Radio Vox Populi [Ambon], 05-Mar-2006
Nadi Toleransi Dilumbung Konflik, Pela Ganding Salam Sarani
Azis Tunny
Maluku, provinsi kepulauan di timur Indonesia yang 92,4 persen wilayahnya terdiri
atas lautan terbilang kaya akan budaya dan adatnya. Maluku bisa diartikan sebagai
Al-mulk yang artinya negeri raja-raja. Sebuah negeri yang memiliki ratusan raja tanpa
kerajaan. Pasalny! a, secara hukum adat di desa-desa yang bertebaran di Maluku
dipimpin oleh seorang raja sebagai pemangku adat sekaligus kepala pemerintahaan.
Raja selaku pemangku adat memiliki struktur dan mekanisme hukum adat yang
masih dihormati masyarakat. Dibawah kepemimpinan raja terdapat struktur negeri
(desa) adat yang memiliki ciri khas berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Dibawah
raja ada "Saniri Negeri" yang dikenal dalam sistem pemerintahan nasional setingkat
desa sebagai Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Terdapat pula Kepala Soa,
Kapitan, Kewang, Marinyo, dan perangkat adat lainnya, dimana masing-masing
lembaga adat tersebut memiliki tanggungjawab yang jelas. Sistem pemerintahan adat
ini sudah berjalan sejak berabad-abad tahun lalu.
Meski begitu, provinsi dengan luas wilayah 712.479,69 kilometer bujur sangkar ini
pernah mencatat sejarah kelam saat anak-anak negerinya angkat senjata dan saling
perang atas nama agama. Konflik berkecamuk menelan korban jiwa dan harta benda
tidak sedikit jumlahnya.
Konflik bernuansa SARA yang meletus pada Januari 1999, eskalasinya terus
meningkat sampai mencapai titik balik pada perjanjian damai Maluku di Malino
Sulawesi Selatan Februari 2002. Semakin hari, ruang untuk rekonsiliasi semakin
tercipta. Segredasi antar wilayah yang tadinya memisahkan dua komunitas penduduk
sekarang sudah semakin terbuka.
Jauh daripada itu, sebuah kh! azanah budaya peninggalan para leluhur yakni
pela-gandong semakin merekatkan tali silahturahmi yang sempat terputus.
Penyembuhan luka batin setelah konflik berlangsung secara alamiah atas inisiatif
masyarakat karena adanya kekerabatan atau persaudaraan itu.
Pela-gandong mengandung arti hubungan kekerabatan meski berbeda agama. Dapat
pula diartikan hidup berdampingan dengan penuh tenggang rasa dalam perbedaan
agama, tetapi tidak saling mempengaruhi untuk masuk dan memeluk suatu agama
tertentu.
Pola hidup Orang Basudara (bersaudara) ini adalah kerangka umum budaya lokal
yang menjadi acuan bagi pertumbuhan peri! laku mulai dari rumah, keluarga, dan
masyarakat. Nilai-nilai yang melekat pada pola hidup Orang Basudara seperti
inklusivitas, kebersamaan, tolong-menolong (gotong-royong) dan sebagainya, adalah
unsur perekat masyarakat Maluku yang khas karena memiliki justifikasi dalam adat
dan tata kehidupan tradisional sebagai suatu kearifan lokal.
Hampir semua desa adat di Maluku memiliki saudara pela-gandong satu dengan lain.
Hanya saja hubungan itu relatif! kecil seperti antara tiga atau empat desa saja
sehingga konflik yang mengusung simbol agama turut mengukung ikatan
persaudaraan ini. Meski begitu, tidak ditemukan secara ril ada sebuah desa yang
menyerang desa saudara pela dan gandongnya. Hubungan itu menjadi renggang
karena kondisi yang memisahkan wilayah mereka.
