Radio Vox Populi [Ambon], 13-Apr-2006
Mengenang Bilur-bilur Damai di Tengah Bara Konflik Maluku
Daniel Nirahua - Ambon
SELAMA sekian tahun, cerita tentang konflik Maluku tahun 1999 hingga tahun 2004,
selalu bertabur darah dan dendam. Sebut saja, berita di media maupun tuturan lisan,
banyak yang mengeksploitasi sisi perang. Hanya sedikit yang menuliskan fakta sisi
damainya. Itu pun tenggelam dalam headline yang panas dan kerap provokatif.
Ketika mainstream berita media berada di jalur perang, beberapa jurnalis melaporkan
Pemimpin Pondok Pesantren di Wahai Seram Utara yang menampung pengungsi
warga Kristen. Sedangkan di Kota Ambon, keteguhan penduduk Desa Wayame
Kecamatan Teluk Ambon Baguala memelihara perdamaian Islam-Kristen, juga
menjadi medan wacana yang agak lain.
Sebenarnya, cerita damai tidak saja datang dari Seram Utara atau Desa Wayame.
Banyak kejadian besar-kecil berisi persentuhan warga Islam-Kristen secara damai
dalam konflik yang sedang membara sekalipun. Sayangnya, pengalaman saling
menyentuh itu kebanyakan tersimpan sebagai kenangan manis oleh mereka yang
mengalami langsung.
Ramla Lessy (34 tahun) adalah seorang saksi hidup. Gadis hitam manis ini berasal
dari Desa Nuniali Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Keluarganya adalah penganut Islam sejak nenek moyang.
Ketika konflik merambah Nuniali, Oktober 1999, warga minoritas Muslim di sana
sempat bimbang ke mana harus berlari. Namun Ramla dan warga Muslim lainnya,
akhirnya memilih mengungsi bersama warga Kristen ke Taniwel ketika kampung itu
akhirnya rata denagan tanah, menyisakan gedung gereja.
"Rekan-rekan beta bilang, ale orang Islam, mengapa mengungsi dengan orang
Kristen? Beta jawab, beta lahir dan dibesarkan bersama orang Kristen. Beta tahu, ini
bukan konflik agama," tutur Ramla.
Ramla mengungkapkan, konflik di wilayah itu, membuat warga Muslim Nuniali yang
tadinya ikut ikut mengungsi ke Taniwel, terpaksa memilih berpisah. Mereka
bergabung ke kampung Muslim lainnya, bahkan ada yang pulang ke negeri leluhur di
Buton, Sulawesi Tenggara.
Tetapi Ramla dan ibunya tetap bergeming menghadapi berbagai kasak-kusuk yang
menggoyahkan saudara dan kerabat lainnya. Dia ingin buktikan, bahwa semangat
pela-gandong masih tetap hidup.
"Beta bertahan, karena sebagai orang asli Nuniali, tentu tidak akan saling menyakiti.
Beta asli Nuniali, jadi tidak takut. Kalau hidup dengan orang, pasti orang juga berbuat
baik," cetus Ramla.
Lima tahun, Ramla dan ibunya bertahan di tengah saudara sekampung kendati beda
agama. Empat kali, keduanya melewati bulan suci Ramadhan di pengungsian.
Munurut Ramla, ibadah puasa dan sholat, tetap dijalankan secara baik tanpa ada
yang risih, apalagi sampai melarang. "Walau tidak ada masjid di sini, saya
melakukan ibadah seperti biasa tanpa ada larangan dari siapapun," ungkapnya.
Ketika Lebaran tiba, dia bersama ibunya merayakan hari yang penuh rahmat di
kampung tetangga Desa Kasieh. Hal ini dilakukan semata-mata karena ingin bersua
dan lebih dekat sekaligus melepas rindu dengan sesame Muslim. Untuk
mempertahankan hidup di pengungsian, Ramla dan ibunya bahu-membahu membuka
kios kecil, menjual keperluan sehari-hari. Sumber pencarian yang tetap, ditambah
perlindungan warga Kristen, membuat ibu dan anak ini tidak pernah berpikir untuk
berpisah dengan warga Kristen Nuniali.
