SUARA PEMBARUAN DAILY, 25 Maret 2006
Hubungan RI-Australia, Kenapa Jadi Gawat Begini?
Sabam Siagian
SETELAH bertahun-tahun tenang-tenang saja, malahan sejak Jenderal Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi presiden kelihatannya bertambah akrab, tiba-tiba
hubungan antara Indonesia dan Australia menjadi gawat. Duta Besar RI untuk
Australia, Hamzah Thayeb, yang berkedudukan di Canberra, dan baru beberapa bulan
memangku jabatannya, telah diinstruksikan untuk segera pulang karena perlu
berkonsultasi. Dalam tata protokol diplomatik, itu b! erarti ada yang tidak beres antara
dua negara yang bersangkutan.
Apakah yang memicu sehingga pemerintah RI dalam pernyataannya melalui
Departemen Luar Negeri menandaskan bahwa ia "terkejut, kecewa dan amat
mengecam" keputusan Australia yang diumumkan Kamis lalu. Kata-kata itu dalam
bahasa Inggrisnya "surprised, disappointed and deeply deploring" merupakan
istilah-istilah yang keras dalam bahasa diplomatik.
Ceritanya mulai terjadi bulan Januari lalu. Sejumlah 43 warga Indonesia dari Papua
melintasi laut dan mendarat di suatu lokasi di Australia Utara. Mereka minta suaka
dan perlindungan dari pemerintah Australia. Menurut mereka, karena mereka merasa
terancam oleh praktik-praktik "genocide" (pembunuhan masal) yang terjadi di Papua.
Pemerintah Indonesia membantah bahwa terjadi pembunuhan masal seperti
dituduhkan itu. Kemudian diajukan permintaan supaya pemerintah Australia
memulangkan mereka dan keamanan mereka dijamin.
Canberra menjawab bahwa setiap permintaan suaka akan diproses menurut prosedur
yang berlaku yang merupakan wewenang Departemen Imigrasi. Di atas permukaan,
hubungan bilateral tetap tenang-tenang saja malahan kegiatan di beberapa bidang,
seperti perdagangan dan kerja sama pendidikan, justru meningkat. Kemudian
keluarlah keputusan Kamis lalu itu.
Menteri Imigrasi Ananda Vansatone mengungkapkan, departemennya telah
memberikan "visa perlindungan" selama tiga tahun untuk 42 orang dari 43 orang yang
mendarat bulan Januari lalu. Yang satu rupanya telah mendapat visa dari negara lain.
Patut dicatat ucapan Menteri Luar Negeri Alexander Downer sebelum keputusan
rekannya, menteri imigrasi, diumumkan. Menurut Downer, sudah pasti akan ada
protes dari pihak Indonesia tapi hubungan bilateral Australia-Indonesia akan tetap
mantap.
Ia sendiri telah menghubungi rekannya, Menlu Hassan Wirajuda. Downer tandaskan,
Australia tetap menghormati Negara Kesatuan RI dan tetap mengakui "West Papua"
(maksudnya, provinsi Papua) sebagai bagian dari Republik Indonesia. Ia berusaha
meyakinkan bahwa keputusan tentang permintaan suaka, menjalani proses hukum
tersendiri yang berlangsung di luar bidang pemerintahan Australia sebagai badan
eksekutif.
MUNGKIN karena keputusan menerima permintaan suaka para warga Indonesia asal
Papua itu terjadi ketika masyarakat Indonesia sedang berada dalam kondisi
psikologis yang serba resah oleh berbagai isu, maka dampaknya nyaring sekali.
Kamis malam saya diundang oleh Radio Elshinta dalam suatu acara interaksi dengan
para pendengarnya tentang keputusan pemerintah Australia itu. Tiga dari tujuh para
pendengar itu dengan suara emosional menyatakan, lebih baik hubungan dengan
Australia diputuskan saja.
Usul radikal demikian juga diajukan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat hari Jumat. Ketua Fraksi PDI-Perjuangan Tjahjo Kumolo menganggap sikap
Australia dengan keputusan tersebut sebagai "tidak bersahabat". Ia mendesak
supaya pemerintah RI bersikap tegas, antara lain, kecuali memanggil pulang dubes RI
di Australia, juga menyuruh pulang dubes Australia di Jakarta, Bill Farmer, yang baru
tiba dua bulan lalu.
KEHEBOHAN yang dicetuskan oleh keputusan Pemerintah Australia menerima
permintaan suaka sejumlah warga Indonesia asal Papua mendorong kita untuk
merenungkan sejenak, apakah sebenarnya makna hubungan bilateral RI-Australia.
Agaknya jarang ada sepasang negara tetangga di dunia ini yang begitu kontras,
seperti Indonesia dan Australia.
