Radio Vox Populi [Ambon], 13-Apr-2006
Mendulang Uang di Kota, Daerah Pedalaman Krisis Dokter
Azis Tunny - Ambon
PASCA konflik Maluku menyisahkan pelbagai persoalan. Selain pengungsi yang
hingga kini belum tuntas tertangani, pendidikan terpuruk karena sempat menduduki
ranting terakhir nasional, interaksi dan reintegrasi sosial masyarakat yang masih
harus terus dibenahi, aspek kesehatan terutama tenaga dokter di Maluku juga belum
menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Saat konflik masih berdarah-darah, dalam situasi keamanan tidak menentu itu buat
siapa saja bermukim dan bekerja di daerah yang masih wilayah Maluku dirasakan
tidak aman. Korban berjatuhan dan arus pengungsi tak dapat dibendung. Saat warga
saling berperang, ratusan dokter memilih hengkang ke daerah lain untuk tinggal dan
berkarir.
Saat itu tersisa sekitar 50 dokter di Ambon, ibukota provinsi Maluku. Representasinya
jauh lebih kecil karena hanya 30 persen dari jumlah seluruh dokter di Maluku saat
belum rusuh. Parahnya lagi, beberapa dokter pemerintah yang tengah sekolah
spesialisasi di universitas luar Maluku tidak lagi balik ke Ambon. Banyak dokter yang
eksodus, yang tersisa lebih memilih tempat aman sehingga dalam jumlah yang sudah
sedikit, penyebarannya juga tidak merata.
Saat kondisi keamanan berangsur pulih, para dokter mulai berdatangan dan
membangun kariernya di Ambon. Tempat praktek dokter spesialis pun menjamur di
mana-mana. Saat ini ada 120 dokter di Maluku. Namun, penyebarannya jauh dari
pemerataan karena menumpuk di Ambon, sebab 80 persen dari 120 dokter itu berada
Ambon. Sementara daerah kabupaten apalagi wilayah pedalaman terjadi krisis tenaga
dokter.
"Tenaga dokter sangat kurang akibat konflik dan hingga kini belum dapat teratasi.
Meski jumlahnya sudah mulai bertambah, mereka lebih memilih kerja di Ambon
karena mudah akses, dan dari sisi ekonomi juga menguntungkan jika buka tempat
praktek," kata Wakil Kepala Dinas Provinsi Maluku dr. Fenno Tahalele kepada Radio
Vox Populi di ruang kerjanya, Senin (3/4).
Tahalele mencontohkan, di Kabupaten Seram Bagian Timur saat ini baru memiliki tiga
orang dokter. Dua bekerja sebagai dokter di puskesmas dan satu lagi adalah kepala
dinas kesehatan di kabupaten tersebut. Kabupaten Seram Bagian Barat hanya empat
dokter, Kabupaten Aru empat dokter, dan Kabupaten Buru tiga dokter. Lebih parah
lagi, beberapa lokasi terpencil seperti di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang
berbatasan dengan Timor Leste dan Australia, jauh dari harapan.
Kekurangan dokter tidak serta-merta membuat pemerintah kabupaten buntu berpikir.
Kabupaten Maluku Tengah dan Maluku Tenggara Barat kemudian membuat konsep
starategis untuk menarik minat dokter guna bekerja di daerah mereka. Iming-iming
pun ditawarkan. Mulai dari menyediakan insentif tambahan, fasilitas rumah dokter,
hingga cuti dan ongkos hari raya jika dokter bersangkutan ingin merayakan hari raya
di kampung halamannya.
"Meski ada upaya tersebut, masih juga belum menarik minat dokter karena terkait
rentang kendali yang jauh, serta prospek mereka untuk berusaha tidak menjanjikan,"
aku Tahalele.
Dalam keterbatasan tersebut, wilayah Maluku yang berpulau-pulau juga menjadi
kendala tersendiri dalam pemberian pelayanan kesehatan yang merata. Pelayanan
kesehatan di Maluku menggunakan pendekatan pusat gugus pulau ditambah wilayah
pengembangan atau sub gugus. Daerah yang menjadi pusat gugus karena
pertimbangan jumlah dan pertumbuhan penduduknya, dan dibangunlah puskesmas
pusat gugus yang di Maluku berjumlah 18 puskesmas.
Puskesmas pusat gugus tersebut menurut Tahalele, semestinya memiliki dokter
minimal dua orang untuk peningkatan akses pelayanan, namun saat ini baru mampu
memiliki tujuh dokter. Sementara puskesmas sub gugus yang harusnya ada dokter
minimal satu orang, baru sebagan kecil yang terisi tenaga dokter.
