SUARA PEMBARUAN DAILY, 21 Maret 2006
Kalla Janji Jamin Hak-hak Dasar Rakyat Bali
NUSA DUA - Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden Muhammad Jusuf
Kalla menjamin akan melindungi hak-hak dasar rakyat Bali dalam Undang-Undang
(UU) Antipornografi dan Pornoaksi. Karena itu, Partai Golkar akan mendengar
penolakan rakyat Bali terhadap RUU tersebut.
"Partai Golkar otomatis mendengar penolakan Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi. Jangan khawatir," ujar Kalla saat bertatap muka dengan
para pengusaha pariwisata di Nusa Dua, Bali, Senin (20/3).
Seperti diketahui rakyat Bali menolak RUU ini dan sudah dituangkan dalam
keputusan gubernur setempat. Pasalnya RUU tersebut bisa mematikan dunia
pariwisata yang menjadi tulang punggung penggerak roda perekonomian Bali.
Dikhawatirkan dengan UU itu nanti, banyak turis dari manca negara yang tidak mau
lagi ke Bali.
Kalla menjelaskan, Indonesia memang membutuhkan sebuah UU untuk melindungi
moral dan akhlak generasi muda Indonesia. Namun, UU tersebut harus dirumuskan
secara baik sehingga tidak multi tafsir. Perumusan RUU itu secara baik itu juga
bertujuan untuk tetap melindungi pariwisata di Bali.
Terkait dengan itu dia menceritakan bahwa dia sudah bertanya kepada sejumlah kiai
tentang definisi pornografi dan pornoaksi. Namun para kiai yang ditanyainya itu pun
tidak mampu memberi definisi yang jelas dan tegas tentang apa itu pornografi dan
pornoaksi. "Apakah porno aksi itu, maaf, bila sebagian buah dadanya kelihatan. Jadi
paha bisa dong," ujar Kalla disambut tawa hadirin.
Di hadapan para pengusaha itu Kalla menegaskan, sebagai Ketua Umum Partai
Golkar dia akan memperjuangkan hak-hak dasar orang Bali dalam perumusan RUU
tersebut. Dia meminta masyarakat Bali untuk tidak khawatir.
Secara terpisah anggota Pansus RUU Antipornografi dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Eva Sundari dan Sekjen Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia, Sebastian Salang mengatakan, RUU ini siluman dan tidak
pernah masuk prioritas DPR untuk dibahas. UU tersebut akhirnya masuk menjadi
agenda program legislasi nasional karena dipaksakan dengan rasionalisasi bahwa
RUU tersebut bukan saja prioritas DPR tapi juga rakyat dan bangsa Indonesia.
Menurut Eva, RUU tersebut disebut siluman karena dipaksakan masuk lewat Komisi
VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus kemudian
menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke sidang paripurna DPR. Paripurna
kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk
membahasnya. "Prosedurnya sangat ruwet dan semuanya by desain," kata Eva.
Senada dengan Eva, Sebastian menandaskan, RUU ini memang siluman dan tidak
pernah masuk dalam prolegnas. RUU tersebut bukan prioritas DPR tahun 2006,
sehingga ini disebut siluman.
Selama lima tahun ke depan, tidak ada kerangka yang jelas terkait produk UU yang
mau dihasilkan. Akibatnya, dalam waktu itu akan muncul lebih banyak UU siluman
yang justru menimbulkan kontroversi di masyarakat dan bertolak belakangan dengan
agenda-agenda prioritas.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Achmad Baskara mengatakan, alumni GMNI menilai, RUU ini dan
banyak Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan selama ini tidak merujuk pada
Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945. "Kami melihat, banyak praktek legislasi dan
ketatanegaraan mengarah ke disintegrasi ideologi yang ditandai dengan tidak
digunakannya lagi Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi,"
katanya.
Di tempat terpisah, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi asal FPDI-P
menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale
karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa
yang membuat masyarakat bingung. (A-21/L-8/ADI/E-5)
Last modified: 21/3/06
|