Radio Vox Populi [Ambon], 21-Feb-2006
Dari Masjid sampai Mushaf Tua, Jejak Peradaban Islam di Ambon
Azis Tunny - Ambon
Seperti halnya sejumlah wilayah lain di Indonesia yang menyimpan sejarah peradaban
agama-agama dunia, Nusa Apono atau Pulau Ambon juga menyimpan peninggalan
sejarah Islam yang masih ada hingga kini. Di utara Pulau Ambon, tepatnya di Negeri
(desa) Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, berdiri Masjid Tua
Wapauwe yang telah berumur tujuh abad. Masjid yang dibangun pada tahun 1414
Masehi ini masih berdiri kokoh, menjadi bukti sejarah Islam masa lampau yang tak
lapuk oleh hujan panas dan tak lekang dimakan usia.
Untuk mencapai Negeri Kaitetu dimana Masjid Tua Wapauwe berada, dari pusat Kota
Ambon kita bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam
perjalan. Bertolak dari Kota Ambon ke arah timur menuju Negeri Passo. Di simpang
tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara dan
melewati pegunungan hijau dengan jalan berbelok serta menanjak. Sepanjang
perjalan kita bisa menikmati pemandangan alam pegunungan, dengan sisi jalan yang
terkadang memperlihatkan jurang, tebing, atau hamparan tanaman cengkih dan pala
hijau menyejukkan mata.
Sebelum mencapai Kaitetu, kita terlebih dahulu bertemu Negeri Hitu, yang terletak
sekitar 22 kilometer dari Ambon. Sebuah ruas jalan yang menurun, mengantarkan
kita memasuki Hitu. Pada ruas jalan tersebut kita disuguhi panorama pesisir pantai
Utara Pulau Ambon yang indah dengan hamparan pohon kelapa dan bakau. Dari situ
juga, kita dapat melihat dengan jelas Selat Seram dengan lautnya yang tenang.
Tiba di simpang empat Hitu, kita harus membelokkan kendaraan ke arah kiri, atau
menuju arah barat menyusuri pesisir Utara Jazirah Hitu. Baru setelah kita menempuh
12 kilometer perjalanan dari situ, kita akan menemukan Negeri Kaitetu.
ARSITEKTUR ASLI
Masjid yang masih dipertahankan dalam arsitektur aslinya ini, berdiri di atas sebidang
tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Letaknya diantara
pemukiman penduduk Kaitetu dalam bentuk yang sangat sederhana. Konstruksinya
berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan daun rumbia
tersebut, masih berfungsi dengan baik sebagai tempat ber-shalat Jumat maupun
shalat lima waktu, kendati sudah ada masjid baru di desa itu.
Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan
bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter. Typologi
bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya
tidak mempunyai serambi.
Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang
dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai
paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu.
Hal lainnya yang bernilai sejarah dari masjid tersebut yakni tersimpan dengan baiknya
Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf
Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan
tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya
yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan
pada kertas produk Eropa.
Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama Masjid Wapauwe. Sedangkan
Nur Cahya adalah cucu Imam Muhammad Arikulapessy. Mushaf hasil kedua orang ini
pernah dipamerkan di Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan 1995.
Selain Alquran, karya Nur Cahya lainnya adalah: Kitab Barzanzi atau syair puji-pujian
kepada Nabi Muhammad SAW, sekumpulan naskah khotbah seperti Naskah Khutbah
Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1407 M, sebuah falaqiah
(peninggalan) serta manuskrip Islam lain yang sudah berumur ratusan tahun.
Kesemuanya peninggalan sejarah tadi, saat ini merupakan pusaka Marga Hatuwe
yang masih tersimpan dengan baik di rumah pusaka Hatuwe yang dirawat oleh Abdul
Rachim Hatuwe, Keturunan XII Imam Muhammad Arikulapessy. Jarak antara rumah
pusaka Hatuwe dengan Masjid Wapauwe hanya 50 meter.
WARISAN SEJARAH
Bukan suatu kebetulan, Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak
peninggalan purbakala. Sekitar 150 meter dari masjid ke arah utara, ditepi jalan raya
terdapat sebuah gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda. Kini gereja itu telah
hancur akibat konflik agama yang meletus di Ambon tahun 1999 lalu. Selain itu, 50
meter dari gereja ke utara, berdiri dengan kokoh sebuah benteng tua "New
Amsterdam". Benteng peninggalan Belanda yang mulanya adalah loji Portugis.
Benteng New Amsterdam terletak di bibir pantai ini dan menjadi saksi sejarah
perlawanan para pejuang Tanah Hitu melalui Perang Wawane (1634-1643) serta
Perang Kapahaha (1643-1646).
"Masjid ini memiliki nilai historis arkeologis yang penting. Didalamnya terpancar
budaya masa lalu sehingga perlu kita lestarikan," kata Mantan Pejabat Negeri Kaitetu
Djafar Lain.