Situasi kritis akibat kurangnya tenaga dokter khususnya spesialis juga dikeluhkan
Kepala Puskesmas Hila, Kabupaten Maluku Tengah, Djamal Palisoa. Saat ditemui
Radio Vox Populi Palisoa mengungkapkan, pihaknya hanya memiliki satu dokter
dengan status dokter pegawai tidak tetap, dan bukan dokter spesialis. Dokter itupun
pada tes calon pegawai negeri sipil bulan Maret lalu lulus seleksi. Palisoa mengaku
bingung jika dokter itu nantinya ditempatkan pemerintah di daerah lain.
"Kita sebenarnya sangat butuh dokter spesialis, tapi mereka kebanyakan lebih
memilih kerja di Ambon," ungkapnya.
Sebagai salah satu puskesmas pusat gugus yang melayani tiga desa dan tujuh
dusun dengan jumlah penduduk 16.677 jiwa, puskesmas Hila belum memiliki fasilitas
rawat inap. Tadinya ada satu unit puskesmas yang dibangun pemerintah buat rawat
inap. Hanya saja puskesmas tersebut dibangun jauh dari pemukiman penduduk dan
saat konflik meletus dirusaki oleh massa. Kondisi puskesmasnya saat didatangi
Radio Vox Populi sudah tidak layak dipakai. Bangunan yang berdiri hanya tembok
tanpa atap. Belukar tumbuh di sana-sini pada ubin di dalam bangunannya.
Sementara puskesmas lama dan terpakai saat ini, tidak ada ruang khusus untuk
rawat inap. Hanya ada dua tempat tidur yang direhab karena tuntutan kebutuhan.
Ruang dokter pun difungsikan sebagai ruang terima tamu. "Kami tidak memiliki ruang
yang cukup, apalagi dipakai buat rawat inap," tutur Palisoa.
Kebanyakan penyakit yang diderita warga di puskesmas Hila adalah malaria dan
ispa. Untuk malaria, tiga bulan terakhir ini pasiennya mencapai 173 orang. Untunglah
puskesmas Hila dibantu pasokan obat-obatan malaria dari Global Fun yakni malaria
stadium vivax dibantu obat kloroquin dan primaquin. Sedangkan malaria palsifarum
obat jenis ACT.
"Penderita malaria palsifarum sebenarnya harus menjalani rawat inap, tapi kami
hanya bisa bantu dengan memberi obat-obatan. Jika terlalu parah biasanya kami
rujuk ke rumah sakit di kota, itupun butuh biaya besar. Kadang warga mengeluh soal
biaya karena kebanyakan mereka berasal dari keluarga tidak mampu," kata Perawat
puskemas Hila yang membidangi unit perawatan, Nurlina Usman.
Diakuinya, pasokan obat-obatan pemerintah seringkali tidak cukup memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan buat masyarakat. Obat-obatan yang biasanya
dipasok setiap enam bulan sekali itu, belum pada waktunya sudah habis terpakai.
Laut & Fasilitas Jadi Kendala
Kabupaten Seram Bagian Timur yang dikategorikan kabupaten miskin di Indonesia
oleh Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, kini masih terisolir khusus
di bidang transportasi dan komunikasi. Ruas jalan aspal yang ada di kabupaten
tersebut hanya sepanjang empat kilometer. Untuk menjangkau satu desa ke desa
lain, maupun ke kota kecamatan dan kota kabupaten hanya bisa melewati laut. Itu
juga kalau kondisi lautnya mendukung.
Selain dataran luas, kabupaten yang memiliki banyak pulau dan terpencil makin
membuat jaringan transportasi antar pulau sangat terbatas. Banyaknya pulau-pulau
terpencil itu hanya dilayari kapal perintis antara 2 hingga 4 minggu sekali di beberapa
lokasi saja. Persoalan ini tentu saja berpengaruh, termasuk akses pelayanan
kesehatan ke masyarakat.
Akibat kondisi itu pula, saat wabah malaria menyerang Dusun Wawasa Kecamatan
Kepulauan Gorom pada awal Mei 2005 lalu menewaskan 22 orang dan 761 warga di
dusun tersebut sakit parah. Warga Wawasa meninggal selain krisis pangan di
daerahnya, juga akibat lambatnya penanganan kesehatan karena keterisolasiannya.
Pengobatan warga yang terjangkit malaria sulit dilakukan akibat tidak adanya fasilitas
kesehatan di Wawasa. Puskesmas terdekat berada di desa induknya Amarsekaru,
yang dapat ditempuh dengan menggunakan perahu tradisional ketinting selama 1
hingga 1,5 jam. Karena terbatasnya sarana tranportasi dan biaya transportasi yang
tinggi, warga sulit untuk berobat dan perawat di puskesmas terdekat juga sulit
mengunjungi korban.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Seram Bagian Timur dr. Umar Fauzi Attamimi
kepada Radio Vox Populi mengaku, pihaknya selain kesulitan tenaga dokter, juga
minim fasilitas penunjang seperti puskesmas keliling (pusling) laut karena baru
memiliki satu unit pusling laut dan tidak bisa berlayar jika musim ombak. Akibatnya,
kebanyakan dari warga hanya bisa bertahan dengan obat-obatan tradisional jika
sakitnya parah.
