The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 15 April 2006

Catatan DEN HAAG

Asal Mula Masalah Papua

Sabam Siagian

Sulit dibayangkan, betapa dari ibu kota ini, Kerajaan Belanda pernah mengatur dan menguasai jajahannya, paling sedikit sepuluh kali lebih luas dari wilayah Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia.

Justru, karena keengganannya untuk melepaskan seluruh Hindia Belanda sebagai jajahannya menjelang akhir 1949, meskipun Den Haag tidak sanggup lagi menghadapi tekanan-tekanan politik militer, maka timbullah konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Belanda tentang status wilayah yang disebut Irian Barat. Dan, asal mula konflik itu lahir di ibu kota ini.

Sekilas sejarah diplomatik ini, saya sampaikan kepada sejumlah diplomat muda Indonesia yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri ke pusat masalah internasional Klingendaal, di luar Den Haag, untuk dibekali penambahan pengetahuan dan peluasan wawasan mereka selama tiga bulan.

Saudara Mulya Wirana yang bertugas sebagai Kuasa Usaha ad interim pada Kamis malam, 6 April lalu, menyelenggarakan pertemuan dengan para diplomat Indonesia tersebut. Mereka telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Luar Negeri. Delapan belas orang sebagai pilihan unggul mendapat kesempatan mengikuti program khusus di Klingendaal. Wajah-wajah mereka serba cerdas kelihatannya. Saya tekankan betapa pentingnya mempelajari sejarah diplomatik RI.

"Tahukah Anda, bahwa apa yang dikenal sebagai masalah Irian (Papua) berasal mula di ibu kota Den Haag ini?" Mereka kelihatannya ingin tahu.

Setelah Belanda melancarkan serangan umum terhadap RI pada bulan Desember 1948 yang hanya menguasai wilayah "selebar daun lontar" (istilah Jenderal Sudirman, panglima besar TNI), ia berhasil menduduki ibu kota perjuangan Yogyakarta dan menangkap pimpinan republik, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh Hatta serta sejumlah anggota kabinet.

Namun Jenderal Sudirman, meskipun baru mengalami operasi paru-paru, dan para perwira lainnya masih sempat meninggalkan Yogyakarta. Maka, dilancarkanlah suatu perang rakyat terhadap kekuatan militer Belanda yang modern itu.

Serangan Belanda itu, juga telah mencetuskan reaksi sengit di kalangan internasional. Dewan Keamanan PBB bersidang di Paris dan mengutuk tindakan Belanda yang dianggap telah melanggar norma hukum internasional karena perundingan antara RI dan Belanda masih berlangsung.

Serangan Belanda itu, juga telah merubah pandangan para pemimpin negara-negara federal yang sementara itu telah didirikan Belanda di wilayah yang berhasil diduduki secara militer. Para tokoh-tokoh yang biasanya dianggap sebagai antek-antek Belanda, mulai bersikap lebih simpatik pada perjuangan para pemimpin RI.

Kombinasi tekanan-tekanan inilah: perjuangan gerilya TNI bersama rakyat, perubahan sikap tokoh- tokoh Indonesia yang disponsori Belanda di daerah pendudukannya, dan desakan Dewan Keamanan PBB dengan dorongan India dan Australia, telah memaksa Belanda untuk mengakui kegagalan jalan militer yang ditempuhnya.

Den Haag menugaskan seorang diplomat ulung Dr J H Van Royen untuk membuka perundingan dengan pimpinan RI yang resminya adalah tawanan politik mereka di Pulau Bangka. Belanda menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Indonesia Merdeka dengan beberapa persyaratan. Yogyakarta sebagai ibu kota RI dan kesultanan Yogyakarta sebagai wilayah RI dipulihkan.

Langkah berikut adalah menempa suatu kesepakatan menyeluruh untuk mengatur berakhirnya kolonialisme Belanda dan berkuasanya Indonesia Merdeka. Suatu perundingan perdamaian digelar yang dikenal sebagai Konperensi Meja Bundar. Itu berlangsung di Den Haag dari pertengahan Agustus sampai awal November 1949.

Tiga delegasi berpartisipasi: delegasi Kerajaan Belanda dan dua delegasi dari Indonesia. Yang satu adalah delegasi RI dipimpin oleh Moh Hatta dan, yang satu lagi, delegasi negara-negara federal yang awalnya didirikan Belanda tapi sudah berpihak pada RI. Dalam delegasi RI duduk seorang wakil TNI Kol TB Simatupang yang membawa tim sendiri (Letkol Daan Yahya, Mayor Haryono, Mayor Sasraprawira, Kol Laut Subyakto, dan kemudian, Komodor AURI Suryadarma).

Des Alwi pernah cerita betapa kota Den Haag ramai dengan tokoh- tokoh delegasi dari Indonesia bersama anggota sekretariat dan para wartawan Indonesia, al Rosihan Anwar. Des Alwi pada waktu itu mahasiswa di London dan datang untuk menjumpai "Oom" Hatta. Ia secara bercanda menyebut tim TNI yang dipimpin Kol TB Simatupang sebagai tentara pendudukan RI di Den Haag.

Berminggu-minggu lamanya perundingan KMB berlangsung. Melalui diplomasi, Belanda ingin meredusir kekalahannya (yakni, meninggalkan jajahannya) dan mengamankan kepentingannya.

