Radio Vox Populi [Ambon], 17-Apr-2006
Waiyame, Desa Yang Tak Terjamah Konflik
Azis Tunny - Ambon
DESA Waiyame di Kecamatan Teluk Ambon Baguala tampak berbeda dengan desa
atau perkampungan lain di Maluku khususnya Pulau Ambon. Bayangan kehancuran
kehidupan beragama di Maluku tidak ditemui di Waiyame yang dihuni lebih dari 3.000
jiwa dengan latar-belakang Islam-Kristen.
Sejak pecah kerusuhan 19 Januari 1999 yang bernuansa religius hingga konflik 25
April 2004 akibat pawai anggota dan simpatisan FKM/RMS, Waiyame adalah
satu-satunya desa di Pulau Ambon yang tidak pernah tersentuh konflik.
Disaat salak bedil terdengar bersahut-sahut siang-malam, dentum bom menggelegar,
ribuan bangunan jadi puing serta ribuan nyawa menjemput ajal, Masjid Darul'Naim dan
Gereja Peniel tetap berdiri kokoh berdampingan di tengah-tengah desa seluas 33.158
meter bujursangkar. Desa yang terletak 27 kilometer dari Ambon itu lebih memilih
tidak mencampuri urusan perang di sekitarnya.
Ketika konflik masih membara, perkampungan di sekitar Waiyame tak luput dari
aroma peperangan yang merasupi nafsu setiap anak Maluku. Api kerusuhan dari Kota
Ambon terus menjalar membakar rumah-rumah warga, tempat ibadah, sekolah, dan
fasilitas umum lainnya hingga ke pelosok. Dusun Wailete dan Dusun Kemiri serta
Desa Poka-Rumahtiga yang berdekatan dengan Waiyame tinggal puing termasuk
kompleks Universitas Pattimura yang kini baru direhabilitasi.
Asap hitam mengepul pekat dapat disaksikan dengan jarak pandang hanya sekitar
empat kilometer dari perbatasan timur dan barat. Sementara dari arah selatan, Kota
Ambon terlihat jelas karena berjarak 3 mil laut dibatasi perairan Teluk Ambon.
Tampak nyata titik-titk api membakar bangunan-bangunan di kota bertajuk "Manise"
itu.
Bunyi bom dan bedil menyalak terdengar sayup-sayup merayap mendekati Waiyame.
Pemuda berkopiah dan pemuda berkalung salib berdiri berdekatan di perbatasan
kampung. Sama-sama menatap arena perang dari kejauhan.
"Kalah jadi abu. Menang jadi arang". Pepatah usang ini sangat tepat disematkan bagi
para pejuang yang mengusung panji-panji agamanya. Tak ada yang tampil sebagai
pemenang karena lawan adalah saudara sendiri yang kebetulan saja tidak seiman.
Keduanya saling berhadap-hadapan di medan perang, dan keduanya pula jadi korban.
Darah menetes membajiri setiap jengkal tanah Maluku.
Seruan perang didengungkan Posko Al-Fatah dan Posko Maranatha. Takbiran dan
denting bel gereja memanggil umatnya untuk angkat senjata. Membela kehormatan
agama. Ikat kepala putih menjadi simbol pasukan jihad dan ikat kepala merah
menjadi identitas laskar Kristus. Keduanya bertemu di medan perang yang
mengenaskan.
Konflik Maluku bagai episode film yang terus berulang-ulang. Saat memasuki masa
jeda, ruang perdamain memberi kesempatan. Saat situasi kondusif, perlahan-lahan
gerakan damai dirajut. Dialog antara pemuka agama dan masyarakat pun dilakukan.
Puncak dari pertemuan tokoh Islam-Kristen dilakukan di Malino Sulawesi Selatan
menelurkan 11 butir kesepakatan.
