SUARA PEMBARUAN DAILY, 06 April 2006
Kalau Tetap Dieksekusi, Darah Mereka Akan Teriak
Presiden harus membatalkan rencana eksekusi mati terhadap tiga terpidana mati
kasus Poso III, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu. Sebab,
mereka tidak bersalah. Mereka tidak terlibat dalam kerusuhan Poso III, sebagaimana
dituduhkan jaksa. Mereka hanya dijadikan kambing hitam oleh aparat penegak
hukum.
Kalau mereka tetap dieksekusi, itu berarti aparat penegak hukum menghukum orang
tidak bersalah. Jangan sampai hal ini terjadi. "Ingat, darah orang benar akan berteriak
kepada Tuhan. Kalau mereka tetap dieksekusi, darah mereka akan berteriak kepada
Tuhan," kata Anna Berlian, dalam orasinya ketika berunjukrasa bersama sekitar 500
massa yang menolak eksekusi mati terhadap tiga terpidana tersebut di Bundaran HI
dan di depan Istana Negara, Sabtu (25/3).
Perempuan berkulit putih ini adalah warga Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pekerjaannya sebagai pendeta. "Saya, sebagai warga Poso asli, mengetahui persis,
mereka tidak bersalah. Pelaku sebenarnya dalam kerusuhan Poso III, masih
berkeliaran sampai sekarang ini," kata dia.
Awal Juli 2000, Tibo Cs ditangkap aparat di Desa Beteleme, 250 Km dari Poso. Sejak
itu, masyarakat mau atau tidak dipaksa untuk percaya, mereka adalah pelaku atau
otak kerusuhan kerusuhan Poso III.
Sesudah ditangkap, dimasukkan ke dalam tahanan, disidik, didakwa, dan diadili,
maka pada tanggal 5 April 2001. Mereka dijatuhi hukuman mati. Ketiganya
dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana, pembakaran dan
penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut, di Kelurahan Moengko Baru dan
Kayamanya Kecamatan Poso Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo
Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir
Tepi Sungai Poso Desa Tagolu, Kecamatan Lage, pada Maret hingga Juli 2000.
Ketika proses pengadilan itu berlangsung, masa mengelilingi gedung pengadilan;
mereka menuntut hukuman mati. Para pengacara Tibo diancam.
Putusan atas tiga orang itu dikuatkan oleh PT Sulteng pada 17 Mei 2001, demikian
pula dengan pengajuan kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) juga ditolak
pada 11 Oktober 2001. Mereka juga mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK)
yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Mereka mengajukan grasi ke Presiden pada
Mei 2005 dan ditolak oleh Presiden Yudhoyono pada 10 November 2005.
Pada sidang, saksi Sutarmin tidak melihat Tibo. Sutarmin merupakan salah satu
korban penyerangan di kompleks Walisongo, namun saksi pura-pura mati sehingga
selamat. Ia menerangkan, yang memimpin penyerangan di Walisongo pada 28 Mei
2000 adalah Lempalulu dan bukan ketiga terdakwa.
Saksi Anton Muhammad. Ia tidak melihat Tibo berada di lokasi pembunuhan. Ia
(saksi) mengikuti kelompok yang berpakaian hitam-hitam dari Kayamanya namun
saksi tidak melihat Fabianus Tibo berada bersama kelompok yang berpakaian hitam-
hitam.
Ilham, SH. Ia ikut pada saat penyerangan ke Walisongo melawan orang Kristen yang
jumlahnya 30 orang bersenjatakan dum-dum, parang, peluncur dan senjata rakitan.
Waktu penyerangan ke kompleks Walisongo. Ketika itu terdakwa tidak ikut serta. Ia
mengenal wajah tiga terdakwa dari foto-foto di harian Mercusuar.
Rinaldy Damanik. Ia kenal Ir. Lateka sebagai warga jemaat dan Lateka pernah datang
ke kantor saksi pada tanggal 30 Juni 2000. Lateka mengatakan bahwa dia
bertanggung jawab, dialah komandan, pimpinan dan menyerahkan satu lembar surat
untuk dikirim ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan dibacakan di depan aparat.
Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI),
Muhammad Arfiandi Fauzan SH mengatakan, kerusuhan Poso III tidak terlepas dari
kerusuhan Poso I dan II. Oleh karena itu, kata dia, adalah tidak benar kalau Tibo Cs
dituduh sebagai pelaku atau dalang dalam kerusuhan di Poso. Kalau mereka benar
sebagai pelaku, mengapa hanya mereka dihadapkan ke muka hukum ?
Pada tanggal 23 Mei 2000 masyarakat Kristen dibawah pimpinan Advend Lateka
mulai melakukan penyerangan ke daerah-daerah penduduk muslim yaitu Kelurahan
Moengko dan Kayamanya dan kemudian dilanjutkan ketempat-tempat lain.
Berdasarkan itu, Fauzan menyimpulkan, kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso
bukan merupakan konflik agama tetapi tidak lebih dari kepentingan elite politik lokal
yang haus akan kekuasaan dengan menarik agama sebagai pemicu konflik. Negara
telah gagal dalam menanggulangi kerusuhan, menciptakan rasa aman dan
keselamatan masyarakat di kabupaten Poso.
Dalam kasus konflik horisontal di Kabupaten Poso penegakan hukum tidak
didasarkan pada asas persamaan di depan hukum.
Proses peradilan terpidana mati dilakukan di bawah tekanan massa sehingga
kebebasan peradilan (fair of trail) yang menjadi salah satu asas peradilan. Tiga
terpidana di atas adalah korban, seperti korban konflik lainnya di Indonesia.
[Pembaruan / Siprianus Edi Hardum]
Last modified: 6/4/06
|