RAJA MUSLIM
Kisah Ramla, mirip pengalaman Abdullah Hasim Kolly di Desa Wakolo, yang
bertetangga dengan Desa Nuniali. Penduduk Wakolo adalah pemeluk Kristen.
Satu-satunya keluarga Muslim adalah keluarga Abdullah Hasim Kolly.
Nasib Desa Wakolo sam dengan Desa Nuniali yang habis dilahap api peperangan.
Seluruh penduduk Wakolo juga mengungsi ke Taniwel, termasuk keluarga Hasim
yang Muslim.
Tahun 2000, ketika konflik masih membara, warga Wakolo di pengungsian memilih
raja. Warga Kristen Wakolo ternyata memilih Hasim menjadi raja. "Hasim boleh
dikata menorah sejarah, sebab jarang orang Islam jadi raja di Kampung Kristen
apalagi saat konflik," ujar pemuda Taniwel, Yongky Nouwe.
Tentang terpilihnya dirinya sebagai Raja Wakolo, Hasim mengaku, warga Wakolo
memilih dirinya tanpa melihat perbedaan agama. "Mereka mengerti tentang adapt dan
mereka tahu ini bukan konflik agama, karena itu, saya dipilih menjadi raja," ujar
pensiunan TNI AD ini.
Dia juga menuturkan, sejak menjabat raja, warganya selalu hidup rukun, dan menuruti
apa yang dikatakan pemimpinnya. Sebab itu, Hasim pun mengaku berusaha
mendapatkan bantuan bagi warganya.
Hasim yang pernah menjabat Koramil Taniwel ini mengaku, sebgai manusia kerap
juga ada perasaan curiga. Tapi dia berusaha terlihat adil. Untuk pergi ke Kota Ambon,
dia tidak melewati jalur yang biasanya dilalui warga Muslim. Dia ikut saja jalur yang
ditempuh warga Kristen. Padahal di Ambon kerap ada sweeping Kartu Tanda
Penduduk. Kalau kedapatan berbeda agama, sangat berbahaya bagi keselamatan.
"Itu saya lakukan untuk menjaga perasaan warga Wakolo. Saya juga tidak mau
disebut mata-mata," ungkapnya.
Menurut dia, rasa curiga kerap datang kalau dirinya berhubungan dengan warga
Muslim lainnya. Tapi Hasim mengimbanginya dengan meyakinkan warganya bahwa
dia tak akan pernah berkhianat. "Ini bukan soal agama, tapi soal komitmen memimpin
warga yang beda agama da saya punya rasa tanggung jawab," cetusnya.
Hasim berharap, pemerintah secepatnya mengembalikan pengungsi ke desa asal.
Alasannya, hidup di tanah orang sangat susah dan bergantung pada pengasihan
orang lain. Beda kalau di negeri sendiri, warga dpat berusaha di atas tanah dan
lahannya sendiri.
WARTAWAN MUSLIM
Kenangan manis di tengah konflik, juga masih segar dalam ingatan wartawan harian
Ambon Ekspres, Hamid Kasim (37 tahun). Ceritanya, ketika pecah konflik 19 Januari
1999, dia masih berstatus sebagai wartawan harian Suara Maluku. Pada hari raya Idul
Fitri itu, Hamid berangkat ke Kompleks OSM Kampung Banda Kecamatan Nusanive
Kota Ambon. Di sana, dia akan bersilaturahmi dengan pamannya bernama Dahlan
Umar.
Tiba di OSM, Hamid bertemu dua rekannya yang kemudian bersama dia mereka
keliling ke beberapa keluarga Muslim. Sampai pukul 16.00 WIT mereka pun bubar.
Namun nahas bagi Hamid, sebab begitu hendak pulang, dia tidak menemukan satu
pun angkutan umum yang lewat. Dia hanya mendengar kabar dari orang-orang di jalan
bahwa konflik sudah pecah dan masyarakat sedang melakukan sweeping KTP.