Di bidang finansial-ekonomi, delegasi-delegasi Indonesia mengalah. Sebagian besar hutang-hutang Belanda diwarisi oleh Republik Indonesia Serikat, suatu tatanan kenegaraan yang merupakan syarat Belanda. Juga investasi Belanda dijamin dengan kebebasan mentransfer keuntungannya. Di bidang militer, setelah perundingan yang alot, Belanda mengakui bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Dan tentara Hindia Belanda (KNIL) dibubarkan, enam bulan setelah upacara pengalihan kedaulatan pada akhir Desember 1949. Tapi ada satu masalah yang hampir menyebabkan kegagalan KMB. Sampai akhir konperensi yang telah ditetapkan oleh Bung Hatta harus berakhir pada awal November 1949, Belanda ngotot bahwa pengalihan kedaulatan atas wilayah Hindia-Belanda tidak berlaku untuk "residensi Nieuw Guinea" (Irian Barat, Irian Jaya kemudian Papua).

Pada saat-saat terakhir yang serba tegang menjelang 2 November 1949, Komisi PBB yang ikut hadir menyampaikan usul kompromi; "Wilayah itu tetap dibawah administrasi Belanda tapi selama setahun melalui perundingan akan dicarikan jalan keluar tentang status masa depannya."

Yang paling gigih menolak kompromi dalam bentuk apapun sebenarnya adalah Anak Agung Gde Agung, tokoh delegasi negara-negara federal.

Bung Hatta sebagai pemimpin delegasi RI menghadapi dilema. Menolak usul kompromi Komisi PBB berarti pulang ke Yogya dengan tangan hampa. Menerimanya, dapat menimbulkan keretakan di dalam negeri karena Presiden Sukarno telah menyatakan kepada Dr Van Royen yang berkunjung ke Yogyakarta untuk pamit bahwa dia adalah "seorang fanatikus" untuk mempertahankan wilayah paling timur itu.

Akhirnya dengan hati berat Bung Hatta menerima usul kompromi Komisi PBB itu. Kol Simatupang menyampaikan di rapat delegasi, kalau setelah setahun tidak dicapai penyelesaian, maka akan timbul konflik antara dua negara berdaulat. Dan Indonesia sebagai negara berdaulat, kalau terpaksa, akan menerapkan TNI sebagai kekuatan militer yang telah diakui. Pada akhirnya "Irian Barat" sebagai masalah antar negara baru diselesaikan setelah 12 tahun, bukan setahun seperti disepakati oleh Konferensi Meja Bundar.

Ada beberapa catatan yang dapat disimpulkan tentang masalah Irian Barat yang mungkin ada relevansinya untuk memahami kompleksitas situasi Papua sekarang.

Pertama, jangan biarkan sebuah konflik diplomatik ngambang dengan perumusan kesepakatan yang tidak konkrit implementasinya. Pasal 2 dari Protokol Penyerahan Kedaulatan yang mengatakan bahwa status "residensi Niew Guinea" akan ditentukan melalui perundingan selama setahun terlalu fleksibel yang membuka peluang bagi Belanda untuk tetap bertahan di Irian Barat.

Kedua, selama 12 tahun beberapa variasi dinamika politik telah berlangsung yang dampaknya mungkin terasa sampai sekarang. Selama 12 tahun telah berlangsung radikalisasi dalam dinamika politik Indonesia. Presiden Soekarno berhasil mengkonsentrasikan kekuasaan pada dirinya melalui Demokrasi Terpimpin. Dan dalam periode ini PKI muncul sebagai kekuatan politik yang menonjol. Sedangkan di Irian Barat, Belanda kecuali mendorong pembangunan infrastruktur dan pendidikan, bereksperimen dengan model negara merdeka. Satu generasi angkatan muda Papua pernah berkenalan dengan propaganda politik Belanda ini.

Ketiga, berbagai pendekatan Indonesia di PBB pada pihak Belanda untuk mencari penyelesaian akhirnya gagal maka diputuskanlah untuk menempuh jalan militer. Dan persiapan ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI) dilakukan secara besar-besaran. Kalau sampai berlangsung, maka Operasi Mandala merupakan ekspedisi gabungan militer yang terbesar dalam sejarah RI. Namun pada saat terakhir Operasi Mandala dibatalkan, karena pada 15 Agustus 1962 telah tercapai suatu paket persetujuan dengan pihak Belanda di gedung PBB di New York. Agaknya dapat diduga bahwa suatu mentalitas tentara pendudukan sulit dihindarkan, ketika Irian Jaya kembali dibawah naungan kedaulatan RI.

Mentalitas "tentara pendudukan " mungkin tanpa disadari melekat pada sementara pejabat-pejabat yang kemudian ditugaskan dari Jakarta.

Mungkin juga Presiden Soeharto sendiri sebagai mantan Panglima Operasi Merdeka cenderung menangani propinsi Irian Jaya dari sudut pandang seorang panglima sebuah tentara pendudukan.

Karena itu, amatlah penting bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua (UU No 21 Tahun 2003) dilaksanakan secara utuh dan tulus. Justru karena produk hukum itu ikut dipersiapkan oleh para intelektual Papua yang bertekad supaya masyarakat Papua tetap menjadi bagian dari nasion Indonesia, maka pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla patut mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

Penulis adalah pengamat masalah sosial politik di Indonesia dan perkembangan internasional


Last modified: 15/4/06
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/lokkie2005
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044