"Di kabupaten kami baru dibangun satu rumah sakit. Jadi kalau ada pasien yang
sakitnya parah, kita terpaksa rujuk ke rumah sakit Masohi (Kabupaten Maluku
Tengah) atau rumah sakit Ambon," katanya.
Attamimi menyatakan prihatin terhadap keberadaan para dokter yang memilih
bertugas di Ambon. Padahal di Ambon dokternya sudah banyak, fasilitas yang
tersedia juga cukup. Sementara di daerah terpencil semacam Seram Bagian Timur
maupun tempat lainnya sangat membutuhkan pengabdian para dokter tersebut.
"Saya lihat tidak ada jiwa pengabdian sosial sehingga para dokter itu enggan
mengabdi di wilayah-wilayah yang jauh dan terpencil," ujarnya.
Dokter Kontrak
Untuk mengisi kekurangan tenaga dokter khususnya di daerah terpencil, melalui dana
Inpres Khusus Tahun 2003 tentang rehabilitasi dan recovery Maluku pasca konflik,
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku mengalokasikan Rp.3 miliar lebih untuk
mengontrak 20 tenaga dokter.
Sepuluh dokter nantinya dipekerjakan di rumah sakit pemerintah, dan sepuluh lainnya
bertugas di daerah terpencil. Dari dana itu juga dikontrak 60 tenaga bidan, serta
penyediaan fasilitas khususnya radio medic khusus buat dokter yang bertugas di
daerah terpencil untuk menginformasikan perkembangan kesehatan di daerah
tugasnya setiap saat.
"Kami berencana agar setiap enam bulan dibuat roling dokter agar mereka jangan
jenuh dan tidak mau lagi bertugas, apalagi bagi mereka yang bertugas di daerah
terpencil. Mudahan-mudahan program kontrak dokter ini sudah jalan dalam tahun ini,"
harap Wakil Kepala Dinas Provinsi Maluku dr. Fenno Tahalele.
Menurut Tahalele, saat ini pihaknya belum berbicara soal mutu dokter karena itu bisa
ditingkatkan. Yang dibutuhkan adalah kuantitas jumlah dokter, termasuk peningkatan
pemerataan tenaga dokter di seluruh wilayah. Untuk tenaga perawat sebenarnya di
Maluku tidak ada masalah karena ada satu Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) di
Ambon, serta dua Sekolah Akademi Perawat di Ambon dan Masohi (Maluku Tengah).
Sementara untuk pemenuhan tenaga dokter, menurut Tahalele, pihaknya juga tengah
berupaya agar di buka fakultas kedokteran di Universitas Pattimura.
Jumlah sarana prasana berupa rumah sakit dan puskesmas sebenarnya termasuk
cukup. Saat ini ada 10 rumah sakit pemerintah, tiga diantaranya masih dalam taraf
pembangunan di tiga kabupaten pemekaran yakni di Kabupaten Seram Bagian Timur,
Seram Bagian Barat, dan Kepulauan Aru. Ditambah lagi empat rumah sakit TNI/Polri
di Ambon, dan tujuh rumah sakit swasta (lima di Ambon). Sementara puskesmas ada
127 unit.
Puskemas pusat gugus kata Tahalele, saat ini akan dikembangkan untuk rawat inap
dan bisa melakukan operasi ringan. Diakuinya, karena keterbatasan tenaga dokter
spesialis karena kebanyakan di daerah hanyalah dokter umum sehingga dalam
kondisi tertentu dokter umum ini seringkali melakukan tindakan spesialistik.
"Tindakan spesialistik yang dilakukan dokter umum dari sisi hukum kedokteran
sebenarnya sangat bertentangan. Begitupun tenaga perawat kami terpaksa
melakukan tindakan penyuntikan, tapi mau bagaimana lagi kalau memang tidak ada
tenaga di sini," akunya.
Ia menambahkan, wilayah Maluku yang kepulauan efektifnya dilengkapi pula dengan
pusling laut. Yang ada baru lima unit dan tersebar di sejumlah daerah. Pusling laut
yang ada itupun tidak bisa beroperasi jika musim ombak.
"Pusling laut sangat penting, tapi yang baru ada sekarang belum bisa beroperasi saat
musim ombak. Dari dana Inpres 6 Tahun 2003 kami upayakan agar ada pengadaan
pusling laut yang layak dan bisa beroperasi kapan saja," harapnya. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|