Radio Vox Populi [Ambon], 06-Mar-2006
Haruskah Kita Sepakat Mengingkari Kemerdekaan?
Jacky Manuputty - Ambon
(Mentautkan soal pengungsi ke kontemplasi kemerdekaan)
Belakangan ini pada banyak kesempatan, diintrodusir ke ruang publik posisi Maluku
sebagai salah satu dari 8 provinsi pertama, yang sepakat bergabung pada ruang
teritori yang bernama Indonesia di awal kemerdekaannya. Ada upaya untuk memakai
spirit heroisme sebagai salah satu instrumen, yang bisa membantu masyarakat
keluar dari kenangan pahit konflik Maluku.
Common value/nilai bersama dirangsang ruhnya, melalui introduksi ulang peran
Maluku dalam dinamika kemerdekaan Indonesia. Tentunya ini sebuah kebenaran
historis yang tak tergugat, dan membanggakan anak-anak negeri ini. Namun menarik
benang memori pada rentang tahun 1945 ke saat ini, menggurat ironi bagi saya untuk
kembali menyoal apa arti merdeka bagi kita. Terutama ketika saya harus bicara, dan
bicara kembali tentang nasib para pengungsi di negeri Pela-Gandong ini.
Dua tahun lalu, seorang pengungsi yang tergusur dari negeri adatnya dengan pilu
menyatakan pada saya, bahwa pada tanggal 17 Agustus ia tidak lagi menyanyikan
syair lagu kebangsaan Indonesia Raya secara utuh. Setiap penggalan syair yang
menyebutkan "tanahku dan negeriku" telah ia hilangkan, dan digantikan dengan
dengungan. Bagaimana bisa saya menyebutkan "tanahku, negeriku" sementara saya
telah kehilangan hak atas tanah dan negeri adat saya yang tergusur paksa, dan
tertunda pengembaliannya sampai saat ini?
Ungkapan pilu ini sesungguhnya mendorong kita membuka ruang refleksi di dalam
diam dan hening, untuk menyoal ulang makna kemerdekaan. Terutama dari perspektif
warga merdeka yang berpredikat "pengungsi"
Kemerdekaan memang tak berarti bebas sebebas-bebasnya, karena tak ada
kebebasan yang tak terbatas. Setiap kebebasan dibatasi oleh pengakuan terhadap
ruang kebebasan orang lain. Artinya kebebasan pada dirinya tidak tak terbatas.
Karenanya kemerdekaan kolektif lalu terbangun berdasarkan pengakuan terhadap
hak-hak yang sama, untuk menjadi orang-orang yang bebas merdeka.
Persepakatan social menyangkut hak-ku dan hak-mu, kewajiban-ku dan
kewajiban-mu. Kemerdekaan adalah kondisi yang tersedia untuk mewujudkan kontrak
social. Di dalamnya termuat persepakatan untuk menata hak dan kewajiban bersama.
Sehingga ruang kolektif public tak boleh menghancurkan hak individu. Sebaliknya hak
individu tak bisa merombak persepakatan public, dalam sebuah kontrak social.
Merah Putih adalah persepakatan public. Sumpah Pemuda adalah persepakatan
public. Lagu Indonesia Raya adalah persepakatan social dalam ruang wilayah yang
bernama Indonesia.
Begitu pula hak pengungsi atas tanah dan negeri adatnya adalah persepakatan public
dari orang-orang merdeka, yang tak boleh terampas atas alasan apapun. Ataupun
harus dikembalikan tanpa alasan apapun. Hak atas tanah dan negeri merupakan
bagian dari kontrak social, yang patut dipelihara melalui kewajiban social. Untuk
maksud itu hukum dibuat sebagai instrument pemaksa, guna menjamin
terpeliharanya kesepakatan dan tertib social.
Karenanya dengan alasan apapun, kebebasan untuk merampas hak atas tanah dan
berbagai hak lainnya yang diakui melalui persepakatan social, merupakan tindakan
terror terhadap kontrak social orang-orang merdeka. Tindakan destruktif terhadap
integrasi kebangsaan. Penghancuran brutal terhadap makna kemerdekaan. Untuk dan
karena alasan apapun perampasan terhadap hak pengungsi atas biaya pembangunan
rumah dan pemulangan, merupakan pengingkaran terhadap cita-cita kemerdekaan.
Pemerkosaan terhadap spirit kebangsaan.
Mempertanyakan kemerdekaan memang tak harus lagi dengan mendebat makna
filosofis kebebasan. Ataupun mempersoalkan kaidah-kaidah pengikat persepakatan
social bangsa merdeka. Bukankah struktur indoktrinasi nilai-nilai dasar Pancasila
yang ditanamkan sejak masa balita anak-anak bangsa ini, telah berhasil
mengkonstruksi sebuah pemahaman bersama untuk memaknai nilai kemerdekaan?.
