SUARA PEMBARUAN DAILY, 12 Januari 2006
Ungkap Dalang Pembunuh Munir
SETELAH otoritas Belanda mengumumkan, tokoh hak asasi manusia (HAM)
Indonesia, Munir, meninggal dunia karena racun arsenik berada di lambung dan
darahnya, sebagian masyarakat Indonesia yakin Munir diracun oleh sebuah
konspirasi. Keyakinan ini didasari oleh pengetahuan atau kesaksian masyarakat,
suami Suciwati itu ialah se- orang aktivis yang tidak pernah takut mengkritisi
penguasa yang lalim di negeri ini.
Berdasarkan keyakinan itulah Presiden Yudhoyono menyetujui anjuran para aktivis,
membentuk Tim Pencari Fakta (TPF), yang fungsi dan wewenangnya mencari fakta
dan memberikan fakta-fakta tersebut kepada Polri melalui Presiden. TPF kasus itu
dibentuk Desember 2004, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 111/2004.
Sekitar Maret 2005, TPF merekomendasikan empat nama staf dan pimpinan PT
Garuda Indonesia untuk menjadi tersangka dalam kasus itu. Keempat orang itu, yakni
pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto; pramugara dan pramugari Garuda, Oedi
Irianto dan Yetti Susmiarty; dan mantan Direktur Utama PT Garuda, Indra Setiawan.
Pollycarpus ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan Mabes Polri, sejak 9 Maret
2005. Tidak lama setelah pilot Garuda itu ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan,
selanjutnya, pada, 5 Mei 2005, Polri menetapkan Yetti Susmiarty dan Oedi Irianto
menjadi tersangka. Namun, sampai saat ini keduanya, belum ditahan dan
penyidikannya, juga tidak jelas. Sedangkan Indra Setiawan sampai sekarang
statusnya hanya sebagai saksi. Ia memang beberapa kali diperiksa dalam statusnya
sebagai saksi.
Selain itu, ada lima awak Garuda Indonesia yang sudah diperiksa penyidik terkait
kasus tersebut, yakni Hermawan, orang yang mengatur jadwal penerbangan, Wakil
Kepala Pengaman Garuda Indonesia Rahmelgia Anwar, Secretary Chief Pilot Airbus
330 Rohainil Aini dan pramugari Garuda Indonesia, Tia Dwi Ambari.
Selain dari pihak Garuda Indonesia ada sejumlah nama juga telah diperiksa penyidik,
yakni Mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono; Mantan Deputi V Bidang
Penggalangan dan Propaganda BIN, Mayjen (Purn) Muchdi PR; mantan Sekretaris
Utama BIN, Nurhadi Djazuli dan agen BIN, Bambang Irawan.
Pemeriksaan mantan anggota BIN tersebut selalu luput dari perhatian wartawan. Hal
itu terjadi karena mereka diperiksa pada hari-hari ketika wartawan tidak ada di Mabes
Polri. Seperti pemeriksaan terhadap Hendropriyono dilaksanakan Sabtu (11/6/2005).
Wartawan mengetahui Hendro telah diperiksa, empat hari ke depan, yakni Rabu
(15/6/2005).
Menurut sumber Pembaruan di Mabes Polri, yang menentukan waktu untuk
memeriksa Hendro dan mantan anggota BIN lainnya adalah terperiksa sendiri
(anggota BIN itu). Hal itu terjadi karena penyidik takut kepada anggota BIN.
Pengakuan sumber itu tidaklah berlebihan. Betapa tidak, Komisaris Jenderal Polisi
Suyitno Landung, ketika menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri
waktu itu, mengaku takut kepada mantan anggota BIN.
"Apa Anda jamin keselamatan keluarga saya dan Anda? Anda tahu nggak siapa itu
Muchdi ? Sudahlah tidak perlu saya jelaskan kapan dia diperiksa," kata Suyitno
ketika ditanya Pembaruan di depan beberapa wartawan sebelum mengikuti
pembukaan acara Konferensi Polisi ASEAN di Nusa Dua, Bali, 16 Mei 2005 lalu.