Tapi Hamid belum merasa genting. Dia tetap memilih pulang dengan bejalan kaki.
Maka ketika tiba di depan pabrik sabun yang terletak di Kawasan Wainitu Ambon,
tiba-tiba dirinya dihadang sekelompok orang. "Kamu orang mana? Tinggal di mana
dan nama sapa?" kata Hamid meniru ucapan orang yang menghadangnya.
Karena panik, gugup dan bingung, Hamid hanya terdiam. Detik berikutnya, ada suara
seseorang memerintahkannya mengeluarkan KTP. Tak ayal, Hamid gemetar, karena
dia berada di wilayah yang mayoritas warganya memeluk agama Kristen sedangkan
KTPnya dengan jelas menunjuk kalau dia beragama Islam.
Di tengah kepanikannya, muncul seseorang yang lantas menarik lengannya dan
membawanya pergi dari situ. Ternyata orang yang membawanya pergi, keluar dari
ketegangan tersebut adalah Marsel, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
Pattimura Ambon yang dia kenal baik.
Menurut Hamid, dia kenal baik Marsel, karena sebagai jurnalis, dia pernah meliput
perayaan Paskah Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Cabang
Rehobot Ambon. Liputan perayaan Paskah itu dimuat pada harian Suara Maluku,
tempat Hamid bekerja ketika itu. Nah, Marsel sendiri adalah salah satu pemuda yang
aktif di AMGPM Cabang Rehobot ini.
Rumah Marsel terletak di Kawasan Air Putih Kelurahan Wainitu, tak terlalu jauh dari
lokasi para pemuda yang menghadang Hamid tadi. Di rumah Marsel inilah Hamid
berlindung sampai pukul 23.00 WIT. Begitu situasi konflik agak mereda, Hamid lalu
dibawa kabur melalui jalur alternatif menuju kawasan Tanah Lapang Kecil (Talake)
untuk kemudian ke Waihaong yang warganya mayoritas Muslim. "Marsel dan
keluarganya melindungi saya. Mereka minta saya tidak usah khawatir. Sampai
situasi ketegangan agak mereda, saya diantar pulang," kenangnya.
Menurut ayah beranak satu ini, konflik di Ambon bukan konflik agama. "Kalau konflik
agama, mengapa saya tidak dibunuh, tapi justru diselamatkan?" serunya. Menurut
dia, konflik yang terjadi adalah karena kepentingan orang-orang tertentu bukan antara
orang Kisten atau orang Muslim. "Kami hanya korban permainan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab," ujarnya.
DITOLONG PAK HAJI
Cerita yang serupa tapi tak sama, juga dialami pemuda Wainitu bernama Ferdinand
Randa (29 tahun). Dia sempat mengalami ketegangan persis di tanggal 19 Januari
1999 dan juga ditolong orang. Sayangnya, dia tidak sempat menanyakan sanga
penolong karena benar-benar panik dan merasa takut. Tapi dia ingat betul, pria
berpeci yang menolongnya itu disapa orang dengan sebutan Pak Haji.
"Beta lihat sendiri, teman-teman dihajar massa. Bahkan ada yang dianiaya dengan
parang. Bagaimana beta tidak takut?" ungkapnya.
Dikisahkan, ketika itu dia dan rekan-rekannya baru saja kembali dari kawasan Air
Besar Passo, Kecamatan Teluk Ambon Baguala. Begitu tiba di Jalan A.Y. Patty
Ambon, yang terletak di pusat kota, mobil yang mereka tumpangi diperintahkan
menuju depan Masjid Al Fatah. Seluruh penumpang diperintah turun lalu digeledah.
Ferdinand sendiri berhasil lolos dari pemeriksaan dan menuju salah satu rumah di
nkawasan tersebut. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk rumah orang yang
sama sekali tidak dikenal sebelumnya.
"Om, tolong beta jua. Beta ini orang Kristen," kata Ferdinand kepada si pemilik
rumah. Pemilik rumah yang oleh orang sekitar akrab disapa Pak Haji itu, langsung
meminta Ferdinad segera masuk dan memintanya tidak cemas.
