.
Segundang pengungsi tetap saja menganga, tetapi Pemerintah Provinsi Maluku
mendeklasrik! an masalah pengungsi tuntas 31 Januari 2006, setelah gagal
memenuhi deadiline waktu pada akhir Desember 2005 lalu.
Pansus A DPRD Maluku yang menangani pengungsi dengan anggaran Rp.150 juta
per enam bulan, oleh Anggota DPRD Maluku Abdurrachman dari Fraksi PKS dinilai
tidak maksimal karena tidak terlihat data pengungsi sebenarnya. Mana pengungsi
yang sudah selesai ditangani dan mana yang belum, tidak dimiliki dinas sosial dan
pansus. Akibatnya, ada pengungsi yang mendapat bantuan lebih dari satu kali, dan
tidak sedikit yang belum mendapat sama sekali.
Suara miring dari anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah Oman Tuapatty juga
dilontarkan kepada eksekutif yang dinilainya tidak becus menangani masalah ini.
Menurutnya, masalah pengungsi sengaja dibudidayakan secara ! lestari untuk
kemakmuran kelompok tertentu. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|