SINAR HARAPAN, Senin, 09 Januari 2006
Menjenguk Tiga Guru Sekolah Minggu di LP Indramayu
"Ada Maksud Tuhan di Balik Penjara Ini..."
Oleh Rana Wijaya
Hari Sabtu (7/1) pagi itu, kami berharap hari cerah. Dalam mobil van yang kami
tumpangi terdapat empat ibu yang semuanya sudah menjadi nenek dari beberapa
cucu. Di kursi belakang kami, ikut dua bapak. Yang menjadi sopir di sebelah kami
adalah seorang wakil direktur sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bogor.
Sebagai penunjuk jalan, saya memang sudah beberapa kali mengunjungi Indramayu,
tentu saja karena saya bersimpati terhadap ketiga ibu guru sekolah minggu yang kini
menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Indramayu, Jawa Barat. Ketiga
guru sekolah minggu itu, yakni Dr Rebecca, Ratna Mala Bangun, serta Eti Pangestu.
Mereka divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Indramayu, awal September
2005 karena melanggar Pasal 86 Undang-Undang No.23/2002 tentang Perlindungan
Anak dan Pasal 156a KUHP. Mereka dianggap berusaha melakukan pemurtadan di
daerah Hargeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Sabtu (14/1) pagi, kami sepakat untuk berangkat mengunjungi Dr Rebecca, ibu dua
anak berumur 14 dan 17 tahun, Ratna Mala Bangun (39) ibu dua anak berumur 7 dan
2 tahun, dan Eti Pengestu (43) ibu tiga anak berusia19, 13 dan 6 tahun. Mereka telah
dipisahkan dari anak-anak dan suami.
Perjalanan lima jam dari Bogor ke Indramayu cukup melelahkan. Namun memasuki
halaman LP Indramayu kami menjadi lupa. Kami bahkan lupa makan siang karena
desakan untuk segera bertemu dengan ketiga guru sekolah minggu tersebut.
Begitu kami tiba di LP Indramayu, Linda anak angkat Dr. Rebecca langsung
menjemput kami di depan gerbang LP yang hanya menyediakan sebuah pintu sempit
untuk memeriksa tamu yang ingin menjenguk.
Setelah mengurus izin masuk ke sipir jaga, kami pun diberi kartu tamu dan
rombongan boleh masuk ke ruang tamu tempat para napi bertemu dengan tamu.
Kami akhirnya bertemu dengan ketiga pelayan Tuhan itu. Mereka bukan kriminal juga
bukan penipu apalagi koruptor yang kabur membawa aset bangsa ini ke luar negeri.
Mereka hanya ibu rumah tangga yang melayani Tuhan sebagai guru sekolah minggu.
Divonisnya ketiga ibu rumah tanggal itu merupakan kasus pertama di negeri ini di
mana majelis hakim menggunakan Undang-Undang No23/2002 tentang Perlindungan
Anak. Anehnya lagi, perlindungan anak yang dikaitkan dengan isu kristenisasi.
Hingga kini tidak ada seorang pun anak -anak yang pernah ikut program minggu ceria
yang dilakukan Dr Rebbeca dan teman-temannya itu telah berpindah agama. Namun
meskipun bukti-bukti tuduhan itu tidak terbukti, Pengadilan Negeri Indramayu, Jawa
Barat, tetap meyatakan ketiga bersalah dan diganjar tiga tahun penjara.
"Andai saja kami tahu seperti ini, tak akan mudah kami menerima anak-anak yang
ikut minggu ceria. Kami bahkan akan minta izin termetarai dari orangtua mereka,"
kata Dr Rebecca yang kami temui di LP Indramayu. Meski mereka pernah ikut acara
minggu ceria, tapi mereka tetap tidak berpindah agama.
Berbagai upaya sudah dilakukan untuk memperoleh keadilan. Pengadilan tingkat
banding di Bandung, Jawa Barat, malah tetap mengukuhkan keputusan Pengadilan
Negeri Indramayu. Kini, pengacara ketiga terdakwa sedang mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA).
Vonis itu telah membuat Dr. Rebecca dan teman-teman kaget. Kini, mereka harus
tinggal di sebuah tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Nyamuk dan
tumbila (sejenis kutu) menjadi teman yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.
Belum lagi mereka harus tidur beralas kayu dan tak enaknya lagi mesti terkurung di
bilik sel. Kondisi yang lebih parah lagi ketiga guru sekolah minggu itu harus pisah
dengan suami dan anak-anak.
Di tengah keprihatinan dengan kondisi demikian, ternyata Dr Rebecca, Ratna Mala
Bangun, serta Eti Pangestu tetap menebar senyum dan tidak sedikit pun mengeluh
apalagi takut. Mereka pun menyatakan tidak membenci kepada orang-orang yang
telah memvonisnya. Mereka juga sempat bertemu dengan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) di LP Indramayu dan hingga kini tetap membangun hubungan baik.
"Kami juga tidak membenci para pengunjuk rasa yang mempengaruhi majelis hakim
ketika vonis itu dijatuhkan. Kami menyerahkan keadilan kepada hakim yang paling
adil, yaitu Tuhan," kata Dr Rebecca.
Ratna Mala Bangun malah menimpali dengan menyatakan, "Kalau Tuhan mau
mengeluarkan kami dari LP ini, Dia pasti sanggup, namun pasti ada maksud-Nya
kalau kami diizinkan berada di sini (di penjara ini)."
Di LP Indramayu inilah, Dr Rebecca dan teman-teman belajar berbagi hidup dengan
mereka yang dianggap sampah masyarakat. Kadang ketika mereka menerima
makanan dari penjenguk, makanan itu lantas dibagikan kepada penghuni LP
Indramayu lainnya.
Dr Rebecca kini telah dijadikan semacam "dokter LP" karena penghuni LP Indramayu
yang berjumlah 400 narapidana ini sering berobat pada dokter yang kini tidak bisa
membuka praktik dokter di luar. "Kami melayani mereka dengan sukacita. Dengan
dokter LP, saya bekerja sama untuk melayani napi yang sakit," kata Dr Rebecca.
Ketiga guru sekolah minggu itu masih berharap keadilan akan berpihak pada mereka.
Meski masalah yang mereka hadapi telah menarik perhatian banyak orang. Sebut
saja munculnya ribuan surat simpati yang datang dari banyak negara.
Namun, nyatanya Dr Rebecca, Ratna Mala Bangun, dan Eti Pangestu tetap berada di
LP Indramayu, Jawa Barat. Ada rencana Tuhan di balik semua ini!
Penulis adalah pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Kajian
Transformasi Membangun Bangsa
Copyright © Sinar Harapan 2003
|