Selama disembunyikan beberapa jam di situ, Pak Haji sempat memberi makan dan
minum. Bahkan, Pak Haji memintanya tidur di situ sampai esok harinya. "Tapi beta
khawatir, beta minta diantar ke perbatasan," tuturnya.
Setelah melihat kondisi konflik agak mereda, Pak Haji dan anak laki-lakinya
membawa Ferdinand melewati depan Masjid Al Fatah menuju Jalan A.Y. Patty, agak
jauh dari kawasan Muslim. Di sanalah, ketika kondisi diyakini sudah betul-betul aman
bagi Ferdinand, mereka lalu berpisah.
"Nyong jalan terus saja. Jangan balik kiri atau kanan. Lurus saja sampai di Pos Polisi
Kota (Markas Polsek Sirimau, red)," kata Ferdinand meniru ucapan orang yang
menyelamatkannya itu.
Ketika situasi Ambon sudah kembali normal dan warga Muslim dan Kristen sudah
kembali berbaur, Ferdinand pernah beberapa kali kemali ke kawasan tempat
persembunyiannya dulu. Sayang, dia tidak bisa pastikan lagi, di mana rumah dia
bersembunyi ketika itu. Pak Haji dan anaknya pun sukar dicari, apalagi ketika itu
Ferdinand tidak sempat bertanya nama sanga penolong tersebut.
PENUMPANG DOLORONDA
Kenangan lain berupa kisah heroisme, juga terjadi ketika pecah kembali konflik pada
tanggal 25 April 2004, sebagai buntut arak-arakan masa simpatisan dan pendukung
Front Kedaulatan Maluku (FKM) bertepatan dengan hari yang disebut-sebut sebagai
ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS).
Hari itu, Senin (25/4) secara kebetulan Idham Khalid pemuda (25 tahun) asal
Waihaong, sedang berada di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Saat itu Kapal Motor
(KM) Doloronda telah merapat di pelabuhan. Sementara di area parkir kendaraan,
massa yang marah telah menanti kedatangan penumpang KM Doloronda yang
diketahui beragama non Muslim.
Begitu mobil polisi penjemput melintas, massa langsung menghadang dan meminta
polisi menurunkan penumpang. Massa yang berjumlah begitu besar membuat para
polisi tidak bisa berbuat apa-apa.
Idham menuturkan, saat kejadian dia melihat ada anggota Laskar Jihad. Tapi
kehadiran mereka untuk menenangkan massa. Bahkan anggota Laskar Jihad itu
meminta penumpang segera dibebaskan.
Di tengah ricuhnya suasana, Idham menarik lengan seorang gadis yang saat itu
berada di dekatnya. Sang gadis yang ketakutan, menurut saja ketika Idham
membawanya kabur lewat arah belakang pelabuhan. "Memang ada yang sempat
lihat, tapi mereka pikir perempuan itu akan saya aniaya. Mereka tidak tahu beta pung
hati. Beta ingin selamatkan gadis itu," ungkap Idham.
Tak jauh dari lokasi kejadian, ada Pos TNI yang terletak persis di samping Kantor
Administrator Pelabuhan (Adpel) Ambon. Di pos itulah gadis tersebut diserahkan oleh
Idham. "Beta hanya bilang, Pak dia ini orang Kristen. Tolong selamatkan dia,"
tuturnya.
Walau tidak tahu identitas orang yang diselamatkan, Idham bersyukur bisa
membantu orang lain. "Berbeda agama bukan alas an untuk saling menyakiti. Beta
selamatkan orang itu karena rasa kemanusiaan saja," ujar Idham.
Kisah Ramla, Hasim, Hamid, Ferdinad dan Idham, hanyalah segelintir cerita sejuk
yang tercatat ketika bara konflik melanda Ambon. Namun pengalaman mereka,
mengisyarakatkan bulir-bulir damai yang tetap hidup di Maluku maupun di Maluku
Utara, sekalipun ketika itu perang tengah berkecamuk.(**)
Cat: Tulisan ini sebelumnya dimuat pada Harian Suara Maluku Ambon
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|