SINAR HARAPAN, Sabtu, 21 Januari 2006
Pergumulan Umat Kristiani, Mencari Izin Gereja di Rancaekek
Oleh Didiet B Ernanto/ Kristanto Hartadi
BANDUNG – Pagi itu sekitar pukul 09.30, hari Minggu (15/1), di Perumahan Bumi
Rancaekek Kencana, Kabupaten Bandung, tidak tampak hal yang istimewa, tidak
ada kerumunan massa atau polisi berjaga. Info dari seorang rekan menyebutkan hari
itu akan ada penutupan delapan rumah tinggal yang selama ini dipakai sebagai
tempat ibadah (gereja).
Kami pun bertanya ke sana ke mari, mencari bangunan yang berciri-ciri gereja.
Akhirnya ditemukanlah rumah di Jalan Teratai Raya 165 yang digunakan untuk ibadah
oleh Bakal Jemaat Gereja Kristen Indonesia (Bajem GKI). Rumah itu mirip gudang,
tanpa mimbar, organ atau alat musik lainnya, bahkan tiada petunjuk rumah itu pernah
dipakai sebagai gereja.
Hanya terlihat lima bangku warung sepanjang 3 meter, yang letaknya tak teratur. Dari
luar tak tampak tanda atau papan nama gereja, ia tak lebih seperti rumah lainnya.
Ternyata kegiatan bergereja di rumah itu telah diakhiri mulai 8 Januari 2006, seperti
dikatakan Penatua Yohanes Pangarso, ketua majelis jemaat. Rumah tipe 70 itu dibeli
oleh GKI Cibunut, Bandung (gereja induk), pada 17 Juli 1993, guna melayani 50 KK
jemaat GKI di sekitar perumahan tersebut.
Menurut Yohanes, selama itu tidak ada masalah dengan warga sekitar, terutama
tetangga kanan dan kiri, maupun pengurus RT/RW setempat.
Jemaatnya pun selalu aktif berpartisipasi dalam kegiatan warga. Kami lalu menuju
rumah di Jalan Teratai Raya 51 yang digunakan tempat beribadah oleh jemaat HKBP
Bethania Rancaekek.
Di sini pun tidak ada bangunan gereja. Suasana sepi, tidak tampak mobil parkir di
luar, tidak terdengar suara orang bernyanyi. Pintu gerbang dan pintu rumah pun
tertutup, padahal ada puluhan orang yang sedang kebaktian di dalamnya. Sintua
Jawadi Hutapea, ketua majelis jemaat HKBP, yang menemui kami.
Jemaat Terbesar
Gereja HKBP punya jemaat terbesar di perumahan itu, sekitar 75 KK, atau sekitar
250 jiwa, rata-rata ada 100-150 orang yang beribadah tiap Minggu. Rumah itu dipakai
sejak tahun 2000, sebelumnya mereka menyewa sebuah rumah di Jalan Gradiol,
tetapi diprotes para tetangga (mungkin karena jumlah jemaat besar sehingga warga
terganggu).
Di tempat baru belum ada protes dari tetangga kanan kiri. Bertetangga dengan HKBP
terdapat Gereja Pantekosta, yang juga melangsungkan kebaktian di jam yang sama.
Suasananya juga sepi. Warga sekitar tampak biasa saja.
Sebelumnya, di Jalan Gradiol No 54 kami mendapati rumah yang digunakan ibadah
oleh Gereja Kristen Tabernakel (GKT), terdengar sayup suara organ. Pendeta Filemon
Sirait yang dipanggil keluar untuk menemui kami tidak memberi banyak keterangan,
dia hanya menyebut umatnya sekitar 50 orang, dewasa dan anak-anak.
"Kami baik-baik saja dengan masyarakat sekitar. Kami menganggap tidak ada
apa-apa," katanya tergesa, kemudian masuk untuk memimpin ibadah. Pintu pun
ditutup. Di sini pun tidak nampak tanda bahwa rumah ini dipakai sebagai gereja.
Penampilan rumah itu sama seperti rumah para tetangga lainnya, sederhana.
Seperti jemaat dari gereja lain di tempat itu, kegiatan ibadah di rumah-rumah itu
memang untuk melayani warga kristiani di Komplek Perumnas Bumi Rancaekek
Kencana, agar tidak harus ke Bandung yang jaraknya memang cukup jauh. Gereja
HKBP terdekat, misalnya, berada di Jalan Jakarta di pusat Kota Bandung, atau harus
datang ke kampus STPDN di Jatinangor, Sumedang.
Sejak Awal
Umat kristiani di Rancaekek yang jumlahnya lebih 1.000 jiwa, sudah sejak awal
pembangunan perumahan itu pada Maret 1993, berupaya meminta izin mendirikan
rumah ibadah, namun senantiasa mendapat tentangan sekelompok warga. Sehingga
berkembang rumah tinggal dijadikan gereja, dan mereka adalah umat dari 12 gereja.
Gereja yang aktif membina umat di situ adalah Gereja Baptis Independen Indonesia
(GBII), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Katolik, Gereja Kemah Injil
Indonesia (GKII), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja
Kristen Oikumene (GKO), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Pantekosta,
Gereja Pentakosta di Indonesia (GpdI), Gereja Pentakosta Tabernakel (GPT), dan
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Namun GKJ, Gereja Katolik, GKP, dan GKO tunduk pada surat tertanggal 3
September 2004 yang dikeluarkan Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
Masyarakat, Kabupaten Bandung, yang memerintahkan penghentian rumah tinggal
dijadikan tempat kegiatan ibadah oleh 12 jemaat gereja, dengan pertimbangan demi
menghindari konflik dan menciptakan toleransi.
