SUARA PEMBARUAN DAILY, 25 Januari 2006
Rumah Ibadah dalam Negara Pancasila
Josef P Widyatmadja
AWAL tahun 2006, Pemda Kabupaten Bandung melakukan penutupan delapan rumah
ibadah di Rancaekek. Menurut Pemda Kabupaten Bandung, delapan gereja itu telah
melanggar Perda No 24/2000, karena telah mengalihkan fungsi rumah menjadi gereja.
Selanjutnya, sebuah media tanggal 6 Januari 2006 melaporkan, dalam surat edaran
itu pun disebutkan bila dalam radius lima kilometer tidak dibenarkan ada tempat
ibadat agama yang berbeda. Kedelapan gereja ilegal itu terletak di dekat masjid di
Perumahan Bumi Rancaekek Kencana .
Terlalu ironis bila dalam radius 5 km hanya dibolehkan satu rumah ibadah dari satu
golongan. Kalau peraturan ini dilaksanakan secara serentak di Tanah Air, berapa
jumlah rumah ibadah yang harus dihancurkan dan ditutup? Di beberapa tempat di
Tanah Air, misalnya di Surakarta, gedung Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan
berdampingan dengan sebuah mesjid.
Di Kota Baru Yogyakarta, letak mesjid, gedung gereja HKBP, dan Katolik kurang dari
dua kilometer. Apakah ini pertanda Pemda Kabupaten Bandung lebih Pancasilais dari
pada Pemda Surakarta dan Yogyakarta? Menutup rumah ibadah hanya karena
masalah izin bangunan tanpa mencari jalan keluarnya sama dengan melarang orang
untuk menjalankan ibadah menurut kepercayaan mereka.
Kalau kurang dari 1-2 kilometer dua rumah ibadah tak bisa dibangun oleh umat yang
berbeda, hal itu menunjukkan tidak adanya kerukunan antarumat beragama di
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tindakan Pemda Kabupaten Bandung akan
mengganggu kerukunan antarumat agama dan tidak sesuai dengan semangat UDD
1945 dan Pancasila.
Toleransi antaragama dan pengamalan Pancasila yang harus di tunjukkan oleh
pemda dan masyarakat setempat justru harus dinampakkan bilamana dalam satu
daerah kurang dari radius tiga kilometer ada rumah ibadah yang berbeda berdiri.
Membuat peraturan radius lima kilometer hanya satu rumah ibadah untuk satu
golongan, sama dengan membuat tembok pemisah di antara kelompok agama
berbeda.
Merupakan tanggung jawab pemda untuk melindungi atau menyediakan, betapa
sedikitpun jumlah pengikut suatu kelompok agama, agar mereka dapat menjalankan
ibadahnya dengan damai dan bebas dari ketakutan.
Jangan Risau
Rumah ibadah, baik pura, masjid dan gereja, pada umumnya merupakan rumah,
tempat para pengikut suatu agama berkumpul untuk melaksanakan panggilannya.
Rumah ibadah merupakan tempat orang beriman untuk berdoa dan memuliakan Allah,
mendengarkan pengajaran untuk dilakukan, mewartakan suara kenabian/teguran pada
umat, mengucap syukur dengan cara memberikan pertolongan pada yang lapar dan
melindungi orang yang dalam kesusahan.
Rumah ibadah harus di liputi dengan semangat belas kasih dan kesucian hati. Rumah
ibadah bukan tempat untuk melontarkan kebencian pada golongan lain dan sumber
melakukan kekerasan. Rumah ibadah juga bukan sekadar tempat untuk
mengumpulkan derma/persembahan tanpa dilanjuti dengan pelayanan pada orang
terkapar.
Banyak rumah ibadah bukan lagi merupakan tempat pengayoman bagi mereka yang
diperlakukan tidak adil. Membangun rumah ibadah bukan jaminan untuk bisa
membangun moral pengikut agama. Tak jarang rumah ibadah menjadi sarang
penyamun, di mana keselamatan surgawi diperdagangkan.
Banyak pengikut agama menyalahartikan fungsi dan makna pembangunan rumah
ibadah. Gereja Katolik pernah di kritik karena menjual surat pengampunan dosa demi
membiayai pembangunan gedung gereja. Praktik menjajakan surga saat ini juga
terjadi dalam praktik keagamaan di tengah rumah ibadah dan masyarakat.