Perintah Hakim
Tiga majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menghukum terdakwa Pollycarpus
Budihari Priyanto 14 tahun penjara. Pollycarpus terbukti secara bersama-sama
melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir, dalam penerbangan Indonesia -
Singapura, 6 September 2004.
Ia membunuh Munir bersama pelaku lainnya dengan cara memasukkan racun arsenik
ke mi goreng yang dimakan korban. Untuk itu majelis hakim meminta aparat
penegakan hukum terus menyidik kasus itu dan mencari pelaku lainnya.
Pollycarpus dikatakan sebagai salah satu eksekutor penghilangan nyawa Munir, kata
hakim, berdasarkan sejumlah fakta dalam persidangan. Yakni, telepon genggam
Pollycarpus mengadakan kontak dengan telepon genggam milik Kepala Deputi V BIN,
Muchdi PR, sebanyak 41 kali.
Dalam persidangan Muchdi mengaku tidak pernah kontak dengan Pollycarpus atau
menghubungi nomor telepon Pollycarpus. Menurut Muchdi, teleponnya itu sering
digunakan oleh orang lain. Selain itu Muchdi mengaku ia pernah mengingatkan Munir
melalui Adnan Buyung Nasution agar tidak terlalu vokal terhadap pemerintah. Namun,
kenyataanya Munir tetap vokal.
Menurut majelis hakim, Muchdi membantah ia tidak pernah mengontak atau
menghubungi telepon yang dimiliki Pollycarpus merupakan alasan yang tidak masuk
akal, sebab dia pejabat yang tahu untung ruginya kalau teleponnya dipakai orang lain.
Selain itu, menurut majelis hakim, berdasarkan pengakuan Muchdi, dia pernah
mengingatkan Munir melalui Adnan Buyung Nasution. Itu bisa disimpulkan bahwa
orang yang mengontak Pollycarpus adalah orang yang tidak suka dengan kevokalan
Munir.
Selain itu, dia mondar-mandir, yakni berdiri di sekitar tempat duduk Munir, berdiri
dekat WC, dan mondar-mandir di tempat pantri. Selain itu, dia sempat ngobrol
dengan Oedi Irianto dan Yetti Susmiarty, keduanya pramugara dan pramugari.
Menurut majelis hakim, dalam pesawat itu Pollycarpus bersama Yetti dan Oedi selalu
memantau Munir sampai ketika Munir menghabiskan minuman dan makanan yang
diberikan oleh Oedi dan Yetti.
Menurut aktivis Demos, yang juga sebagai mantan Wakil Ketua TPF kasus Munir,
Asmara Nababan, pertimbangan majelis hakim itu sudah sesuai dengan temuan TPF.
Memang dua hari setelah Pollycarpus divonis, Presiden Yudhoyono memerintahkan
Kapolri untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Presiden juga yakin, penghilangan
nyawa Munir melibatkan sebuah konspirasi.
Perintah Presiden kepada bawahannya itu ditanggapi sinis oleh para aktivis yang
tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum). Tanggapan sinis itu
didasari oleh, pertama, tidak lama setelah Belanda mengatakan, Munir meninggal
dunia karena racun arsenik di lambung dan darahnya, Presiden menyatakan
komitmennya dengan mengatakan, penyelesaian kasus Munir merupakan ujian bagi
sejarah Indonesia.
Dalam perjalanan kerja TPF dan penyidik Polri, Presiden terkesan berada di belakang
pihak-pihak yang diduga terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir. Banyak oknum
BIN, yang dengan seenaknya menolak hadir ketika dipanggil TPF untuk diperiksa.
Kedua, Presiden tidak melaksanakan amanat Keppres No 111/2004 tentang TPF,
yang mengatakan, Presiden harus mengumumkan kerja TPF kepada publik.
