Radio Vox Populi [Ambon], 06-Apr-2006
Unicef Nilai Perkembangan Anak di Maluku Masih Rendah
Azis Tunny - Ambon
INDIKATOR perkembangan anak di Provinsi Maluku jika dibandingkan wilayah
Indonesia Barat dan Indonesia Tengah jauh lebih rendah, terutama pada aspek
pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini makin diperburuk dengan kerusuhan yang
melanda daerah ini sekitar tiga tahun lebih. Hal ini dikemukakan Senior Program
Coordinator Unicef-Indonesia Willem Standaert kepada Radio Vox Populi di Kantor
Gubernur Maluku, Selasa (4/4) lalu.
"Maluku sebagai salah satu wilayah di Indonesia Timur jika kita bandingkan dengan
Indonesia Tengah dan Barat seperti di Bali dan Yogyakarta, maka indikatornya jauh
lebih rendah baik pada aspek pendidikan maupun kesehatan, meskipun jumlah
penduduk Maluku jauh lebih sedikit tapi indikatornya jelas sangat rendah. Hal ini
diperburuk lagi oleh kerusuhan," kata Standaert.
Menurutnya, pihak Unicef konsisten dalam menjalankan program di Maluku, tidak
sebatas intervensi program emergensi saat konflik karena keberadaan Unicef di
Maluku jauh sebelum pecah kerusuhan. Unicef prinsipnya, kata Standaert,
mendukung program pemerintah, LSM dan elemen masyarakat di Indonesia dalam
pemenuhan hak-hak anak yakni hak kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang, hak
memperoleh perlindungan dan hak partisipasi.
Disamping itu Child Protection Officer Unicef-Indonesia Ayda menambahkan, pasca
konflik di Maluku, fokus program Unicef adalah pemulihan psikososial berbasis
masyarakat yang diperuntukan buat anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Sejauh
ini Unicef telah memiliki 12 lokasi dampingan di Pulau Ambon dalam pelaksanaan
program psikososial yang berjalan sejak tahun 2004 lalu yakni di Kota Jawa, Rumah
Tiga (pengungsi Lata), Nania, Negeri Lama, pengungsi rimba raya di Paso, Kapahaha,
Batugantung, Talake, Wailia, Batu Koneng, Waitatiri, dan Poka.
"Program ini terkait dengan pemulihan trauma yang muncul akibat konflik. Di wilayah
basis kami melakukan beberapa program antara lain konseling, olahraga, dan
rekrasional," jelas Ayda.
Gagas Kurikulum Damai
Program lainnya yang sudah berjalan adalah peningkatan life skill dan pembuatan
model kurikulum pendidikan damai. Kurikulum damai yang digagas atas kerjasama
dengan Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon itu sudah berjalan di enam
sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Ambon pada awal bulan Maret 2006.
"Kurikulum ini diambil dari model umum Unesco dan kemudian mengadopsi situasi
lokal di Maluku secara spesifik terkait dengan kearifan-kearifan lokalnya. Menurut
kepala dinas pendidikan dan olahraga Ambon, pada tahun ajaran baru nanti akan
dipakai oleh seluruh SMP di Kota Ambon," ungkap Ayda.
Menurutnya, pendidikan formal sebagai lembaga formal bersandar pada sistem yang
terstruktur, kepemimpinan yang terorganisir, serta waktu pembelajaran yang
sistematis, sehingga merupakan jalan yang tepat untuk mensosialisasikan
pendidikan damai.
Anak didik nantinya memiliki peran yang dominan untuk berpartisipasi dalam proses
pembelajaran berlangsung, karena keterlibatan langsung mereka dalam aktifitas kelas
yang memberikan kesempatan untuk merasakan konflik dan bagaimana proses
menemukan cara penyelesaian masalah secara damai.
Kurikulum baru yang dinamai Kurikulum Pendidikan Orang Basudara Maluku tersebut
memiliki beberapa mata pelajaran yang nantinya diterapkan di dalam kelas antara lain
"Keberagaman Hidup" yang mencakup materi "katong (kita) hidup dalam
keberagaman", "kekuatan dalam perbedaan, hidup baku-bae (damai) yang
mengajarkan soal kerukunan hidup.
Ada pula mata pelajaran konflik dan kekerasan yang mencakup materi konflik, beta
seng (saya tidak) suka kekerasan, katong ator bae-bae (mencari jalan keluar), jang
katong salah sangka (prasangka), hidup bae-bae, mari katong saling percaya
(membangun kepercayaan), dan ale rasa beta rasa (empati), serta sejumlah mata
pelajaran lainnya dalam kurikulum ini yang intinya mengajarkan anak didik tentang
pluralisme dan toleransi.
Ayda katakan, modul dari kurikulum damai ini selain mengadopsi model umum
Unesco dan mengkaitkannya dengan kearifan lokal di Maluku, juga menerima
masukan dari masyarakat madani teruma kalangan LSM, dan akademisi dari
Universitas Pattimura Ambon. "Proses pembuatan modul Kurikulum Pendidikan
Orang Basudara Maluku ini turut melibatkan partisipasi publik," ujarnya.
Salah satu sekolah yang menjadi percontohan kurikulum damai adalah SMP Negeri 2
Ambon, karena menjadi model pembauran siswa dan gurunya di Ambon. Sekolah
yang terletak di Kawasan Perigi Lima ini disebut sebagai salah satu model
rekonsiliasi di Ambon karena menampung siswa dan guru dari dua komunitas yang
pernah bertikai.
Hasan Tuahuns, Kepala Urusan Kurikulum SMP Negeri 2 Ambon kepada Radio Vox
Populi mengatakan, program kurikulum damai makin memperkokoh hubungan guru
maupun para siswasnya yang sempat terpisah sekolah akibat konflik. Sekolah ini
awalnya terjadi relokasi ke beberapa lokasi saat konflik, dimana guru dan siswa
beragama Islam bersekolah di SD Negeri Tawiri. Sedangkan guru dan siswa Kristen
bersekolah di SMP Negeri 6, SMP Negeri 17, dan SMP Negeri 19.
"Setelah terpisah kami kembali bersama tahun 2003, dan terus terang saja kurikulum
damai ini sangat berpengaruh baik pada anak didik kami. Bagaimana mereka bisa
mengerti hidup dalam keberagamaan dan menjunjung tinggi toleransi. Kita harap
sekolah lain bisa mencontohkan ini," kata Tuahuns.
Diakuinya, awal dari pembauran kembali para siswa dan guru itu tadinya
menimbulkan resistensi tinggi akibat dari trauma dan ketakutan. Tapi situasi tersebut
lambat-laun mulai membaik. Dia berharap, konflik tidak lagi terjadi dan perasaan
saling curiga bisa dihilangkan. "Bagaimana mau meningkatkan pendidikan jika ada
konflik. Tentu saja kondisi konflik sangat berpengaruh banyak pada mutu pendidikan,"
tandasnya. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|