SINAR HARAPAN, Rabu, 05 April 2006
Papua, Trauma Politik, dan Budaya
Oleh Emmy Sahertian
Dua peristiwa menonjol tentang Papua, yakni pemberian suaka atas 42 (dari 43)
warga Papua oleh Imigrasi Australia, dan tewasnya 5 aparat keamanan di Abepura
dalam demonstrasi menuntut penutupan tambang emas PT Freeport, telah
mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia.
Warga Papua yang meminta suaka selalu dihubungkan dengan tokoh Papua Dr
Thomas Wanggai yang berjuang membebaskan rakyat Papua dari ketertindasan
sekitar tahun 1980-an. Kritiknya yang keras terhadap cara pemerintah Indonesia
(Orde Baru) menebang hutan dan memberi izin pertambangan untuk bisnis segelintir
konglomerat, menyebabkan dia dipenjarakan hingga meninggal tahun 1994 dalam
tahanan.
Pengikutnya meneruskan perjuangan. Banyak anggotanya ditangkap dan
dipenjarakan. Sering tokoh intelektual, budaya, dan agama Papua menjadi target
pembunuhan misterius karena diduga mendukung Organisasi Papua Merdeka. Sebut
saja Arnold Ap, Daan Yairus Ramar, Theys Eluai, Pendeta Eliza Tabuni dan beberapa
tokoh mahasiswa.
Ke-43 warga Papua itu meminta suaka ke Australia, karena merasa tidak ada lagi
tempat aman untuk hidup secara normal. Mereka itu merupakan puncak kecil gunung
es dari besaran jumlah yang ada di bawah permukaan di mana banyak masyarakat
Papua asli mengalami trauma politik sejak Pepera, dan Orde Baru yang terkenal
dengan berbagai gelaran operasi militer dan operasi gelap intelijen. Semua ini menjadi
ingatan kolektif atas penderitaan yang sering diistilahkan sebagai memoria passionis.
Tanah Adat
Seorang ibu Amungme berpakaian camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci
kaki di tepi anak sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap
dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata: "ayuu (aduh) ….dorang su ame (sudah
ambil) kami pung (punya) mama pung kepala, semua sudah ancur (hancur) dan kami
sedih….kami sakit hati".
Ini merupakan ungkapan umum tiap orang Amungme, yang terkena dampak langsung
eksplorasi PT Freeport Mac Moran.
Lokasi gunung Estberg dan Grassberg tempat eksplorasi tembaga dan emas pada
kontrak karya I dan II PT Freeport terdapat di atas konstruksi tanah adat Amungme
yang disebut Ninggok atau kepala mama (tanah dipahami sebagai Ibu), wilayah yang
paling sakral, tempat bernaung roh-roh suci pemberi keajaiban hidup untuk
mensejahterakan anak-anak adat.
Seluruh konstruksi perbukitan dan dataran ke arah selatan hingga pelabuhan
dipahami sebagai tubuh ibu atau pengampu hidup yang mengukir identitas suku-suku
pegunungan tengah. Apabila konstruksinya rusak ibarat pemusnahan sebuah
identitas hidup yang nilainya sama dengan membunuh manusia adat, memerlukan
rekonstruksi ritual maupun rekonservasi alam.
Tampaknya pemahaman kultural ini tidak pernah dipertimbangkan baik dalam kontrak
karya I dan Kontrak Karya II. Mereka memang memperoleh dana kompensasi 1%,
setelah mama Yosepa Alomang, perempuan Amungme bersama sejumlah
masyarakat adat di Mimika bangkit melawan Freeport dan Pemerintah Indonesia.
Namun mereka begitu tersinggung ketika sadar bahwa kompensasi tersebut sebagai
tindakan belas kasihan, bukan bagian share holder di mana pemahaman budaya
sebagai anak ibu yang kepalanya sedang dibantai perlu dihargai setara mitra pemilik
modal.
Dialog Nasional
Meskipun persyaratan sebagai share holder tentu tidak sesederhana itu. Kondisi yang
lebih mengenaskan ketika tidak adanya upaya jeda eksplorasi dan eksploitasi untuk
memperbaiki kondisi ekologik yang sudah rusak parah. Karena ibu (tanah suci)
mereka telah terbantai, nafas kehidupan kultural mereka telah selesai dan mati.
Apapun yang menjadi alasan semua pemilik modal, pemerintah, dan atau para
pembela NKRI, untuk membenarkan tindakan ini, orang Papua telah tersinggung
secara kultural.
Mereka bangkit untuk merebut identitas diri yang telah hilang dengan cara apa saja,
termasuk mempersoalkan rasa nasionalisme Indonesia apakah masih layak
menyembuhkan luka budaya mereka atau sebaliknya telah menimbulkan trauma.
Sebab berbicara tentang Papua adalah berbicara tentang sumber kekayaan alam
berkualitas dunia, dan manusia Papua sebagai bagian integral dari alam yang
berkualitas itu. Sebuah nilai yang ikut menentukan harga bangsa Indonesia di mata
dunia.
Untuk menyelesaikan dua masalah ini, gelar dialog nasional yang berbasis kultural
merupakan tuntutan mendesak, jika benar bahwa kita adalah bangsa yang
bermartabat.
Penulis adalah Sekretaris Solidaritas Nasional untuk Papua, Jakarta
Copyright © Sinar Harapan 2003
|