SUARA PEMBARUAN DAILY, 25 Januari 2006
Jaminan Kebebasan Beragama di UUD 1945 Tidak Dijalankan
JAKARTA - Kendati UUD 1945 menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga
negara Indonesia sebagaimana dirumuskan di Pasal 29, namun dalam prakteknya
tidak selalu mulus dan tidak dijalankan secara tepat. Ada kesenjangan antara yang
normatif dan praksis.
Demikian dikatakan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dr
AA Yewangoe ketika membuka Musyawarah Majelis Lengkap PGI di Pekanbaru,
Selasa (24/1).
Dalam tahun 2005, tambahnya, disaksikan berbagai peristiwa yang nyata-nyata
melecehkan prinsip kebebasan beragama, seperti ditutupnya kompleks Akhmadiyah
di Parung penutupan gedung-gedung gereja/ibadah Kristen di beberapa tempat di
Jawa Barat dan Banten, penangkapan kelompok Salamullah pimpinan Lia-Aminuddin
di Jakarta.
Bahkan ketika Pengantar Ketua Umum ini sedang dipersiapkan (tanggal 15 Januari
2006) 12 gedung gereja sedang ditutup di Rancaekek, Jawa Barat, sementara
delapan gereja masih tetap menyelenggarakan kebaktian, kendati tetap diancam
untuk ditutup, katanya.
"Alasannya sangat klasik, yaitu gedung-gedung ibadah tidak memenuhi tuntutan
sebagaimana diatur dalam SKB Nomor 01/Ber/Mdn-Mag/1969 yang kontroversial.
Kami berpendapat, kalau tindakan sewenang-wenang ini tetap dilakukan, bukan saja
kewibawaan Negara dipertaruhkan, tetapi keutuhan kita sebagai bangsa terancam.
Kerukunan yang merupakan pilar utama bersatunya bangsa akan rapuh bila
terus-menerus dihantam gelombang masalah diskriminasi dan arogansi," tandasnya.
Sekarang, draft "Peraturan Bersama Menteri" (Agama dan Dalam Negeri) sedang
dibahas. "Para negosiator kita menginformasikan, pembahasannya cukup alot.
Berbagai segi kita perhatikan agar tidak menjebak kita sendiri di dalam lingkaran
yang tidak habis-habisnya. Tentu saja akan lebih baik bila kita secara tegas
menyatakan ketidaksetujuan kita terhadap berbagai aturan yang mengatur agama,"
ujarnya.
Dikatakan, bukankah kebebasan beragama telah diatur secara konstitusional?
Namun demikian, PGI berpendapat adalah lebih baik ikut serta dalam pembahasan
draft itu karena PGI percaya bahwa melalui diskusi, pemikiran PGI dapat
dikomunikasikan untuk selanjutnya diakomodasikan di dalam draft tersebut.
"Pengalaman mengajarkan kepada kita, entah kita setuju atau tidak setuju, ikut serta
atau tidak ikut serta, bila suatu peraturan telah ditetapkan, maka ia tetap
dilaksanakan," katanya.
Dikatakan, menuntut hal-hal yang jauh lebih baik dan ideal tentu saja merupakan hak.
Tetapi disadari bahwa PGI berada di dalam sebuah masyarakat majemuk yang
membutuhkan aturan-aturan. Hanya saja aturan yang dibuat mestinya memberikan
keluasan dan kelapangan bagi setiap warga negara untuk mengekspresikan
kewargaannya secara bebas dan bertanggung jawab.
Prinsip PGI
PGI berprinsip, kebebasan beribadah (jadi bukan hanya kebebasan beragama) setiap
warga negara mesti dijamin seluas-luasnya dan aturan ini mesti mendukung
kerukunan hidup umat beragama yang bersifat dinamis. Prinsip-prinsip itu mesti
terungkap di dalam pasal-pasal "Peraturan Bersama" itu.
"Kalau pasal-pasal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dikemukakan, maka
kita terpaksa menyatakan tidak ikut bertanggungjawab di dalam pelaksanaannya."
tandasnya.
Kebebasan beragama adalah salah satu kebebasan paling dasar bagi seseorang.
Dengan demikian, kebebasan itu tidak diberikan oleh siapa pun, termasuk negara.
Kebebasan yang dimaksud mencakup kebebasan mengungkapkannya di muka
umum. Tercakup juga di dalamnya kebebasan menafsirkan ayat-ayat kitab suci dan
mempunyai persepsi terhadap yang dipercayai itu.
Menjadi agak aneh bila orang ditangkap karena mempunyai keyakinan yang
berlainan. Ini adalah tindakan yang secara mudah mengkriminalisasikan iman
seseorang. "Kita menolak cara berpikir dan bertindak seperti itu. Kita mesti
menegakkan prinsip. Tidak boleh suatu instansi manapun mencampuri apa yang
dipercayai oleh penganut agama-agama," katanya. (E-5)
Last modified: 25/1/06
|