Radio Vox Populi [Ambon], 17-Feb-2006
Otak Insiden Terorisme di Ambon Divonis Penjara Seumur Hidup
Azis Tunny - Ambon
Pengadilan Tinggi Ambon menghukum Fatur Datu Armen alias Syamsudin dengan
vonis hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan menjadi otak dibalik penyerangan
bersenjata hingga menyebabkan dua warga ! sipil tewas dan satu lainnya terluka
akibat terkena tembakan tembus di paha kiri. Sebelumnya, jaksa menutut agar yang
bersangkutan dihukum mati.
Majelis hakim yang diketuai Kharlison Hariantja menyebutkan, Fatur bersalah dalam
kasus penyerangan Villa Karaoke di Desa Hative Besar Kecamatan Teluk Ambon
Baguala pada 14 Februari 2005, hingga menyebabkan dua orang tewas yakni Siti
Ratnawaty dan Yondry Patiruhu yang saat kejadian sedang merayakan malam
valentine. Dalam kasus ini, dirinya dituduh sebagai otak dan pe! nggerak penyerangan
tersebut.
Dalam kasus ini, Fatur dan Idi Amin Tabrani Pattimura alias Ongen Pattimura (yang
dituntut hukuman mati dalam perkara yang sama) dituduh sebagai otak penyerangan
meski mereka berdua tidak turun langsung melakukan penyerangan. Sementara
mereka yang bertindak sebagai eksekutor dilapangan berjumlah tujuh orang
masing-masing Ismail Fahmi Yamsehu (dituntut hukuman mati), Samsul Bahri
Sangadji (dituntut hukuman mati), Muthalib Patty (dituntut hukuman penjara seumur
hidup), Ridwan Lestaluhu (dituntut hukuman penjara seumur hidup), Nachrum
Wailissahalong (dituntut hukuman penjara seumur hidup), Syarif Tarabubun (belum
disidangkan), dan Mitho (masih buron).
Dalam amar putusan hakim yang dibacakan Kharlison, Fatur ditetapkan bersalah
melanggar Pasal 14 junto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, junto Pasal 9 UU Nomor 15 Tahun 2003.
Dirinya dituduh telah merencanakan atau menggerakan orang lain untuk melakukan
tindak pidana terorisme dengan sengaja menggunakan kekerasan sehingga
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal.
"Akibat dari peristiwa itu masyarakat Hative Besar berhenti beraktifitas karena takut
khususnya nelayan tidak melaut se! lama seminggu, dan kebanyakan masyarakat
mengamankan diri ke gunung," kata Kharlison saat persidangan yang digelar di
Ruang Sidang Chandra, PN Ambon, Kamis (16/2).
Kharlison menguraikan, sebelum penyerangan dilakukan pada hari yang sama, para
tersangka terlebih dahulu melakukan tahlilan hari ke-11 atas meninggalnya Ismail
Pelu, kerabat dekat Ongen Pattimura.
Usai acara tahlilan, Ongen Pattimura menceritakan bahwa Ismail tewas bukan karena
kecelakaan sebagaimana otopsi Rumah Sakit Polri Ambon, tetapi ditembak oleh
seorang oknum polisi bernama Otis Layaba di Kawasan Waitatiri, Kecamatan
Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Dalam kasus ini, Otis dihukum empat tahun
penjara dan pada sidang profesi Polri pada Rabu (15/2) kemarin di Markas Polda
Maluku, dirinya dipecat sebagai anggota polisi.
"Saat itu terdakwa Fatur berkata, kalau dulu-dulu (saat kerusuhan, red) katong (kami)
sudah balas. Perkataan terdakwa ini menimbulkan niat dan kemudian menggerakan
pelaku lainnya untuk melakukan penyerangan," ungkap Kharlison.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, terdakwa sebenarnya sudah merencanakan lebih
dulu rencana tersebut karena pada waktu sore harinya Fatur telah menyiapkan
speedboat (angkutan laut yang digunakan untuk penyerangan). Selain itu, seusai
tahlilan dan pertemuan guna melakukan penyerangan, Fatur bersama Ongen menga!
mbil persenjataan yang terdiri atas 1 pucuk senjata M-16, 2 pucuk senjata SKS, 1
pucuk senjata MK-3, 2 pucuk senjata M-16 (ukuran mini), serta bom rakitan dan
ratusan amunisi. Senjata-senjata ini sebelum dipakai untuk penyerangan terlebih
dahulu diperiksa oleh Ismail Fahmi Yamsehu dan Syarif Tarabubun yang adalah
anggota polisi.