Kondisi Ambon memasuki babak baru. Perayaan HUT Kota Ambon ke-428 pada 7
September 2003 serta pesta pergantian tahun dari 2003 memasuki tahun 2004
dirayakan gegap-gempita oleh warga Ambon. Bunyi ledakan malam itu bukan lagi
pertanda adanya perang. Empat ruas jalan utama Kota Ambon yakni Anthony
Rhebok, AM Sangadji, Sultan Hairun dan AY Patty yang merupakan batas demarkasi
wilayah kelompok Islam-Kristen disesaki warga dua komunitas yang tumpah-ruah.
Puing-puing bangunan bekas kerusuhan di wilayah perbatasan seakan hidup lagi
dengan canda tawa Acang (Islam) dan Obet (Kristen) yang melepas rindu tanpa ada
perasaan curiga. Semua berbaur jadi satu larut dalam suasana pesta.
Tapi kemudian, kedamaian yang dirajut dengan membuka kawasan baku-bae (zona
netral) kembali terkoyak akibat kerusuhan 25 April 2004. Ruang netral di Ambon
kembali sempit. Saat itu hanya ada di tiga tempat netral yakni Kantor Gubernur
Maluku, Bandara Pattimura Ambon, dan Desa Wayame. Di luar wilayah itu, hampir
semuanya berpotensi terjadi konflik laten.
Segredasi sosial pascakonflik memang masih menjadi faktor yang sangat parah dan
rentan konflik. Kelompok Islam dan Kristen tinggal di lingkungan komunitas secara
terpisah, dan tidak ada ruang yang bisa menjembatani komunikasi di antara mereka.
Hanya di salah satu sudut Pulau Ambon yakni di Waiyame, warga setempat bisa
tidur nyenyak meski tetangganya adalah penganut agama lain.
Awal kebersamaan tak terkoyak itu bermula saat pecah kerusuhan pertama tanggal
19 Januari 1999. Pada malam harinya, seluruh warga baik Muslim maupun Kristen
berkumpul di kantor pemerintahan desa. Isu merebak bahwa pertikaian di Ambon
adalah perang agama mengundang keprihatinan tokoh Muslim dan Kristen di
Waiyame.
Informasi tentang korban meninggal dan luka, rumah, tempat ibadah dan berbagai
fasilitas umum yang terbakar terus terdengar dari bisik-bisik warga maupun media
informasi yang tersimak. Daftar korban jiwa dan harta benda semakin panjang dengan
bertambahnya waktu. Namun kebersamaan warga Waiyame tidak terpancing. Cobaan
tidak lantas berhenti begitu saja. Berbagai macam isu terus muncul untuk
mempropaganda keadaan.
Menyikapi informasi yang merebak dan membingungkan masyarakat, Tokoh agama
dan masyarakat kemudian bersepakat membentuk sebuah tim yang menampung dua
elemen masyarakat yang bertugas mengeliminir isu maupun dinamika yang
berkembang. Dibentuklah Tim 20 yang beranggotakan 20 orang dengan komposisi 10
tokoh Islam dan 10 tokoh Kristen
Tim 20 kemudian berperan di kelompok agamanya untuk mengatasi isu serta gejolak
yang bakal muncul dari internal agamanya. Sementara peran keluar untuk menangkal
isu yang memprovokasi ketenangan warga. Tak segan-segan, si pembawa isu di usir
dari kampung. Seruan perang dari Posko Al-Fatah dan Maranatha juga di saring
sebelum masuk merasuk warga.
"Himbauan-himbauan yang bersifat baik dan sejuk kita terima, tapi kalau
memanas-manasi keadaan kita tolak. Kita juga keras kepada masyarakat bahwa
persoalan di luar jangan sampai dibawa masuk ke Waiyame," kata Plh Kepala Desa
Waiyame, Kanes Amanupunnjo (36) yang juga mantan Ketua Tim 20.
