SINAR HARAPAN, Kamis, 26 Januari 2006
Revisi SKB Dua Menteri, DPR Akan Panggil Mendagri dan Menag
Oleh Rikando Somba
Jakarta – Revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri soal pendirian rumah
ibadah harus mengacu pada tata urutan perundang-undangan dan konstitusi yang
mengatur kebebasan beragama.
Dari sisi hukum, SKB dinilai mengikat hanya kedua departemen bersangkutan saja.
Hal itu mengemuka dari pertemuan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(F-PDIP) DPR dengan wakil Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), dan
Lembaga Hak Asasi Manusia (Elham) di Jakarta, Rabu (25/1) siang.
DPR, utamanya F-PDIP, akan mengagendakan pemanggilan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) untuk menjelaskan proses dan revisi
tersebut. "Kita sepakat kalau awal negara ini tidak ada sekat yang membedakan
suku, ras, agama. Kita harus kembalikan kondisi ini yang kini banyak sekat ke
kondisi semula. Kami akan agendakan pemanggilan Mendagri dan Menag untuk
menjelaskan hal ini secara clear," kata Wakil Ketua F-PDIP Gayus Lumbuun dan
Sekretaris fraksi yang sama, Jacobus Carlo Mayong Padang didampingi Ketua
Komisi III Trimedia Pandjaitan, serta anggota F-PDIP Sasongko dan Agung
Priambudi.
PDIP juga menyayangkan adanya "sekat" yang justru dipelihara negara dengan
adanya SKB tersebut. Gayus dan Agung Priambudi juga mengatakan akan
mempertanyakan peran Kapolri dan aparatnya atas pembiaran perusakan rumah
ibadah. Semestinya, yang diatur oleh negara dalam pendirian rumah ibadah adalah
berdasarkan planologi—tata ruang kota dan aspek hukum pendirian bangunannya.
Di kesempatan sama, Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia (Elham) mengadukan
berbagai penutupan dan perusakan rumah ibadah yang dilakukan di sejumlah wilayah
di Tanah Air. Lembaga yang mengadvokasi kalangan gereja ini mengaku tengah
mempersiapkan langkah hukum terhadap pemerintah, jika penutupan dan
pengrusakan tetap terjadi.
Namun, Ketua Elham Posman Radjagukguk mengatakan pihaknya tak akan
melakukan class action atas hal itu. Ia menyayangkan ketidaksigapan pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap isu yang sensitif ini. Konstitusi tegas
menyebutkan adanya jaminan kebebasan beragama.
Jika Presiden "menutup mata" atas hal ini, bisa diartikan adanya pelanggaran
Konstitusi. Sejatinya, pelanggaran tersebut adalah salah satu hal yang bisa menjadi
alasan pemakzulan (impeachment) Presiden. "Kita jelas heran, kenapa urusan
pendirian "rumah Tuhan" menjadi sangat susah. Pendirian "rumah lendir" seperti panti
pijat dan lainnya itu bisa menjadi urusan yang cepat," kata Posman.
Hal senada juga dikemukakan oleh Lodewijk Gultom, tim asistensi dan konsultasi
PGI untuk pembahasan revisi SKB. Ia mengatakan hingga kini pembahasan belum
final atas kebijakan tersebut.
Ia juga mengatakan perlunya persetujuan sejumlah umat beragama lain di sekitar
tempat ibadah yang akan dibangun belum diputuskan. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|