TEMPO Edisi. 06/XXXV/03 - 9 April 2006
Tersodok Langkah Si Kanguru
Hubungan Indonesia dengan Australia masih mendidih. Setelah menarik duta besar,
Presiden Yudhoyono segera mengambil langkah kedua.
Kartun itu dimuat harian The Australian, sebuah koran ternama di Negeri Kanguru, 25
Maret lalu. Di situ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sedang
bersoal-jawab dengan Perdana Menteri John Howard. Dua pemimpin itu berdiri
berhadapan dengan busana resmi. Howard mengenakan dasi merah, Yudhoyono
memakai dasi berwarna pink. Perdana Menteri Australia itu terlihat menggenggam
daftar pencari suaka dari Papua.
Kartun itu diberi judul: SBY menginginkan pencari suaka Papua dipulangkan ke
Indonesia. Dia berjanji, "Kami akan menerima mereka dengan tangan terbuka." Tapi
kedua tangan Presiden Yudhoyono digambarkan sedang menyembunyikan senjata
AK-47 di belakang punggungnya. Nicholson, si penggambar kartun itu, seperti
memberi pesan kepada Howard agar jangan percaya pada janji Jakarta.
Setelah Australia memberi visa sementara selama tiga tahun kepada 42 pencari
suaka asal Papua, 23 Maret lalu, hubungan Jakarta-Canberra memang memanas.
Presiden Yudhoyono buru-buru memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia.
Perang kata-kata bertaburan di media massa. Para politisi di sini, juga di negeri
tetangga, pun saling melempar hujatan.
Di Indonesia, tak sulit pula menemukan kartun seperti yang dimuat di harian The
Australian itu. Koran-koran negeri ini juga memuat aneka macam ledekan. Ada
gambar orang Papua yang ketakutan bersembunyi di kantong kanguru.
Jakarta tampaknya tersodok langkah yang diambil si Kanguru. Pemerintah menuding
Australia bertindak diskriminatif. Pintu suaka dibuka lebar-lebar untuk Papua, tapi
digembok rapat untuk orang Timur Tengah. "Pemberian visa terhadap orang Papua
amat gegabah," protes Yuri Thamrin, juru bicara Departemen Luar Negeri.
Yang berbahagia tentu saja para pencari suaka dari Papua itu. Sesudah pemerintah
Australia mengumumkan pemberian visa, mereka terbenam dalam tangis
kegembiraan. "Kami sangat senang karena pemerintah Australia terbukti sangat
menghargai hak asasi kami," ujar Herman Wainggai dengan mata berbinar. Herman
adalah pemimpin kelompok ini. Tiba di Tanjung York, Australia, 18 Januari lalu,
mereka membawa bendera Melanesia Barat.
Barisan Melanesia Barat itu sesungguhnya berada di luar kelompok Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Sementara kelompok OPM memperjuangkan kemerdekaan
Papua Barat, Melanesia Barat berjuang mempersatukan ras Melanesia di wilayah
barat. Kelompok ini mengklaim bahwa ras Melanesia mencakup suku Aborigin di
Australia, Papua Nugini, Ahuru, Samoa, Vanuatu di sebelah timur, dan Papua Barat,
hingga wilayah Maluku dan Timor Lorosae di sebelah barat.
Sementara OPM sudah berkibar sejak 1965, nama Melanesia Barat baru muncul
pada Desember 1988. Pendiri gerakan ini adalah Thomas Wainggai, seorang
intelektual dari Serui, Papua. Thomas adalah seorang doktor ilmu hukum dan
administrasi publik tamatan sebuah universitas di Jepang. Ia pernah melanglang
buana hingga ke Amerika Serikat. Sesudah mengawini gadis Jepang bernama
Teruko, dia pulang kampung dan bekerja sebagai staf Badan Perencana
Pembangunan Daerah di Jayapura.
Pada 4 Desember 1988, Thomas dan ratusan pendukungnya memproklamasikan
berdirinya negara Melanesia Barat di Jayapura. Ia dituduh makar, lalu diadili dan
dijatuhi hukuman penjara 20 tahun. Thomas meninggal di penjara Cipinang, Maret
1996. Para dokter yang mengotopsi mayatnya menyimpulkan ia meninggal secara
alamiah. Otopsi itu disaksikan Dokter Ference Meyer dari Palang Merah
Internasional.
