TEMPO, Minggu, 02 April 2006
Menonton Papua dari Australia
TEMPO Interaktif, Jakarta: Menonton tayangan televisi dan tampilan media cetak
Australia tentang Papua bukan sesuatu yang menyenangkan bagi warga Indonesia
yang berdomisili di Australia, khususnya setelah Jakarta menarik Duta Besar T.M.
Hamzah Thayeb dari Canberra. Media Australia tidak saja menampilkan "kemarahan"
Jakarta atas pemberian visa tinggal sementara (temporary visa) kepada 42 dari 43
pencari suaka (asylum seekers) dari Papua, tapi juga menayangkan perilaku
pemerintah Indonesia di Papua.
Terus terang, menyaksikan perilaku pemerintah Indonesia di Papua tidak saja
mengurangi kebanggaan kita sebagai negara yang dikenal "berbudi luhur", tapi juga
menunjukkan betapa bebalnya pemerintah Indonesia yang tidak pernah mau belajar
dari sejarah panjang provinsi tercinta tapi bernasib malang itu.
Pemerintah Indonesia, khususnya TNI, polisi, dan pemerintah daerah Papua,
seharusnya tidak lagi menunggu "diajari" Australia untuk menyelesaikan
permasalahan Papua. Soalnya, mereka sebenarnya sudah tahu persis akar
permasalahan Papua, tapi mereka enggan melakukan introspeksi dan memperbaiki
tindakan serta kebijakan mereka yang salah selama 40 tahun terakhir ini.
Ketidakadilan dan seribu permasalahan lain, seperti pengerukan kekayaan alam
Papua yang hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang Jakarta dan
petinggi-petinggi Papua serta keterlibatan aparat keamanan (TNI dan polisi) dalam
kegiatan melanggar hukum, seperti pembalakan liar (illegal logging), perdagangan
gelap kayu gaharu, bahkan pembunuhan dan penangkapan para aktivis Papua, hanya
sebagian kecil dari rentetan derita panjang Papua.
Sekali lagi, ketidakadilan di atas bukan sesuatu yang baru karena pemerintah
Indonesia telah melakukannya sejak dulu dan sistematis. Akibatnya, orang di belahan
bumi lain pun tahu persis semua kejadian di Papua, termasuk pemerintah dan warga
negara Australia. Karena itu, ketika 43 warga Papua mendarat di Cape York di
Negara Bagian Queensland dan meminta suaka politik kepada pemerintah Australia,
John Howard dan kabinetnya menilai permohonan tersebut sebagai sesuatu yang
serius.
Indonesia di mata Australia
Tidak dapat dimungkiri bahwa kunjungan Susilo Bambang Yudhoyono ke Canberra
tahun lalu berhasil mengubah sebagian pandangan negatif pemerintah dan
masyarakat Australia atas Indonesia. Tapi sikap pemerintah dan sebagian besar
masyarakat Australia atas isu-isu Papua masih belum berubah secara radikal.
Mereka masih sangat sensitif dengan semua kejadian di Bumi Cenderawasih
tersebut.
Pemerintah Indonesia juga harus sadar bahwa Howard tidak bekerja sendiri. Sebagai
perdana menteri, dia juga dikontrol oleh parlemen, hukum nasional dan internasional,
serta semua warga Australia. Karena itu, John Howard wajib memperhatikan opini
publik Australia, termasuk dalam penentuan nasib 43 orang Papua yang mencari
suaka di negaranya.
Pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya tidak kaget dengan keputusan
Department of Immigration and Multicultural Affairs (DIMIA) yang memberikan visa
tinggal sementara kepada 42 orang Papua tersebut. Soalnya, di mata publik
Australia, perilaku pemerintah Indonesia di Papua dianggap telah melampaui
batas-batas kemanusiaan.
Indonesia bahkan telah dianggap gagal menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan
keadilan sosial di bumi yang subur dan seharusnya makmur itu.
Berbagai komentar negatif politikus Indonesia atas pemberian visa tinggal sementara
kepada 42 warga Papua tersebut mungkin dapat dipahami karena mungkin saja klaim
para pencari suaka itu tidak seratus persen benar. Tapi dampak kebijakan pemerintah
pusat yang tidak memihak rakyat Papua sejak 40 tahun terakhir ini tidak bisa
dilupakan begitu saja.
Senator Amanda Vanstone yang menjabat menteri imigrasi menjelaskan, "Australia
was impartially meeting its obligations under domestic and international law."
Selanjutnya, Herman Wainggai, pemimpin para pencari suaka tersebut, mengatakan,
"We trust that the Indonesia will act with maturity and see that the situation in West
Papua is very serious and one that must be dealt with peacefully" (Kami percaya
Indonesia akan bersikap dewasa dan melihat keadaan di Papua dengan serius dan
harus diselesaikan dengan damai) (Sydney Morning Herald, 23 Maret 2006).
