SUARA PEMBARUAN DAILY, 11 April 2006
Tibo dan Kekeliruan Vonis Mati
Oleh Tjipta Lesmana
Fabianus Tibo - serta dua kawannya, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu saat ini
sedang menunggu "saat-saat terakhir" kehidupan mereka, setelah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyo menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Pengadilan
tingkat terakhir, yaitu Mahkamah Agung, telah memperkuat vonis mati yang
dijatuhkan pengadilan I dan II, karena mereka dinyatakan terbukti melakukan
kejahatan dalam kerusuhan rasial di Poso tahun 2000 yang menewaskan ratusan
orang.
Namun, setelah grasi ditolak Presiden, muncul aksi-aksi massal di berbagai kota,
mendesak Presiden membebaskan Tibo cs. Bahkan Paus Bennedictus pun
menghimbau Presiden Indonesia untuk memberikan pardon kepada Tibo cs, para
terpidana mati dianggap hanya korban rekayasa pihak-pihak tertentu.
Orang-orang dibalik kerusuhan Poso itu, para aktor intelektual, justru dinilai tidak
tersentuh hukum. Di mana rasa keadilan itu? Seorang pensiunan Hakim Agung kita
pernah "menguliahkan" penulis bahwa keadilan memang persoalan yang enak
dibicarakan, tapi tidak mudah diwujudkan.
Masalahnya, keadilan mempunyai "wajah" yang berbeda-beda. Ia membagi keadilan
dalam 5 kategori: keadilan menurut hakim, jaksa, pengacara, korban, dan
masyarakat. Belum lagi jika bicara tentang keadilan menurut Tuhan. Seorang koruptor
yang merugikan Negara Rp 50 miliar, misalnya, divonis penjara setahun, sementara
pencuri ayam diganjar 14 bulan. Adilkah? Gugat masyarakat.
Tapi, hakim berargumentasi bahwa putusan yang mereka jatuhkan terhadap koruptor
itu sudah pas, karena sesuai ketentuan hukum yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan. Mensitir pernyataan seorang Hakim Agung Amerika, kawan
saya itu berucap, the duty of a judge is to uphold law, not to administer justice.
Hakim bertugas menegakkan hukum, bukan melaksanakan keadilan. Hakim tidak
mau tahu apakah bukti yang diajukan di pengadilan palsu atau hasil rekayasa, atau
kesaksian seseorang palsu atau tidak.
Jika barang bukti atau kesaksian seseorang diyakini betul (misalnya ada
shabu-shabu di dalam tas seorang perempuan), jadilah ia landasan untuk putusan
hukum. Tapi, sejarah mencatat, betapa sering pengadilan menjatuhkan hukuman,
termasuk hukuman mati yang dikemudian hari diakui keliru. Kadang terpidana sudah
dieksekusi, tapi tidak jarang ia selamat dari el maut pada saat-saat terakhir
menjelang pelaksanaan eksekusi mati terdebut.
Kesaksian Palsu
Joseph Green Brown dijatuhkan pidana mati oleh pengadilan Florida pada 1974,
karena "terbukti" melakukan pembunuhan. Dalam menjatuhkan vonis, pengadilan
terutama mengandalkan kesaksian yang diberikan oleh Ronald Floyd, co-conspirator
yang mengaku mendengar langsung pengakuan Brown bahwa ia yang membunuh
koban. Tapi, di kemudian hari Floyd mengaku bahwa kesaksiannya palsu.
Ia sengaja memberikan keterangan palsu untuk menjebloskan kawannya, sekaligus
membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Kesaksian baru Floyd diberikan hanya 13
jam sebelum Brown menjalani eksekusi. Peradilan kasus Brown berlangsung 13
tahun lebih. Baru pada 1987 Brown dinyatakan tidak bersalah dan di- bebaskan.
Kasus lain, Larry Hicks, seorang penduduk Negara Bagian Indiana, pada 1978
dijatuhkan hukuman mati, juga karena kasus pembunuhan sadis. Dua minggu
sebelum eksekusi Hicks dilaksanakan, seorang pengacara volunteer yang rupanya
menaruh minat besar terhadap kasus ini meminta pengadilan untuk menunda
eksekusi, karena ia mengklaim menemukan novum.
Yayasan Playboy memberikan dukungan dana untuk penyelidikan kembali kasus
Hicks. Dalam proses retrial, terungkaplah alibi Hicks yang cukup sempurna,
sekaligus bukti bahwa keterangan saksi kunci dalam pengadilan sebelumnya ternyata
palsu.
Larry Hicks dibebaskan pada 1980. Apakah "fakta hukum" seputar kejahatan yang
dilakukan Tibo dkk sungguh sudah meyakinkan dan tak terbantahkan? Tibo dkk kini
membuka suara bahwa mereka hanya korban rekayasa. Kepada pihak kepolisian,
baru-baru ini mereka mengungkapkan 16 nama pelaku lapangan. Dalam persidangan
2001, Tibo mengaku sebenarnya sudah siap membuka identitas ke-16 orang itu, tapi
dilarang oleh kuasa hukumnya. Kenapa?
Apakah penasehat hukum mendapat ancaman serius dari kelompok tertentu?
Sebaliknya, jika "fakta hukum" tentang kejahatan Tibo dkk memang tak terbantahkan,
hukum harus dijalankan. Semua pihak harus mengakui bahwa hukuman mati masih
tercantum dalam KUHP.
Maka, hakim tidak salah jika menerapkan hukuman itu, karena hakim hanya bertugas
"menjalankan ketentuan perundangan-undangan". Itu berarti eksekusi mati Tbo dkk.
Tinggal persoalan waktu.
Memang capital punishment hingga kini tetap menjadi kontroversi. Semakin banyak
negara yang sudah menghapus hukuman maut ini. Para penentang vonis mati melihat
hukuman mati adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Hanya Tuhan yang
berhak mencabut nyawa manusia. Lagipula, hukuman mati terbukti tidak mampu
menimbulkan rasa jera pada kriminal. Hukuman mati malah bisa menimbulkan rasa
dendam dari pihak terhukum.
Di kubu lain, motto "pro vita hominis nisi hominis vita reddatur" (nyawa harus dibayar
dengan nyawa) yang diucapkan Kaisar Julius Ceasar 2000 tahun yang lalu masih
memikat banyak ahli hukum di seantero dunia hingga kini.
Amerika termasuk salah satu negara besar yang setiap tahun - sampai sekarang -
masih terus mengeksekusi warganya yang terbukti melakukan kejahatan sadis,
walaupun banyak sekali vonis mati yang kemudian diakui keliru! Menurut catatan
resmi, dari 1973 sampai 1998, rata-rata 2,96 kasus acquitted (yang terkait dengan
vonis mati) di Amerika. Total kasus acquitted sampai Februari 2006 berjumlah123.
Cukup besar.
Nah, fakta di atas, fakta tentang banyaknya kasus kekeliruan hakim Amerika
mengganjar hukuman mati kepada terdakwa seyogianya menggugah pihak-pihak
terkait dalam kasus Tibo dkk untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh
imbauan dan desakan banyak kalangan untuk suatu retrial yang lebih terbuka, dan
lebih fair.
Jangan lupa, nuansa politis kasus-kasus Poso dari awal sampai hari ini amat kental.
Kalau sudah bicara "politis", segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk
kemungkinan subordinasi hukum atas kepentingan politik!
Penulis adalah Pengajar Universitas Pelita Harapan
Last modified: 11/4/06
|