SUARA PEMBARUAN DAILY, 07 April 2006
Harus Ditangkap Dalang Kerusuhan Poso
[JAKARTA] Untuk menyelesaikan konflik di Poso yang terus terjadi sampai sekarang,
pemerintah harus berani menangkap dalang dari konflik tersebut, bukan
mengeksekusi mati tiga terpidana mati kasus Poso III, yakni Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.
"Kalau ketika orang ini dieksekusi mati, kasus Poso bukan berarti selesai, tapi justru
semakin ruwet, karena mereka bukan otak dari masalah di sana," kata pakar pidana
Prof Dr JE Sahetapy SH dalam diskusi dengan tema, "Bincang-Bincang Hukuman
Mati Tibo Cs" di Jakarta, Kamis (6/4).
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jakarta Lawyer
Club bersama dengan ANTV itu adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
(Jam Pidum), Prasetyo dan Rektor Universitas Bung Karno (UBK) Muchyar Yara.
Sahetapy mengatakan, KUHP sebagai dasar bagi aparat penegak hukum di Indonesia
untuk menerapkan hukuman mati, merupakan produk Belanda, yang oleh Belanda
sendiri tidak menggunakannya lagi. Belanda tidak menerapkan hukum mati karena
Belanda sadar, hak hidup adalah hak asasi. Dan, syarat utama negara demokrasi
(hukum) adalah menghargai hak asasi manusia.
Selain itu, kata Sahetapy, dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, hukuman mati
dilarang. "Melakukan eksekusi mati terhadap Tibo Cs, atau terpidana mati lainnya,
bertentangan dengan UUD 1945," kata dia.
Senada Muchyar Yara menegaskan, dari segi hukum, proses hukum terhadap tiga
terpidana mati belum final. Sebab, dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
diatur pengajuan grasi bisa dua kali, yang jarak waktunya dua tahun. Pengajuan
pertama diajukan oleh terpidana sendiri, pengajuan kedua oleh keluarga terpidana.
"Jadi, saya minta kejaksaan harus tunggu dulu jawaban grasi yang kedua," kata dia.
Sedangkan Prasetyo mengatakan, proses hukum terhadap para terpidana sudah final
dan benar. "Untuk mengeksekusi mereka sekarang merupakan wewenang dari
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah," kata dia. [E-8]
Last modified: 7/4/06
|