Dilain pihak, Djafar berharap agar keberadaan Masjid Wapauwe beserta beberapa
peninggalan sejarah Islam lainnya yang sudah tua, bisa menjadi salah satu wilayah
atau daerah tujuan wisata di Kepulauan Maluku.
"Sebelum kerusuhan memang banyak pengunjung (wisatawan, red) yang datang
kemari, karena selain masjid ada juga gereja tua dan benteng. Kondisinya berubah
saat pecah kerusuhan, sekarang pengunjungnya sudah kurang malah tidak ada lagi,"
ungkapnya.
Berdirinya Masjid Wapauwe di Negeri Kaitetu tidak terlepas dari hikayat perjalanan
para mubaligh Islam yang datang dari Timur Tengah membawa ciri khas
kebudayaannya ke dalam tatanan kehidupan masyarakat yang mendiami bagian
utara Pulau Ambon, yakni jazirah Hitu yang dikenal dengan sebutan Tanah Hitu. Ciri
khas ini kemudian melahirkan satu peradaban yang bernuansa Islam dan masih
bertahan dilingkungan masyarakat setempat hingga saat ini seperti, budaya kesenian
(hadrat), perkawinan, dan khitanan.
Mulanya Masjid ini bernama Masjid Wawane karena dibangun di Lereng Gunung
Wawane oleh Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie
Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu ke Tanah Hitu sekitar tahun 1400
M, yakni untuk mengembangkan ajaran Islam pada lima negeri di sekitar pegunungan
Wawane yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly, yang sebelumnya
sudah dibawa oleh mubaligh dari negeri Arab.
Masjid ini mengalami perpindahan tempat akibat gangguan dari Belanda yang
menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada tahun 1580 setelah Portugis di tahun 1512.
Sebelum pecah Perang Wawane tahun 1634, Belanda sudah mengganggu kedamaian
penduduk lima kampung yang telah menganut ajaran Islam dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Merasa tidak aman dengan ulah Belanda, Masjid Wawane dipindahkan pada tahun
1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 kilometer sebelah timur Wawane. Kondisi
tempat pertama masjid ini berada yakni di Lereng Gunung Wawane, dan sekarang ini
sudah menyerupai kuburan. Dan jika ada daun dari pepohonan di sekitar tempat itu
gugur, secara ajaib tak satupun daun yang jatuh diatasnya. Tempat kedua masjid ini
berada di suatu daratan dimana banyak tumbuh pepohonan mangga hutan atau
mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Itulah sebabnya masjid ini
diganti namanya dengan sebutan Masjid Wapauwe, artinya masjid yang didirikan di
bawah pohon mangga berabu.
Pada tahun 1646 Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Tanah Hitu. Dalam
rangka kebijakan politik ekonominya, Belanda kemudian melakukan proses
penurunan penduduk dari daerah pegunungan tidak terkecuali penduduk kelima negeri
tadi. Proses pemindahan lima negeri ini terjadi pada tahun 1664, dan tahun itulah
ditetapkan kemudian sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.
Menurut cerita rakyat setempat, dikisahkan ketika masyarakat Tehala, Atetu dan
Nukuhaly turun ke pesisir pantai dan bergabung menjadi negeri Kaitetu, Masjid
Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika
masyarakat bangun dari tidurnya masjid secara gaib telah berada di tengah-tengah
pemukiman penduduk di tanah Teon Samaiha, lengkap dengan segala
kelengkapannya.
"Menurut kepercayaan kami (masyarakat Kaitetu, red) masjid ini berpindah secara
gaib. Karena menurut cerita orang tua-tua kami, saat masyarakat bangun pagi
ternyata masjid sudah ada," kata Mahmud Hatuwe, warga Kaitetu saat mengantarkan
Radio Vox Populi melihat lokasi kedua masjid Wapauwe.
Sementara itu, kondisi Mushaf Nur Cahya beserta manuskrip tua lainnya tampak
terawat meskipun sudah mengalami sedikit kerusakan seperti berlobang kecil,
sebagian seratnya terbuka dan tinta yang pecah akibat udara lembab. Menurut
Rahman Hatuwe, ahli waris Mushaf Nur Cahya, kerusakan tersebut akibat faktor
kertasnya yang sudah tua, debu, kelembaban udara serta insek (hewan) kertas. Dia
menambahkan, pihaknya pernah mendapat obat serbuk (tidak disebutkan namanya)
untuk menjaga keawetan manuskrip-manuskrip tua ini, hanya saja obat tersebut
sudah habis.
"Alquran Nur Cahya ini masih jelas, dan waktu-waktu tertentu saya masih sering
membaca (ayat-ayat suci Alquran dari Mushaf ini, red) seperti pada waktu Ramadhan
sekarang ini," kata Rahman yang adalah keturunan VIII Imam Muhammad
Arikulapessy.(vp)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|