Sejumlah aksi unjuk rasa menentang "kebandelan" delapan gereja yang bertahan,
dan itu terjadi pada September 2004 dan malam Natal 24 Desember 2005, terutama
terhadap HKBP. Kini, surat perintah sejenis yang dikeluarkan oleh Kantor Kesatuan
Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bandung, tertanggal 13 Januari
2006, dan berlaku efektif 15 Januari 2006 tampaknya tidak bisa ditawar lagi oleh
kedelapan gereja tersebut.
"Setelah keluarnya surat tersebut, kami terpaksa tidak kebaktian lagi di rumah ini,"
kata Yohanes Pangarso. Dia belum tahu bagaimana nanti jemaatnya akan beribadah.
Biasanya ibadah di GKI Rancaekek dilayani oleh pendeta dari GKI Cibunut sebulan
sekali, dan selebihnya dipimpin oleh anggota majelis gereja.
Sintua Jawadi Hutapea juga belum tahu akan bersikap apa. "Lantas kalau dilarang,
kami harus beribadah kemana? Masak kami harus ke Bandung dan Jatinangor lagi?"
keluhnya.
Tidak Menutup
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas)
Pemkab Bandung, Edin Hendradin, ketika dihubungi menegaskan Pemkab Bandung
sama sekali tidak pernah menutup gereja. "Mohon diluruskan apa yang terjadi di
Rancaekek bukanlah penutupan gereja, ini adalah perintah pengembalian fungsi
rumah sebagai tempat tinggal sesuai dengan peruntukannya di IMB," tegasnya.
Perintah yang dilayangkannya pada 13 Januari 2006 itu didasarkan pada Surat Bupati
Bandung No 452.2/1829/Kesbang, 3 September 2004, tentang Larangan Penggunaan
Rumah Tinggal sebagai tempat ibadat. Pelanggaran terhadap IMB sesuai Perda No
24 Tahun 2000 dapat dikenai sanksi pidana kurungan selama 6 bulan dan denda
uang.
Forum Silaturahmi Ulama dan Cendekiawan Muslim (FSUCM) adalah pihak yang
konsisten menentang penggunaan rumah tinggal dijadikan gereja. Dalam pertemuan
dengan Muspika dan FSUCM dan wakil dari gereja pada 24 Desember 2005,
disepakati perayaan Natal 25 Desember 2005 dan Tahun Baru 2006 boleh dilakukan
di rumah-rumah itu, untuk terakhir kalinya.
Setelah itu Pemkab Bandung akan menindak tegas, dengan menyita dan menyegel
rumah yang dialihfungsikan sebagai gereja kalau pada 15 Januari 2006 masih
berlangsung kegiatan. Sekretaris FSUCM Rancaekek, Elan Jaelani, membenarkan
adanya kesepakatan itu.
Namun setelah tahun baru 2006 umat kristiani harus menaati aturan. "Sekarang yang
akan terus kami tekan adalah Pemkab Bandung supaya bertindak tegas, bahkan
penertiban oleh Satpol PP. Kami tidak akan turun tangan seperti tahun 2004,"
katanya. Dia pun setuju kalau Pemkab Bandung mengusahakan solusi seperti
mencarikan tempat untuk beribadah.
"Cuma saat mencarikan tempat itu, kami harus diundang dan diajak bicara," katanya,
sambil menegaskan izin itu perlu.
Bekas Pabrik
Menurut Endin, pihaknya juga terus berupaya mencari solusi, salah satunya
menawarkan penggunaan ruangan pabrik yang banyak terdapat di Rancaekek untuk
bergereja. "Tapi mereka tidak setuju tawaran ini," katanya.
Dia juga menuding pengembang yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan
tanah untuk fasilitas sosial/fasilitas umum. "Tapi kalau pengembang bilang sekarang
tanggung jawabnya ada di Pemkab Bandung, saya harus mengecek ke Dinas
Permukiman," katanya.
Namun, Manager Marketing Perum Perumnas Regional Jabar-Banten, Jus Supari,
yang dihubungi menegaskan tanggung jawab itu telah dipenuhi pihaknya. "Setelah
tanah diserahkan ke Pemkab Bandung, terserah mau dipakai untuk apa," kata Jus
Supari.
Menurut Pdt Dr Simon Timorason, Ketua Forum Komunikasi Kristiani Indonesia
(FKKI) Jawa Barat, yang terus mendampingi pergumulan jemaat di Rancaekek, pihak
FKKI bersama umat di Rancaekek sejak 2004 sudah mengajukan permintaan agar
tanah fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) itu digunakan untuk
pembangunan gedung gereja yang akan digunakan bersama, namun belum ada
hasilnya.
Mengenai penolakan terhadap gagasan menggunakan ruang-ruang pabrik yang
banyak terdapat di Rancaekek, Simon mengatakan keberatan itu dikarenakan
tawaran tersebut bukanlah penyelesaian masalah dan malah menambah persoalan.
"Bagaimana kalau nanti didemo karyawan atau warga sekitar, lalu apakah
pengusahanya mau menjual tanah dan bangunannya kepada kami?" katanya.
Menurut dia penyelesaian terbaik adalah Pemkab menunjuk tanah negara di
lingkungan Perumahan Bumi Rancaekek Kencana.
"Biar jemaat yang membeli lalu membangun gedung gereja secara bertahap,"
katanya. Tampaknya itu formula terbaik yang harus diperjuangkan umat kristiani di
Rancaekek, dan menjadi pergumulan bersama serta saling menerima.
Margaret, pendeta gembala di Gereja Kemah Injil Indonesia, mengatakan dia tidak
keberatan dengan gagasan dibangun sebuah gedung gereja untuk dipakai beribadah
bersama secara bergiliran oleh jemaat dari gereja-gereja di Perumnas Bumi
Rancaekek Kencana. (*)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|