SUARA PEMBARUAN DAILY, 24 April 2006
Berdalih Langgar Perber Warga Tutup Tiga Gereja
[JAKARTA] Tiga tempat ibadah di Citereup dan Gunung Putri, Bogor ditutup warga
karena dinilai melanggar Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama hasil revisi Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang pendirian
tempat ibadah. Penutupan tempat ibadah tersebut sangat disesalkan karena Perber
yang seharusnya dapat lebih menciptakan kerukunan umat beragama terbukti justru
kembali menimbulkan keresahan.
Tiga tempat ibadah yang ditutup yaitu Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Gunung Putri, Gereja Bethel Indonesia (GBI) Citereup dan Gereja Baptis Gunung
Putri.
"Pemerintah semestinya melindungi warga bangsa yang melakukan ibadah.
Peraturan Bersama itu tidak boleh menjadi instrumen untuk melakukan tempat
ibadah," ujar Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI),
Weinata Sairin kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (24/4).
Menurut Weinata, jika kasus penutupan gereja dan tempat ibadah terus berlan-jut dan
sekelompok orang yang melakukan penutupan menggunakan alasan melanggar
Perber, bisa dipastikan akan segera terjadi konflik horisontal di tengah masyarakat.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus segara bertindak cepat sebelum hal itu
terjadi.
Hal senada diungkap oleh Sekjen Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu yang prihatin
dengan peristiwa penutupan tempat ibadah dengan alasan Perber. "Kami sangat
prihatin dan menyesalkan kasus penutupan gereja di Gunung Putri, karena saat ini
justru pemerintah tengah melakukan sosialisasi bahwa Perber merupakan produk
yang oleh pemerintah diakui lebih baik dari SKB. Saya masih meminta teman-teman
di Bogor mencari informasi selengkapnya mengapa terjadi penutupan," ujarnya.
Sementara itu, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Rumadi
menegaskan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius soal regulasi
tempat ibadah. Pertama, menyangkut paradigma regulasi. Regulasi tidak boleh
sekadar mengatur, tetapi harus punya semangat untuk melindungi semua pemeluk
agama. Salah satu bentuk perlindungan itu adalah pemberian hak kepada pemeluk
agama untuk mendirikan tempat ibadah.
Kedua, perlu ada definisi yang jelas tentang "tempat ibadah" yang membawa
konsekuensi perlu izin atau tidak. Hal itu penting karena tiap-tiap pemeluk
mempunyai ukuran sendiri mengenai tempat ibadah. Ada tempat ibadah yang formal
dan resmi seperti masjid, gereja, vihara, dan sebagainya.
Ada tempat ibadah yang tidak formal dan tidak tetap, seperti rumah yang dipakai
untuk kebaktian dan aktivitas keagamaan lainnya (Kristen) atau rumah yang dijadikan
tempat pengajian rutin dengan mengumpulkan massa (Islam).
Hal demikian sering menimbulkan kesalahpahaman di antara pemeluk agama,
sehingga perlu dilihat secara jernih. Tempat ibadah jenis pertama memang perlu izin
secara khusus, namun tempat ibadah jenis kedua, menurut saya, tidak perlu izin.
Ketiga, pemerintah harus secara konsekuen menerapkan aturan pendirian tempat
ibadah yang tetap dan formal untuk semua pemeluk agama. Hal itu penting karena
selama ini muncul kecurigaan, kalangan mayoritas bebas mendirikan tempat ibadah,
sementara kalangan minoritas cenderung dipersulit dengan berbagai alasan. Bahkan,
kalangan mayoritas bisa "mengontrol" tempat ibadah kalangan minoritas. Sikap
konsekuen ini penting untuk menghindari otoritarianisme satu agama atas agama
yang lain. [E-5]
Last modified: 24/4/06
|