Umumkan Hasil TPF
Menurut aktivis yang tergabung dalam Kasum, kalau Presiden benar-benar serius
ingin kasus Munir diungkap tuntas, Presiden harus segera mengumumkan hasil kerja
TPF atas kasus itu. Selain itu, Presiden segera membentuk Tim Kepresidenan, yang
wewenangnya jauh lebih luas dari TPF. "Tim Kepresidenan bekerja sama dengan
polisi untuk menembus pelaku-pelaku yang berlindung di belakang kekuatan politik
atau lainnya, seperti orang-orang BIN" kata Hendardi, salah satu anggota Kasum.
Menurut Hendardi, keadilan dalam kasus Munir masih disandera oleh
kekuatan-kekuatan gelap yang berkuasa di atas hukum. "Presiden perlu mengatakan,
di sisi mana sekarang dia berdiri, apakah di antara kekuatan-kekuatan gelap itu atau
bersama kami di tengah-tengah terang keadilan," kata mantan anggota TPF kasus
Munir itu.
Salah satu fakta yang ditemukan TPF dalam kasus itu adalah dokumen yang berisi
empat skenario pembunuhan Munir. Dokumen itu mereka temukan Mei 2005. Empat
skenario itu, antara lain, skenario pertama, Munir akan dibunuh dengan menggunakan
santet. Skenario kedua, Munir akan dihabisi di atas kendaraannya. Sedangkan
skenario ketiga, Munir akan dibunuh dengan menaruh racun di makanannya saat
berada di kantornya di Kontras atau Imparsial, dan skenario keempat adalah
pembunuhan di atas pesawat.
Operasi tiga skenario pertama gagal dilakukan, tetapi skenario keempat dapat
dilakukan dan Munir meninggal dunia di atas pesawat Garuda Indonesia dalam
penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, 7 September 2004.
Saat akan dibunuh di kantor Kontras atau Imparsial, pelaku menggunakan orang
dalam di kantor itu untuk menaruh racun di dalam makanan Munir. Namun,
operasinya itu gagal karena Munir tidak masuk kerja, sehingga operasi dibatalkan.
"Orang dalam kantor Munir itu tidak sadar telah dimanfaatkan," kata Ketua TPF
Brigjen Pol Marsudhi Hanafi tanpa menyebut orang dalam yang dimaksud. Marsudhi
menegaskan, berdasarkan fakta dalam dokumen itu makin menguatkan dugaan,
Munir dibunuh secara konspiratif dan terencana. Semua fakta yang ditemukan TPF itu
telah diberikan penyidik Polri melalui Presiden untuk ditindaklanjuti.
Bisakah polisi menghadapkan dalang pembunuh Munir, ke muka hukum? Kapolri
Jenderal Polisi Sutanto mengaku, penyelidikan dan penyidikan kasus tidak mudah.
Sebab, kejadian itu sudah lama terjadi dan tempat kejadian perkaranya (TKP) di atas
pesawat.
"Ini tidak mudah, karena kejadian ini sudah lama, dan tempat kejadian perkaranya
(TKP) di atas pesawat. Tetapi, itu bukan alasan buat kami. Kami juga meminta
kepada seluruh masyarakat, termasuk Pollycarpus, untuk memberikan informasi
yang dibutuhkan," kata Sutanto kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/12).
Menurut Koordinator Kontras, Usman Hamid Polri belum serius mengusut kasus itu.
Sebab, sampai sekarang Polri belum memeriksa staf dan anaknya Muchdi PR terkait
pemakaian telepon selulernya (Muchdi) untuk menghubungi Pollycarpus sebanyak 41
kali. "Polisi harus periksa anak buah Muchdi dan juga anggota BIN lainnya, yang
diduga terlibat," kata Usman. PEMBARUAN/ SIPRIANUS EDI HARDUM
Last modified: 12/1/06
|