Di Maluku, khususnya desa-desa yang berada di Pulau Seram, Pulau Ambon, dan
Pulau-Pulau Lease, semuanya memiliki hubungan kekerabatan ini. Pada saat-saat
tertentu, desa-desa yang memiliki hubungan pela-gandong melakukan ritual adat
"panas pela" yang bertujuan merekatkan kembali hubungan kekerabatan tersebut.
Pela-gandong menjadi kebudayaan lokal yang lahir setelah agama, merupakan salah
satu manifestasi dari budaya universal.
Kehidupan harmonis penuh toleransi makin terasa jika salah satu desa, misalnya
desa yang berpenduduk Islam melakukan perbaikan mesjid maka saudaranya dari
desa Kristen ikut terlibat, termasuk menyediakan bahan bangunan seperti atap, pasir
dan batu. Begitu pula saat pembangunan rumah adat (baileo). Pada kegiatan-kegiatan
seperti ini, selalu ada gotong-royong antara mereka.
Luka akibat kerusuhan perlahan-lahan mulai terobati lewat peran aktif desa-desa adat.
Sejumlah ritual adat, mulai dari pelantikan raja (kepala desa) hingga panas pela, kini
ramai dilakukan. Upaya ini memang sengaja dilakukan untuk memperbaiki hubungan
yang pernah retak. Dukungan pemerintah daerah juga turut mensuport karena
kegiatan-kegiatan ini selain mengandung nilai budaya yang tinggi juga sebagai ajang
rekonsiliasi antar pemeluk agama.
Sama halnya yang terjadi saat pelantikan Raja Negeri (kepala desa) Hitumessing
Kecamatan Leihitu Kabupaten yang digelar secara adat pada 11 Februari 2006 lalu.
Desa yang terletak di utara P! ulau Ambon dengan penduduk mayoritas beragama
Islam itu dibanjiri ribuan warga Kristen asal Negeri Hative Kecil, yang tidak lain adalah
desa pelanya.
Ribuan warga Hative Kecil bukan baru datang saat acara pelantikan Raja
Hitumessing, tapi beberapa hari sebelumnya para pemuda dan perempuan Hative
Mecil sudah mendatangi Hitumessing. Mereka bekerja bersama-bersama menyiapkan
segala sesuatu untuk pelaksanaan pelantikan nanti.
Tua Adat Hative Kecil Izaack Muriany saat ditemui Radio Vox Populi disela-sela
pelantikan Raja Hitumessing mengungkapkan, hubungan pela ant! ara Hitumessing
dan Hative Kecil sudah berlangsung sejak zaman para leluhur mereka, dan tradisi itu
turun-temurun hingga ke generasi sekarang.
"Datuk-datuk (moyang-moyang, red) kami sudah menjalin hubungan ini sejak ratusan
tahun lalu," ujarnya.
Bahkan, katanya, saat konflik agama meletus, hubungan silahturahmi antara
Hitumessing dan Hative Kecil terus berjalan, meski dibawa deru bom meledak dan
desingan peluru ketika itu. Pada saat-saat tertentu seperti Lebaran dan Natal, ada
pihak yang mewakili desa untuk saling mengunjungi.
Kedua desa ini berjarak sekitar 12 kilometer dan berada diantara desa-desa lain di
Pulau Ambon. Mensiasati agar bisa saling jumpa maka warga Hitumessing akan
menjemput di daerah perbatasan yang merupakan zona aman untuk bertemu.
Begitupula saat Natal, warga Hative Kecil akan menunggu kedatangan saudara
pelanya di tempat yang sama. Wilayah perbatasan yang dinilai aman untuk saling
ketemu itu adalah kawasan Waiheru. Di daerah ini terdapat asrama TNI Angk! atan
Darat sehingga dinilai aman.
"Sekarang saat Ambon sudah aman, kapan saja warga kami bisa datang ke
Hitumessing. Bahkan sampai menginap di rumah-rumah warga muslim di sini. Kami
merasa aman karena adanya hubungan pela ini," kata Izaack.