Selama kondisi tegang, posko desa dibuka 24 jam guna menampung dan memberi
informasi kepada masyarakat. Tidak mengusung istilah yang cenderung religius
seperti posko-posko lainnya saat kerusuhan, "Posko Keluarga Waiyame" jadi pilihan
nama mereka. Terlepas dari peran Tim 20, tokoh agama dan tokoh masyarakat juga
memberikan pembinaan lewat masjid, gereja dan lingkungan masyarakat.
Rasa aman mulai teruji dengan meningkatnya tensi perang memaksa pemuka dan
tokoh masyarakat untuk melakukan pertemuan rutin di masjid dan gereja. Anak-anak,
pemuda, hingga orang tua dikumpulkan pada satu tempat. Pada hari Rabu,
pertemuan berlangsung di gereja sementara di masjid hari Sabtu. Khusus untuk
masjid, pertemuan dilakukan sebatas di teras dan pekarangan masjid.
Guna memberi keyakinan menghilangkan keraguan masyarakat, pada pertengahan
Februari 1999, tokoh muslim Abdurachman Marasabessy mewakili komunitas Islam
bersumpah di altar Gereja Peniel untuk tidak menyerang atau melakukan tindak
kekerasan kepada warga Kristen. Sumpah ini dilakukannya seusai ibadah Minggu.
Sebaliknya tokoh dari kalangan Kristen Pdt. Jhon Sahalessy selesai Shalat Jumat,
mewakili komunitas Kristen bersumpah tidak akan menyerang warga Muslim.
Sumpah Sahalessy dilakukan di mimbar Masjid Darul'Naim, disaksikan seluruh warga
Waiyame.
"Kondisi aman hingga sekarang berkat dukungan masyarakat. Tanpa mereka maka
kerja kita sia-sia. Dan tanpa kuasa tuhan pembinaan ke masyarakat juga bakal
sia-sia," kata Amanupunnjo yang juga tokoh Kristen Waiyame.
Perbedaan agama bukan alasan permusuhan untuk saling membunuh dan
menghancurkan. Amanupunnjo menandaskan, warga Waiyame dilarang untuk
membedakan satu sama yang lain berdasarkan agama yang dianut. Identitas agama
hanya disandang saat berada di masjid atau gereja untuk beribadah.
Meski upaya meredam konflik terus dilakukan, kedamaian mereka lagi-lagi terusik.
Kerusuhan kembali pecah sebagai akses dari pawai kelompok separatis FKM/RMS
pada 25 April 2004 membuat satu nyawa warga Waiyame melayang. Seorang
pemuda Waiyame ditemukan tewas menggenaskan di perbatasan Waiyame dengan
Dusun Kota Jawa. Oleh pihak desa dan keluarga korban, kematiannya dianggap
sebagai kelalaian korban.
"Pihak orang tua dan keluarga telah menerima kematiannya. Bagi kami itu adalah
kelalaian dia karena tahu ada konflik di Ambon, masih mau keluar dari desa," kata
Amanupunnjo menyesalkan.
Ia menceritakan, jika terjadi kerusuhan maka semua warganya diimbau untuk tidak
terlibat dalam medan peperangan. Jika ada yang tewas atau terluka maka tidak
diijinkan masuk kampung. Bahkan jenasah yang tewas dalam peperangan dilarang
keras untuk pemakamannya di lingkungan kampung.
"Ini dilakukan untuk menghindari akses yang tidak baik di lingkungan kami," katanya.
Saat dimana situasi Ambon tidak kondusif, jalur transportasi darat di Waiyame
sengaja di tutup untuk menghindari kemungkinan terburuk. Guna menjangkau Ambon
beberapa speedboat khusus disiapkan untuk komunitas Islam dan Kristen.
Jalur alternatif ini dinilai lebih aman karena sepanjang jalan raya menuju Kota Ambon
akan melewati sejumlah perkampungan Islam-Kristen yang dianggap rawan.
Speedboat yang mengantar penumpang Islam nantinya merapat di pangkalan
speedboat Batumareh dengan tariff per orang Rp.3.000. Sebaliknya speedboat Kristen
akan menuju pelabuhan Gudang Arang dengan besaran tariff yang sama.
