SUARA PEMBARUAN DAILY, 31 Maret 2006
Eksekusi Mati Tibo Cs Ditunda
JAKARTA - Kejaksaan menunda eksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso,
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu yang seharusnya dilaksanakan
hari ini menjadi bulan depan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Masyhudi Ridwan menjawab
Pembaruan, Jumat (31/3), di Jakarta, menampik bahwa penundaan itu karena adanya
permohonan grasi kedua yang diajukan keluarga terpidana kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono berbarengan dengan permohonan peninjauan kembali (PK) ke
Mahkamah Agung (MA) pada Senin lalu.
"Ada persyaratan-persyaratan yang belum terpenuhi di lapangan. Jadi, eksekusi yang
memang direncanakan bulan ini belum bisa dilaksanakan, mundur hingga bulan
depan. Tetapi eksekusi tidak bisa dilaksanakan bukan karena adanya grasi atau PK,"
katanya.
Dia menolak menjelaskan persyaratan-persyaratan di lapangan tersebut yang
menjadikan eksekusi ditunda. "Saya belum bisa sampaikan persyaratan yang belum
terpenuhi dan menjadi hambatan eksekusi itu. Sebab, hal itu sangat sensitif kalau
saya sampaikan. Akan ada waktunya kami jelaskan semua," ujarnya.
Dia mengakui, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah menyatakan eksekusi
terhadap Tibo Cs akan dilakukan akhir Maret. Artinya, Jumat ini merupakan hari
terakhir pelaksanaan eksekusi tersebut. "Memang Pak Jaksa Agung sudah bilang
akhir bulan ini, berarti memang hingga hari ini. Tetapi itu kan baru rencana, bisa saja
mundur," tambahnya.
Masyhudi juga belum bisa menyebutkan kapan tepatnya pelaksanaan eksekusi mati.
"Belum ada keputusan, apakah awal bulan depan atau kapan. Nanti akan kami
beritahukan," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, Jumat, meminta Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan eksekusi terpidana mati Fabianus Tibo
(60), Dominggus da Silva (39), dan Marinus Riwu (48). Sebab, menurut dia, banyak
masyarakat berkeberatan dengan rencana eksekusi tersebut yang dilandasi fakta
hukum, para terpidana tidak terbukti bersalah sebagaimana tuduhan jaksa.
"Eksekusi boleh dilaksanakan kalau tidak adanya keberatan-keberatan yang ada
dalam masyarakat. Presiden jangan sampai mengabaikan ini semua," kata
Muhaimin.
Dia mengingatkan, jangan sampai kejaksaan mengeksekusi orang yang tidak
bersalah. Karena itu, dia meminta MA agar kembali menguji keterlibatan tiga
terpidana dalam kasus Poso itu. "Saya tidak mencampuri masalah hukum kasus ini,
namun tuntutan masyarakat juga harus diperhatikan," ucapnya.
Salah seorang penasihat hukum ketiga terpidana, Petrus Selestinus meminta MA
agar dengan lapang dada memproses kasus ini dari awal. Sedikitnya beberapa alasan
dianggap sebagai peradilan yang sesat. Pertama, dalam pertimbangan majelis hakim
disebutkan, ketiga terpidana (waktu itu terdakwa) bukanlah sebagai pelaku utama
(lapangan).
Kalau tidak sebagai pelaku utama, berarti mereka sebagai pelaku yang turut serta. Itu
berarti mereka dijerat dengan Pasal 55 KUHP. Kalau mereka sebagai pelaku yang
turut serta, berarti harus disebutkan pelaku utamanya.
Namun, lanjutnya, dalam putusan hakim tidak disebutkan siapa sebagai pelaku
utama. Dengan pertimbangan seperti itu, dalam amar putusannya, hakim menghukum
ketiga terdakwa dengan hukuman mati. "Putusan majelis hakim yang aneh seperti ini,
tidak dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi dan kasasi (MA). Sudah benar-benar
salah, malah dibenarkan oleh pengadilan di atasnya," kata Selestinus.
Kedua, tuturnya, beberapa kali dalam persidangan, tiga terdakwa ditampar oleh saksi
(di depan hakim). "Nah, ini kan benar-benar pengadilan yang tidak merdeka, dan hal
seperti ini jelas bertentangan dengan UU MA sendiri," tukasnya.
Ketiga, hakim membawa barang bukti baru dalam persidangan di luar yang
didakwakan jaksa, seperti parang dan tombak. "Barang bukti tersebut dibantah oleh
para saksi dan para terdakwa," katanya.
Keempat, sambungnya, hampir seluruh saksi (kecuali satu orang saksi) yang
diperiksa di pengadilan menyatakan, para terdakwa tidak terlibat. Selestinus
menegaskan, dengan sudah masuk grasi kepada Kepala Negara, maka eksekusi
ditunda.
Dia menambahkan, pasal 79 UU Nomor 14 tahun 1985 tentang MA menentukan, "MA
dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan, apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam UU ini." Dengan adanya
bukti baru oleh tiga terpidana tersebut, menurut dia, MA harus dengan lapang dada
membatalkan proses hukum selama ini, dengan menerima PK baru yang diajukan
ketiga terpidana. (Y-4/E-8)
Last modified: 31/3/06
|