SUARA PEMBARUAN DAILY, 12 April 2006
OPM Muncul Kembali?
Penyerangan yang mengakibatkan korban empat orang tewas di Kampung Wembi,
Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua, memperpanjang daftar kekerasan di
provinsi itu. Serangan ini dilakukan oleh puluhan orang yang diduga tergabung dalam
kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap Pos Batalyon 509 Wembi,
ketika berlangsung kegiatan bhakti sosial kesehatan oleh mahasiswa Politeknik
Kesehatan Jayapura.
Peristiwa Senin (10/4) ini, menewaskan dua anggota TNI dan dua orang penyerang.
Namun, identitas kedua orang penyerang yang tewas itu belum diketahui secara
pasti. Sekarang TNI mengerahkan pasukan untuk mengejar kelompok penyerang
yang diperkirakan bersembunyi di sekitar perbatasan Indonesia dan Papua Nugini.
Berbagai komentar muncul menanggapi kasus penyerangan ini, termasuk di
antaranya yang menyebutkan bahwa serangan itu hanya untuk menunjukkan bahwa
OPM masih ada, tetapi tidak mempunyai pengaruh untuk membangun kekuatan
separatis. Namun demikian, cara-cara kekerasan yang dilakukan tidak akan
membawa Papua keluar dari masalah, bahkan sebaliknya masalah di sana akan
semakin rumit.
Kegiatan OPM sendiri, sudah cukup lama tidak terdengar. Bahkan di kalangan warga
maupun tokoh di Papua muncul penilaian bahwa gerakan bersenjata seperti yang
dilakukan OPM di Keerom ini, tidak akan menyelesaikan masalah. Pilihan bagi
Papua agar dapat keluar dari masalah adalah melalui dialog dan diplomasi. Hal ini
terlihat ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua disahkan, dan
status ini memperoleh sambutan yang antusias di Papua. Bahkan beberapa
kelompok yang menyebut diri sebagai bagian dari OPM kemudian menyerahkan diri.
Antusias masyarakat Papua dalam pemilihan gubernur sebulan lalu, juga merupakan
cermin adanya kehendak yang luas dari masyarakat untuk penyelesaian masalah
Papua dengan cara-cara damai.
Tak pelak, penyerangan di Keerom ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk
kemungkinan OPM ingin menunjukkan bahwa mereka masih eksis, walaupun mereka
tidak cukup mendapatkan dukungan dan simpati. Namun, masyarakat Papua sendiri
cenderung tidak melihat bahwa gerakan bersenjata sebagai solusi, apalagi aksi
mereka menggunakan senjata seperti di Keerom itu, juga melukai rakyat Papua
sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah Papua
semestinya melihat kasus penyerangan ini tidak lebih sebagai sisa separatis yang
hanya memanfaatkan situasi untuk menunjukkan eksistensi mereka. Masalah utama
justru terletak pada adanya kesempatan bagi kelompok ini tampil. Berbagai
kekerasan yang muncul belakangan ini di Papua, yang merupakan rangkaian dari
kekecewaan atas tidak dilaksanakannya otonomi khusus, memberi peluang kepada
OPM untuk muncul kembali.
Kekuatan kelompok ini memang tidak mudah diperkirakan, tetapi di kalangan
masyarakat Papua mereka menduga sangat kecil, bahkan senjata api yang mereka
miliki mungkin sudah kuno dan karatan. Namun demikian, kemunculannya tidak bisa
diabaikan. Berbagai masalah yang dibiarkan berlarut-larut, hubungan Jakarta-
Jayapura yang terus penuh kecurigaan dan apriori, serta keterbelakangan dan
kemiskinan yang melilit penduduk di Papua, adalah faktor yang akan menjadikan
Papua lahan subur untuk tumbuhnya separatisme.
Otonomi khusus (otsus) untuk Papua masih dipandang sebagai solusi, dan masih
cukup besar harapan rakyat Papua untuk bersama suku lain di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika solusi otsus ini makin nyata dalam
memperbaiki kehidupan rakyat Papua dan relasi mereka dalam keindonesiaan, maka
separatisme akan menjadi kata yang asing bagi mereka, dan OPM hanya ada dalam
catatan masa lalu.
Last modified: 12/4/06
|