"Pada saat itu, Fatur mengisi 90 butir amunisi pada 3 magazen senjata,
masing-masing magazen 30 butir peluru," kata Kharlison.
Dikatakannya, senjata, amunisi, serta bahan peledak tersebut disimpan di rumah
pengungsi di Desa Batumerah Ambon, yang mana barang-barang tersebut sudah
disimpan sejak tahun 2004 saat kerusuhan 25 April tahun itu. Senjata yang
digunakan kelompok ini dalam melakukan aksinya, menurut jaksa Nunik Triyana
adalah senjata-senjata bekas milik Laskar Jihad saat kerusuhan terjadi di Maluku.
Kharlison sebelum menjatuhkan hukuman saat pembacaan amar putusan
menyebutkan, tidak ada hal-hal yang meringankan terdakwa dalam persidangan.
Sementara hal yang memberatkan, karena perbuatan terdakwa menimbulkan korban
jiwa dan telah merencanakannya sejak awal.
Mendengar putusan hakim yang disertai ketukan palu sidang, sontak Fatur
meneriakan takbir "Allahu Akbar" dan dibalas pengunjung sidang yang mensesaki
ruang sidang. Dalam persidangan ini, puluhan aparat keamanan dari polisi dan brimob
bers! iaga dengan senjata di dalam maupun ruangan sidang.
Seuasi persidangan, kepada wartawan Fatur menyatakan tidak puas dengan putusan
hakim dan akan mengajukan banding. "Kalau saya bersalah, saya siap dihukum
gantung. Undang-Undang Teroris yang digunakan jaksa dan pengadilan hanya berlaku
pada satu pihak atau satu komunitas saja. Ambon inikan daerah bekas kerusuhan,
kenapa kami diperlakukan seakan-akan kami ini teroris. Ini tidak adil dan saya akan
banding," tandasnya.
Fatur adalah pria kelahiran Toli-Toli Sulawesi Tengah yang datang ke Ambon saat
kota tersebut dilanda kerusuhan. Dirinya datang ke Ambon sebagai anggota
organisasi Laskar Jundullah dan Wahdah Islamiyah yang berbasis di Makassar dan
kemudian menetap dan menikah dengan wanita Ambon dan menjual bahan bakar
sebagai mata pencariannya.
Ditempat terpisah, Hamdani Laturua, penasehat hukum Fatur kepada Radio Vox
Populi berkata, keputusan hakim di dalam sidang sudah dipengaruhi oleh pihak diluar
pengadilan. "Kami melihat ada pola-pola intervensi oleh pihak tertentu yang sengaja
datang ke majelis hakim untuk mempengaruhi putusan hakim. Padahal peradilan
adalah lembaga independen dan keputusan merupakan kewenangan yang melekat
pada peradilan melalui hakim. Masalah ini akan kami lampirkan dalam memori
banding nanti," kata Hamdani yang menolak menyebutkan pihak mana yang dia
maksud.
Menurutnya, keputusan hakim dalam perkara ini tidak mempertimbangkan akar
permasalahan yang merupakan bagian dari fakta meteril dalam perkara ini. "Sebelum
peristiwa penembakan di Villa Karaoke, telah terjadi peristiwa penembakan terhadap
kerabat dan sahabat para terdakwa yakni Ismail Pelu hingga meninggal yang
dilakukan seorang oknum polisi. Penembakan Villa Karaoke adalah akumulasi dari
kekecawaan atas meninggalnya Ismail Pelu," sesalnya.
Sementara itu dalam sidang terpisah, Tomi Srihandono divonis hukuman 5 tahun
penjara. Hukuman Tomi jauh lebih ringan dar! i tuntutan jaksa yang meminta agar
dirinya dihukum 11 tahun. Pria yang bekerja sebagai kontraktor di Ambon ini dituduh
telah membiayai aksi penyerangan ke Villa Karaoke dengan memberikan Rp.500 ribu
kepada para tersangka. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|