Indonesia adalah negara bukan-Barat dengan jumlah penduduk jajaran nomor empat
di dunia yang berjumlah sekitar 230 juta. Wilayah RI sebagai negara kepulauan amat
unik dan terbentang melebihi luas benua Eropa. Australia, karena perkembangan
sejarah yang amat menarik, adalah negara Barat modern yang terletak di bagian
Selatan dunia.!
Jumlah penduduknya tidak melebihi 20 juta, mayoritas dari ras yang disebut
Kaukasoid atau secara populernya "bule". Pendapatan per kapita termasuk yang
paling tinggi di dunia, US$ 21.000 ribu!
Tantangan besar yang dihadapi negara berkembang bukan-Barat, seperti Indonesia,
dalam mengejar keterbelakangannya dengan usaha modernisasi secepatnya adalah
merangkul sains & teknologi, meningkatkan daya saing organisasi dan manajemen,
dan mengusahakan akses ke sumber-sumber informasi dan data. Tiga bidang itu
dimiliki Australia sebagai negara Barat modern. Karena itulah, kita ingin
memanfaatkan hubungan bilateral dengan Australia semaksimal mungkin.
Namun, Australia juga amat berkepentingan bahwa proses modernisasi yang digumuli
Indonesia dapat berlangsung secara relatif lancar, dan dalam jangka waktu yang
sesingkatnya. Adalah demi kepentingan strategis Australia bahwa RI berkembang
menjadi negara dan bangsa modern dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
dan stabilitas dalam negeri berdasarkan demokrasi yang respek terhadap HAM.
Suatu RI yang menjalankan politik luar negeri yang bertanggung jawab, dalam
pengertian bahwa Indonesia selalu mementingkan wilayah Asia Tenggara dan wilayah
Timur Samudera Hindia yang serba stabil. Karena Republik Indonesia dengan ciri-ciri
profil demikian akan menciptakan lingkungan geopolitik yang aman dan tenteram bagi
Australia.
Pergeseran-pergeseran geopolitik sedang terjadi di wilayah Asia Pasifik. Kunjungan
Menlu AS Condoleezza Rice baru-baru ini ke Australia mengungkapkan bahwa
kepentingan geopolitik antara Australia dan AS mulai berbeda fokusnya.
Hubungan ekonomi Australia dan Tiongkok tambah meningkat, karena Australia
sekarang berperan sebagai pemasok produk pertambangan dan energi untuk
menopang pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang serba pesat. Singkatnya, adalah
demi kepentingan nasionalnya un! tuk merapatkan hubungan di berbagai bidang
dengan negara-negara Asia Tenggara, khususnya dengan Indonesia. Supaya ruang
gerak Australia di Asia Timur jangan terlalu didominasi oleh Tiongkok sebagai
raksasa ekonomi.
DALAM kerangka proses geopolitik yang sedang berlangsung di Asia Pasifik, maka
kita tempatkan hubungan bilateral RI-Australia yang masing-masing amat
berkepentingan bahwa kerja sama mereka menghasilkan sukses. Simetri
kepentingan geopolitik inilah yang mendiktekan bahwa kasus, seperti permintaan
suaka warga Indonesia asal Papua, itu harus ditangani dengan visi yang luas.
Australia tidak dapat terus-terusan bicara dengan dua gelombang radio. Di satu pihak,
mengembangkan hubungan persahabatan dan menghormati kedaulatan Indonesia. Di
pihak lain, mengambil keputusan unilateral yang menimbulkan keraguan atas
ketulusannya.
Kenapa pihak Australia tidak menyelidiki dulu, apakah alasan permintaan suaka itu
mengandung kebenaran atau sekada! r ngibul! Kemudian mengumumkan hasil
penelitian itu. Kalau toh karena berbagai pertimbangan permintaan suaka itu diterima,
dapat dikatakan bahwa akan dicarikan tempat yang cocok, mungkin di salah satu
lokasi di Pasifik Selatan. Dengan demikian diperlihatkan bahwa Australia memang
menganggap serius hubungannya dengan Indonesia.
Di sisi lain, setelah mencatat betapa sengitnya reaksi baik di elite politik (antara lain,
para anggota DPR) maupun di masyarakat karena keputusan Australia menerima
permintaan suaka sejumlah warga Indonesia asal Papua - maka patut dianjurkan di
sini, bahwa kita pun seyogianya mengalokasikan perhatian serta usaha supaya
kesejahteraan dan keadilan mekar di Papua. Jangan kita ribut dan menuduh orang
lain sok simpati kepada orang-orang Papua, tapi kita sendiri bersikap acuh tak acuh
terhadap nasib saudara sebangsa di Papua. *
Penulis adalah pengamat masalah sosial politik nasional dan perkembangan
internasional. Ia pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan RI di Australia
Last modified: 25/3/06
|