Desa pemasok sayur-mayur terbesar untuk Kota Ambon itu setiap paginya selalu di
banjiri pedagang yang datang membeli sayur untuk selanjutnya di jual kembali ke
Ambon. Baik Ambon dalam keadaaan damai maupun konflik. Saat keamaan di
Ambon tidak kondusif, situasi pasar tradisional Waiyame tidak terpancing.
Wajah-wajah tanpa curiga berbaur jadi satu. Pembeli yang datang dari Ambon
kembali pulang membawa barang jualannya dengan aman dan lancar.
Letak Waiyame yang memiliki dua anak dusun boleh dikatakan sangat strategis
karena di desa yang berjarak 9 kilometer dari Bandara Pattimura Ambon itu terdapat
kilang minyak Pertamina, pemasok minyak utama untuk Kota Ambon dan sekitarnya.
Disamping itu terdapat pula asrama tentara Kompi C Linud 733 BS. Bagi
Amanupunnjo, keberadaan pertamina dan asrama tentara bukan menjadi jaminan
bahwa desanya aman dari konflik.
"Itu tidak betul. Kalau saja mau menghancurkan Waiyame itu bukan penghalang.
Buktinya konflik juga terjadi di sekitar kompleks tentara di Waiheru atau di Asrama
Brimob Tantui. Kondisi aman ini berkat komitmen masyarakat kami untuk tidak mau
terlibat dalam kerusuhan Ambon," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Tim 20 Abdulrachman Marasabessy (51) berpendapat, dari segi
kemanusiaan tidak dibenarkan adanya konflik kekerasan antara sesama manusia
karena kehidupan manusia saling membutuhkan satu dengan lain tanpa memandang
suku, ras, dan agama. Sementara dan dari segi hukum agama, baik Islam maupun
Kristen, tidak pernah mengajak umatnya untuk membunuh umat yang lain.
"Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan berbangsa-bangsa untuk saling
mengenal bukan untuk saling membunuh," kata Marasabessy mantap.
Menurutnya, kerusuhan yang terjadi di Ambon sudah ditunggangi kelompok
kepentingan yang ingin meraup keuntungan dengan darah manusia. Padahal, dampak
kerusuhan itu yang mendapat imbas adalah rakyat kecil.
"Ada kelompok-kelompok kecil di Waiyame yang juga terkontaminasi tapi kita cepat
pangkas. Kita tidak akan membiarkan kejahatan itu bertunas. Kalau ada isu akan kita
telusuri. Pernah kita mengusir orang yang mencoba memprovokasi warga, intinya
mengajak warga melakukan kekerasan kepada komunitas agama lain di
Waiyame,"tegasnya.
Marasabessy juga mengungkapkan, kesepakatan tidak tertulis yang lahir dari kedua
pihak di Waiyame itu disertai pada rasa saling menghargai, saling menjaga
ketentraman, dan tidak mengganggu sesama. Ia menambahkan, kunci dari semua
kehidupan untuk menuju hidup toleransi ada tiga yakni keterbukaan, kejujuran, dan
keikhlasan nurani.
Belajar dari pengalaman masyarakat Waiyame dalam mengatasi konflik berbauh
agama di Ambon kiranya menjadi pembelajaran bagi basudara lainnya di Pulau
Ambon maupun Maluku secara keseluruan. Karena yang diperangi adalah saudara
sendiri, hanya karena kebetulan dia beda agama.
Maluku tempo dulu pernah jadi ikon toleransi dan kerukunan antar umat beragama
untuk dunia. Hidup berdampingan yang rukun menjadi bahagian tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat di provinsi seribu pulau itu. Kiranya cerita masa lalu ini bukan
saja menjadi cerita manis buat anak-cucu kita kelak, tapi menjadi kenyataan
sepanjang masa dan satu kebanggaan tiada tara. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|