Tapi pendukungnya di Papua tak sekukuh pun percaya. Mereka menuding Jakarta
sengaja menyudahi riwayat sang doktor. Ribuan orang yang menjemput mayatnya di
Bandara Sentani, Jayapura, mengamuk meluluh-lantakkan kota itu. Sekitar 423 kios
ludes terbakar. Empat nyawa melayang.
Sepeninggal Thomas Wainggai, nama Melanesia Barat nyaris tenggelam. Kelompok
itu baru muncul lagi pada 14 Desember 2002. Saat itu puluhan orang memperingati
berdirinya Melanesia Barat dengan mengibarkan bendera Bintang 14 di kampus
Universitas Cenderawasih di Abepura. Bintang 14 adalah bendera kelompok ini.
Peringatan itu dipimpin Herman Wainggai, keponakan mendiang Thomas Wainggai.
Herman kerap disebut generasi penerus gerakan Melanesia.
Sebagaimana sang paman, Herman juga ditangkap polisi. Dipenjara dua setengah
tahun, ia menghirup udara bebas pertengahan 2005. Namanya tenggelam sejenak,
lalu melambung lagi sesudah sukses memimpin pelarian ke Australia pertengahan
Januari itu.
Menumpang perahu motor berukuran sedang, rombongan itu berlayar menuju negara
tetangga. Mereka terdiri dari 30 laki-laki, enam perempuan, dan tujuh anak-anak.
Herman membawa serta dua anak kembarnya yang masih balita. Begitu mendarat di
Tanjung York, Herman sesumbar kepada dunia bahwa militer Indonesia tengah
memburu mereka.
Petinggi Jakarta bahu-membahu membantah keras tuduhan itu. Presiden Yudhoyono
bahkan menelepon John Howard agar memulangkan 43 warga Papua itu. Yudhoyono
berjanji akan menerima mereka sebagai saudara. Permintaan itu ditolak.
Sebagaimana luas diberitakan, 41 pencari suaka itu diterbangkan ke Pulau
Christmas, yang terletak di Samudra Hindia. Sedangkan dua lainnya, yaitu Yunus
Wainggai, nakhoda perahu motor itu, dan putrinya, Anika Wainggai, dirawat di Rumah
Sakit Fremantle di Australia Barat karena penyakit tuberkulosis.
Di Australia, Herman disambut gembira banyak penyokong gerakan ini. Sejumlah
petinggi OPM yang sudah hijrah ke Australia lebih awal menyambut mereka penuh
gembira. Senator Kerry Nettle dari partai oposisi langsung terbang ke Pulau
Christmas menemuinya. Menurut dia, orang-orang Papua itu mengharapkan bantuan
Australia sebagaimana negeri itu membantu kemerdekaan Timor Timur. "Saya amat
berharap pemerintah Australia melindungi mereka," ujar Nettle.
Tampaknya kasus ini dimanfaatkan betul partai oposisi guna menjepit John Howard.
Sejumlah anggota Kongres Australia bahkan merangsek lebih jauh. "Inilah waktu
yang tepat bagi Howard berinisiatif mengambil masalah Papua," ujar Bob Brown,
anggota kongres negeri itu. Brown mendesak Australia membawa kasus ini ke komisi
hak asasi manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seruan yang sama disampaikan
sejumlah lembaga swadaya masyarakat di sana.
Dua pekan lalu, Amanda Vanstone, Menteri Imigrasi dan Multikultural Australia,
akhirnya mengumumkan pemberian suaka sementara bagi 42 orang Papua. Seorang
lagi sedang dalam proses. Mengapa tak peduli pada permohonan Jakarta? "Kami
mengacu pada hukum Australia yang terikat hukum internasional," begitu penjelasan
Amanda.
Pemberian suaka itu segera memancing amarah Jakarta. Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono menuding sejumlah lembaga swadaya masyarakat internasional
merekayasa kasus ini. Pekan lalu ratusan orang mengurung Kedutaan Besar
Australia di Jakarta. Mereka mendesak pemerintah mengusir Duta Besar Australia.
"Kalau pemerintah tidak mau mengusir, rakyat nanti yang mengusirnya," kata
Permadi, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Sebetulnya bukan kali ini saja orang Papua hijrah ke Australia. Sudah jadi rahasia
umum sejumlah petinggi OPM sudah lama bermukim di Australia. Sebut saja Jacob
Rumbiak, teman seperjuangan Thomas Wainggai. Jacob menetap di Melbourne dan
aktif mengkampanyekan kemerdekaan Papua.