Dia menambahkan, untuk persiapan pelantikan Raja Hitumessing, warganya sudah
dari hari sebelumnya datang dan bersama-sama bekerja. Ada yang ikut membantu
mendirikan "Sabuah" (tempat acara), sedangkan kaum perempuan ikut menyiapkan
makanan. "Saat ini ada sekitar 3 ribu masyarakat Hative Kecil yang datang di acara
pelantikan," terangnya.
Lebih lanjut, dirinya berharap hubungan pela yang menjunjung tinggi ikatan
persaudaraan dan toleransi itu perlu dijaga kelestariannya. "Sebagai Tua Adat, kami
harapkan tradisi ini terus dilestarikan dan jangan dilupakan generasi muda,"
harapnya.
Ditempat terpisah, tokoh masyarakat Hitumessing Abdul Kadir Nasela menyebutkan,
rasa persaudaraan antara desa pela tidak akan pernah luntur karena sudah menjadi
sebuah ikatan adat. "Adat adalah tradisi nenek moyang kita sejak dulu dan itu harus
selalu dijaga," sebutnya.
Sementara itu, prosesi pelantikan Raja Hitumessing yang disaksikan raja-raja di
Jasirah Leihitu (Utara Pulau Ambon), sebelumnya dilakukan secara adiministrasi oleh
Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal.
Abdullah Tu! asikal, dalam sambutannya juga mengingatkan pentingnya hubungan
pela dijaga. Dikatakannya, Raja Negeri bersama-sama Saniri Negeri diminta
menggalang semangat persaudaraan, kekeluargaan, dan kebersamaan melalui
hubungan pela.
"Ini penting sebab kedekatan atau keakraban masyarakat antar negeri bertetangga,
apalagi bersaudara melalui hubungan pela dapat diarahkan untuk memantapkan
persatuan dan kesatuan," katanya mengingatkan.
Setelah pengambilan sumpah oleh bupati, Abdullah Pelu sang Raja Negeri
Hitumessing kemudian digiring dari rumah raja menuju rumah pusaka dengan kawalan
pasukan cakalele (perang). Di rumah pusaka itulah oleh tua adat dan ulama Negeri
Hitumessing, Abdullah Pelu dinyatakan sah menjadi raja dan mendapat gelar Orang
Kaya-Upu Hata.
Dalam acara adat ini, para undangan yang datang dari berbagai pelosok disuguhkan
beberapa atraksi kesenian budaya yakni nyanyian dan tarian. Antara lain nyanyian
lagu gandong yang dibawakan perempuan-perempuan Kristen asal Hative Kecil
dengan menggunakan cele, pakaian khas Maluku.
Sekelompok gadis-gadis Hitumesing juga membawakan lagu yang dinamai Hio-Hio.
Lagu yang dinyanyikan dengan bahasa daerah tersebut mengandung beberapa
makna yakni penghormatan kepada para tamu, menjelaskan asal-usul Hitumessing,
memberitahukan siapa raja mereka, serta memanjatkan doa kepada tuhan. Selain itu,
ada Tari Perisai yang menjadi keharusan setiap pelantikan raja Hitumessing selalu
disuguhkan.
Pada prosesi adat ini adalah pula tarian cakelele yang dibawakan oleh puluhan wa!
rga Hitumessing. Uniknya, dari suguhan tarian ini seluruh tubuh para penarinya yang
bertelanjang badan dibuat hitam. Para penarinya dilengkapi parang sebagai simbol
keperkasaan. Sebagian dari mereka menabuh tifa, ada pula yang meniup kuli bia
(kerang) hingga mengeluarkan bunyi.
Tarian ini menceritakan asal-usul warga Hitumessing yang berasal dari pegunungan.
Mereka adalah penduduk dari suku Alifuru, warga asli Maluku yang hidup primitif pada
masa lalu. Ketika Islam masuk, para ulama yang masuk ke Tanah Hitu untuk syiar
agama dan dikenal dengan sebutan Empat Perdana kemudian meminta agar
masyarakat Alifuru yang masih tinggal di daerah pegunungan tersebut untuk turun ke
pesisir. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|