Radio Vox Populi [Ambon], 07-Apr-2006
Bob Salakay Menyulap Tabung Petromax Jadi Totobuang
Ricky Rumaruson – Harian Suara Maluku, Ambon
KUSU-KUSU SEREH, sebuah lokasi yang berada di ketinggian bukit dan gunung ini,
lebih banyak dikenal warga Kota Ambon, karena buah-buahan yang dihasilkan dusun
ini. Berbagai jenis buah seperti salak, durian, nangka, mangga, papaya serta puluhan
jenis buah lainnya yang biasanya dijual ibu-ibu dengan cara papalele, terkenal karena
rasanya yang manis, lembut dan gurih.
Dusun yang merupakan bagian dari Desa Urimeseng Kecamatan Nusaniwe yang
berada di ketinggian bukit dan juga terkenal rapi dalam penataan rumah-rumahnya
yang asri dikelilingi pohon-pohon produktif, terutama buah-buahan. Kini dusun ini
dapat dikenal pula melalui tabuhan musik tradisional, Totobuang. Adalah Bob Salakay
(56 tahun), seorang petani yang memulainya.
Ikhwal membentuk kelompok musik Totobuang ini diawalinya ketika menonton
kelompok Totobuang Siwalima yang kala itu tampil di kantor pemerintah Kota Ambon.
"Saat itu beta diajak keponakan yang bertugas sebagai Polisi Pamong Praja untuk
melihat Totobuang Siwalima yang tampil di Kantor Walikota Ambon. Dari sinilah awal
datangnya ide untuk membentuk kelompok Totobuang di dusun Kusu-Kusu Sereh,"
jelas Bob.
Jalan ke arah ini tidak terlalu sulit karena sebagai petani, Bob juga seorang pembuat
Tifa (alat musik tabuh). Untuk mewujudkan ide ini, satu demi satu tifa dalam berbagai
ukuran dibuatnya. Dengan sedikit modal yang dimilikinya, sekitar sepuluh tifa
berbagai ukuran dibuat untuk menunjang pembentukan kelompok Totobuang Dusun
Kusu-Kusu Sereh. Setelah tifa selesai, dilanjutkan dengan pembuatan alat musik
Totobuang-nya.
"Cukup sulit memang untuk membuat Totobuang, karena bahan untuk membuat gong
yakni kuningan, sulit diperoleh dalam bentuk lempengan di Ambon. Namun setelah
berpikir keras, saya tertarik pada lampu petromax (lampu penerang berbahan baker
spirtus, Red), khusunya pada bagian tabungnya. Setelah mencoba satu buah,
ternyata berhasil," tuturnya.
Untuk mendapatkan 12 tabung lampu petromax, sesuai jumlah alat musik totobuang,
Bob mulai beraksi dengan berjalan dan mendatangi orang-orang yang masih memiliki
lampu ini. Tabung-tabung lampu petromax yang sudah rusak, dibelinya dengan harga
Rp.30.000 hingga Rp.50.000 per buah.
Setelah terkumpul, satu demi satu tabun ini ditempa sambil terus menjaga stabilitas
bunyi totobuang yang mirip gamelan, alat musik tradisonal dari Jawa tersebut.
Semuanya berhasil dibentuk empat tahun lalu (tahun 2002, Red). Anak-anak di dusun
ini kemudian diajak untuk berlatih memainkannya.
Melatih anak-anak usia sekolah dari SD hingga SMA, dilakukan sendiri tanpa teori.
Untuk menghasilkan tabuhan bunyi yang serasi, puluhan anak yang dilatih langsung
mempraktekannya pada alat-alat yang telah disediakannya. Kini sekitar 20 anak
asuhnya telah masih memainkan Totobuang, walau cara menabuh diberikan hanya
feeling tanpa partitur.
Dalam seminggu biasanya dilakukan latihan sebanyak dua hingga empat hari dan
berlangsung di tempat khusus yang dibangun di samping rumahnya yang berukuran 3
x 7.5 meter. Diakuinya, sebelum ini, usaha yang dilakukannya itu sempat dicemooh
orang. Namun kini, pujian yang diterimanya dan banyak orang tua yang memberikan
anaknya untuk dilatih menabuh Totobuang.
Anak-anak asuhnya kini dibagi dalam dua kelompok, yakni kelompok anak dan
remaja. Walau masih baru, tetapi penampilan anak-anak asuhnya cukup memukau,
sehingga sering diundang untuk mengisi acara-acara resmi pemerintah, baik Kota
Ambon maupun Provinsi Maluku, pernikahan, acara gereja maupun berbagai acara
lainnya.
Dari tabuhan totobuang dan tifa ini, biasanya mendapat insentif sekitar Rp500.000.
Untuk mengisi acara-acara ini, Bob mengaku tidak menetapkan besarnya tarif.
Insentif yang angkanya dsebutkan tadi, yang dianggapnya sebagai uang tangan itu,
biasanya dibagi bersama anak-anak asuhnya. Namun sebagiannya ada pula yang
disimpan untuk membeli kebutuhan kelompok misalnya, membeli kulit kambing untuk
mengganti kulit pada tifa yang robek atau tidak lagi menimbulkan bunyi yang merdu.
Selain lagu tradisional Maluku, anak-anak asuhan Bob juga mahir memainkan
lagu-lagu rohani. Hasil polesannya, kelompok remaja sudah pernah bersama Taman
Budaya melakukan atraksinya di Jakarta.
Sebelum menekuni pembuatan totobuang ini, Bob yang memperistri Ma
Salakay/Leleway, perempuan sedusun dengannya ini, juga adalah perajin tifa yang
andal. Untuk menghasilkan sebuah tifa ukuran kecil yang dijual dengan harga
Rp.100.000, Bob harus mengeluarkan Rp.25.000 hingga Rp.50.000 sebagai modal
untuk membeli kulit kambing. Tifa terbesar yang pernah dibuatnya, berharga hingga
jutaan rupiah. Untuk mengerjakan satu buah tifa, bapak delapan anak ini
membutuhkan waktu seminggu lebih. Kayu yang biasanya dipakai untuk pembuatan
tifa diantaranya, kayu lingua, titi dan salawaku.
Menurut Bob, kesulitan dalam membuat tifa hanya saat menggali atau membuat
rongga pada bagian dalamnya. Hasil karyanya tidak saja dipesan oleh warga Kota
Ambon, tetapi juga oleh orang-orang Ambon yang tinggal dan menetap di Belanda.(**)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|