Di Papua Nugini, puluhan tokoh pergerakan itu juga diberi tempat (lihat, Perlawanan
dari Luar Pagar). Cuma, pemberian suaka dari Australia kali ini memang paling
menohok mata.
Tampaknya bara suaka itu belum lekas padam. Sejumlah lembaga swadaya
masyarakat di Australia sedang mempersiapkan hajat besar penyambutan suaka
atas 42 warga Papua itu. Syukuran itu dikoordinasi oleh Free West Papua, sebuah
lembaga swadaya masyarakat yang getol berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat.
Hajat besar itu akan digelar di dua kota besar Sydney dan Melbourne. Makanan,
musik, juga tarian dari Papua dipertontonkan.
Di Jakarta, Senin pekan ini, rencananya pemerintah akan menentukan langkah kedua
setelah mengevaluasi perkembangan kemelut ini.
Wenseslaus Manggut, Lita Utomo (Jayapura)
--------------------------------------------------------------------------------
Panas-Dingin Jakarta-Canberra
Bukan hanya kali ini hubungan Indonesia dan Australia memanas. Di masa lalu juga
sering muncul persoalan yang membuat pertalian kedua negara terusik.
1962
Perundingan Belanda-Indonesia menyetujui Irian Jaya masuk wilayah Indonesia.
Australia menolaknya karena khawatir wilayah ini akan jadi basis komunis.
1963
Indonesia konfrontasi dengan Malaysia. Tentara Australia membantu Malaysia
melawan Indonesia ketika terjadi perang di Kalimantan.
1965
Rezim Soekarno runtuh, kerja sama Australia-Indonesia mulai berjalan lancar.
1979
Australia mengakui secara de jure, Timor Timur bagian integral Indonesia.
10 April 1986
The Sydney Morning Herald menurunkan tulisan mengenai kekayaan keluarga
Presiden Soeharto yang dibuat David Jenkins. Duta Besar Indonesia di Australia
memprotesnya dengan mendatangi Menteri Luar Negeri Bill Hayden.
21 Oktober 1987
Paul Keating, Perdana Menteri Australia, menggantikan Bob Hawke. Keating
memanggil Presiden Soeharto dengan kata 'bapak' dan menilainya sebagai
negarawan senior.
1995
Masyarakat Australia menolak Mantiri menjadi Duta Besar Indonesia di Canberra.
Soalnya, ia pernah berkomentar, insiden Santa Cruz layak terjadi.
1992
Australia bereaksi keras setelah rekaman insiden Santa Cruz di Dili pada 12
November 1991 disiarkan. Dalam kejadian ini, sejumlah mahasiswa yang menuntut
kemerdekaan Timor Timur tewas ditembak.
30 Agustus 1999
Kemerdekaan Timor Timur menimbulkan reaksi sentimen anti-Australia di Indonesia
karena pemerintah Negeri Kanguru dianggap terlibat dalam proses itu.
25 Juni 2001
Presiden Abdurrahman Wahid berkunjung ke Australia. Inilah lawatan pertama
Presiden Republik Indonesia setelah Timor Timur merdeka.
12 Oktober 2002
Bom meledak di Legian, Bali, menewaskan 202 korban, 88 di antaranya warga
Australia. Indonesia-Australia sepakat memerangi terorisme bersama.
27 Mei 2005
Pengedar mariyuana asal Australia, Schapelle Corby, divonis 20 tahun penjara oleh
Pengadilan Denpasar. Beberapa hari sesudahnya, Dubes Indonesia di Canberra
mendapat teror dengan dikirimi paket berisi serbuk putih. Setelah diteliti, serbuk itu
tak berbahaya.
20 Maret 2006
Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar mengungkap keterlibatan lembaga
asing dalam demonstrasi anti-Freeport di Abepura, Papua, empat hari sebelumnya.
Diduga lembaga asing itu berasal dari Australia, tapi pemerintah Australia
membantahnya.
24 Maret 2006
Pemerintah Indonesia memprotes pemberian visa sementara kepada 42 warga Papua
oleh Australia. Dubes Indonesia di Canberra dipanggil pulang.
copyright TEMPO 2003
|