Seruan pokok dari para nabi/pendiri agama bukan memerintahkan para pengikutnya
untuk membangun lebih banyak rumah ibadah dan menjajakan surga. Para nabi dan
rasul sering mengkritik fungsi dan praktik rumah ibadah yang telah menyeleweng dari
tujuan.
Ibadah yang benar bukan sekadar di tunjukkan dengan makin seringnya manusia
mendatangi rumah ibadah. Ibadah yang benar yaitu melepaskan belenggu kelaliman,
membalut yang luka, memberikan makan pada orang yang lapar, membela yang
menjadi korban ketidakadilan.
Pengikut agama yang rumah ibadahnya saat ini di tutup, tidak perlu sakit hati karena
penutupan rumah ibadah mereka, karena kehadiran Allah tidak bisa dibatasi oleh
tembok rumah ibadah yang sudah ditutup. Ibadah kepada Allah bisa di tunjukkan
dengan cara lain dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan cara baru beribadah di
tengah represi penutupan rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, penutupan dan represi rumah ibadah dan kepercayaan oleh
penguasa akan menjadi bibit yang subur untuk menumbuhkan iman dan ibadah yang
sejati. Semua agama mengajarkan cinta kasih, iman, dan pengharapan di tengah
represi penguasa. Agama justru mengalami krisis iman dan moral ketika pihak
penguasa memanjakan dan menjinakkan umat dengan berbagai bantuannya.
Umat beriman memang tak bersedih karena penutupan rumah ibadah. Tapi yang lebih
menyedihkan yaitu sebagai bangsa kita menyaksikan praktik penjabat negara yang
mengaku berke-Tuhanan masih melakukan penutupan rumah ibadah dengan alasan
yang tak masuk akal.
Allah tidak marah dan maklum kalau pengikutnya tidak bisa beribadah lagi karena
rumah ibadah mereka ditutup. Allah justru sedih dan marah bilamana menyaksikan
pengikutnya sering beribadah tapi dalam kehidupan sehari hari sering bersekongkol
dengan penguasa untuk merampok orang miskin, yatim piatu, dan janda dengan
berbagai cara.
Suatu Pengalaman
Tiga puluh tahun lalu ketika lembaga penulis membina kader desa di sekitar
Surakarta, sebagian besar peserta memiliki agama yang berbeda dengan penulis.
Pembinaan kesehatan dan hukum dilakukan dari pagi hingga sore sehingga melewati
jam ibadah.
Kantor penulis menyediakan peralatan ibadah dan ruang kantor untuk mereka yang
ingin melakukan kewajiban ibadahnya. Setelah berlangsung beberapa bulan ada
peserta yang berkomentar, "Mengapa kantor bapak menghargai orang yang berbeda
agama lain untuk melakukan kewajiban ibadahnya di kantor? Selama ini kami keliru
karena sering menghasut penduduk desa untuk menolak pendirian rumah ibadah
kelompok agama lain di tempat kami. Mulai sekarang kami tak akan melakukannya
lagi karena bertentangan dengan ajaran agama."
Penulis hanya berujar, "Makin orang beriman dan ber taqwa kepada Allah maka
makin orang itu menghargai orang lain untuk bebas beribadah dengan kepercayaan
mereka." Cara ibadah, kepercayaan, dan pengalaman beragama tidak bisa
diseragamkan dengan cara propaganda atau represi agama.
Makin seseorang dekat dengan Allah maka makin ia dekat dengan semua manusia,
terutama kepada mereka yang diperlakukan tak adil. Hanya dengan mendekatkan diri
dengan semua orang maka seseorang akan makin dekat dengan Allah. Cahaya dan
buah iman sejati seseorang akan nampak dalam kehidupan dan karya seseorang
bukan dari ucapan kosong dan kebencian.
Di tengah era globalisasi, semua pengikut agama dipanggil untuk menghormati
kepercayaan agama pihak lain dan memberikan kesempatan semua pihak untuk
melakukan ibadahnya dengan rasa aman. Rupanya hal itu yang gagal dilakukan oleh
Pemda Kabupaten Bandung. *
Last modified: 25/1/06
|