Bukankah seluruh elemen terdidik bangsa ini telah khatam, dalam memahami
kedalaman tujuh alphabet pembentuk kata M E R D E K A?. Bukankah sejak
persepakatan awal pembentukan bangsa ini, sebuah ruang hidup yang bernama
MALUKU telah memberi dirinya secara sadar untuk terhisap dalam bejana kontrak
social. Untuk hidup bersama pada rentang geografis yang bernama INDONESIA?
Karenanya mempersoalkan kemerdekaan saat ini, adalah mempersoalkan
pengingkaran terhadap kemerdekaan itu sendiri. Mempersoalkan kemerdekaan saat
ini adalah mempersoalkan realitas dekonstruksi dari kemerdekaan pada dirinya
sendiri. Sebab ironisnya, realitas pengingkaran terhadap kemerdekaan telah didorong
ke wilayah merdeka, untuk mencapai pemaknaan "dapat dilakukan
sebebas-bebasnya". Pengingkaran kemerdekaan telah merekonstruksi secara
terbalik hakekat kebebasan yang melekat pada makna kemerdekaan itu sendiri.
Sehingga kebebasan tidak lagi bermakna "tidak tak terbatas", tetapi dimaknai dan
diterima publik sebagai "bebas tak terbatas".
Tak heran bila para penguasa seenak udelnya mempertontonkan kekuasaannya
sebagai hak pribadi, dan bukan tanggung jawab social. Sebaliknya
kelompok-kelompok masyarakat menjadi liar dan ganas, untuk menuntut pemenuhan
hak dan kepentingannya berdasarkan garis etnisitas dan ideology. Arogansi
kekuasaan, penghisapan terstruktur, manipulasi dan korupsi berjama’ah, berdiri
berhadap-hadapan dengan gerakan pembangkangan rakyat tertindas, yang begitu
kerap menjadi anarkis. Sementara hukum dengan sebebas bebasnya ditafsirkan
menurut selera para penguasa dan pemilik capital besar. Semuanya dilakukan atas
nama pemaknaan terhadap "bebas sebebas bebasnya". Makna baru yang terlahir
sebagai buah pengingkaran terhadap kemerdekaan itu sendiri.
Mempersoalkan kemerdekaan saat ini adalah proses memasuki ruang kontemplatif
batin, untuk mentautkan rasa dengan nalar. Menyatukan raga dengan spirit. Sehingga
kita tak terjebak pada bongkah-bongkah fosil seremonial, yang dikultuskan lewat
parade umbul-umbul setiap 17 Agustus. Ataupun derap seragam langkah Paskibraka.
Kontemplasi kebangsaan merupakan prasyarat, sebelum lebih jauh kita menegaskan
pilihan atas dua hal. Menegakan kembali makna kemerdekaan, pada sandaran nilai
yang telah disepakati bersama. Atau menegaskan kesepakatan baru terhadap
nilai-nilai pengingkaran kemerdekaan. Memilih menyanyikan lagu Indonesia Raya
dengan syair yang utuh. Atau memilih menyanyikannya dengan syair yang dipenggal.
Bahkan kitapun bisa sepakat memilih, untuk tidak menyanyikannya sama sekali
Dari ruang kontemplatif terdalam, pilihan harus tegas ditentukan supaya kita tidak
menjadi ambigu. Karena ambiguitas yang selama ini mencitrakan kita, sebagai
bangsa yang serba tanggung dan kehilangan konsistensi. Bangsa plin-plan dengan
pilihan kebijakannya yang selalu berubah. Kita harus sepakat dan tegas memilih.
Menjadi bangsa beradab, atau bangsa biadab. Menjunjung terus makna
kemerdekaan, atau mengingkarinya. Kalaupun memang kita sepakat untuk sulit
memilih. Karena para koruptor telah keenakan hidup bebas dan mengisap darah
bangsa ini. Sementara para duafa (kaum miskin) dengan bebas bisa menjadi anarki.
Maka itupun persepakatan baru, yang kita ambil dengan sadar untuk menegasi
kesepakatan sebelumnya. Persepakatan baru untuk mengingkari komitmen awal kita,
tentang makna kemerdekaan. Maka pada posisi ini kita juga patut sepakat, bila para
pengungsi pada kesempatan apapun bebas memutuskan, untuk tidak lagi
menyanyikan syair lagu Indonesia Raya secara utuh dan penuh. Karena toch kita
telah terkondisikan, untuk memilih dan bertindak sebebas-bebasnya.
Kembali menyoal makna merdeka bagi Maluku di dalam Ke-Indonesia-an saat ini,
memang tidak saja menyimpan sejumlah kebanggaan. Tetapi juga setumpuk ironi
yang menyergap masuk ke ruang batin. Persoalan pengungsi adalah satu
diantaranya. Dalam kontemplasi yang dalam, tanpa sadar saya mengguman,
"selamat berbangga Maluku-ku, kunaikan bendera setengah tiang untuk
menangisimu".(**)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|