Perlu pula dicatat bahwa penilaian pemerintah dan publik Australia atas pemberian
visa tinggal sementara kepada para pencari suaka dari Papua tersebut juga sangat
dipengaruhi oleh kejadian dua minggu terakhir ini. Soalnya, layar televisi dan koran
Australia juga diwarnai dengan maraknya tindak kekerasan di Papua. Pemimpin
Partai Hijau (Green Party), Senator Bob Brown, bahkan secara terang-terangan
mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia. Pendeknya, pandangan umum
masyarakat Australia atas ketidakadilan di Papua tidak memihak pemerintah
Indonesia.
Introspeksi
Melihat makin meningkatnya perhatian dunia internasional atas isu-isu Papua,
pemerintah Indonesia sudah saatnya introspeksi agar peristiwa serupa tidak terulang
di masa mendatang. Tindakan pemanggilan T.M. Hamzah Thayeb mungkin terlalu
emosional karena hal itu tidak akan menghilangkan isu-isu Papua. Tindakan tersebut
bahkan telah menjadikan isu Papua menjadi isu internasional yang lebih luas.
President of the West Papua National Authority Edison Waromi bahkan mengakui
bahwa para pencari suaka lainnya akan menyusul ke Australia dalam jumlah besar.
Di samping itu, pemanggilan Hamzah Thayeb dianggap sesuatu yang tidak serius
oleh Australia karena Menteri Luar Negeri Elexander Downer bahkan berani
mengatakan, "I expected protests of one kind of another from Indonesia, but bilateral
relations would settle down after a short period of time" (The Sydney Morning Herald,
25 Maret 2006).
Tindakan bijak yang perlu dilakukan Jakarta seharusnya hanya sebatas protes resmi
atau pemanggilan Duta Besar Australia ke Pejambon. Tapi protes tersebut harus
diikuti dengan komunikasi intensif dengan seluruh elemen pemerintah Australia. Di
samping itu, Presiden dan anggota DPR seharusnya lebih mengkonsentrasikan diri
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan pembangunan nyata,
dan bukan dengan janji-janji kosong lagi. Presiden dan DPR serta segelintir "tokoh
masyarakat Papua" sudah saatnya menjauhkan diri dari praktek-praktek politicking
yang mengatasnamakan rakyat Papua, karena sejarah mengajarkan bahwa
tindakan-tindakan serupa hanya menambah derita mayoritas orang Papua.
Presiden, DPR, dan politikus daerah Papua harus berani mengakui kesalahan mereka
bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat selama 40 tahun terakhir ini telah
gagal membangun Papua dan masyarakatnya. Tanpa tindakan jantan seperti itu,
pemerintah dan para politikus hanya akan saling tuding dan lupa
mengimplementasikan janji-janji pembangunan yang memihak rakyat Papua.
Ketidaksanggupan pemerintah pusat, DPR, dan pemerintah daerah menciptakan
kesejahteraan, keamanan, dan iklim yang sehat bagi masyarakat Papua tidak saja
akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Papua, tapi juga berpotensi
menyuburkan para pencari suaka di masa mendatang. Karena itu, suara-suara keras
di DPR yang mendukung pemanggilan T.M. Hamzah Thayeb, bahkan meminta
pemutusan hubungan diplomatik tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan
memperburuk masalah Papua.
Pemerintah Indonesia harus sadar bahwa sebagai negara yang meratifikasi The 1951
Convention Relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol, Australia
berkewajiban untuk melindungi para pencari suaka kalau mereka yakin bahwa
orang-orang tersebut dapat dikategorikan sebagai refugee (pengungsi). Perlu diketahui
bahwa definisi refugee pada konvensi tersebut adalah well-founded fear of being
persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social
group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable, or
owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country (pasal
1 [2]). Definisi yang luas tersebut bisa memasukkan para pencari suaka dari Papua
sebagai refugee. Karena itu, kita tidak perlu heran kalau Senator Amanda Vanstone
mengatakan bahwa pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua hanya
merupakan pelaksanaan kewajiban hukum mereka.
Pendeknya, kegagalan menciptakan kesejahteraan dan keamanan di Papua sama
saja mengundang dengan sengaja campur tangan pihak asing di Papua. Jika hal ini
tidak diperhatikan dan ditangani dengan serius oleh Presiden dan seluruh jajarannya,
tidak mustahil nasib Timor Timur akan berulang di bumi Papua tercinta. Semoga saja
tidak terjadi agar anak-anak kita tidak kehilangan kesempatan menyanyikan lagu Dari
Sabang Sampai Merauke.
Penulis adalah pengaja Hukum Internasional Universitas Hasanuddin Makassar dan
kandidat doktor pada Faculty of Law, University of Sydney, Australia
copyright TEMPO 2003
|