TEMPO Edisi. 46/XXXIV/09 - 15 Januari 2006
Nasional
Pemain Lama di Rumput Kering
Polisi menduga pelaku peledakan bom di Palu terkait dengan serial kekerasan di
Poso. Sejumlah skenario dikembangkan.
PULUHAN warga Kampung Maesa, Palu, sibuk mencoret-coret kertas putih yang
diberikan polisi, Kamis pekan lalu. Tidak semuanya menampilkan gambar bagus.
Tetapi tema sketsa mereka seragam: sebuah mobil, sesosok tubuh, dan sebuah
sudut di Pasar Maesa. Mereka yang berkumpul di pasar itu semua berusaha
mengingat: bagaimanakah posisi mobil dan orang yang mencurigakan itu sesaat
sebelum bom mengguncang pasar daging babi, 31 Desember 2005?
"Ya, kami memang fokus untuk mengidentifikasi mobil Panther itu. Pihak Samsat p!
un sudah kami hubungi," kata juru bicara Polda Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris
Besar Polisi Rais Adam, pekan lalu. Polisi memutuskan mengarahkan penyelidikan
ke sana setelah sebelumnya memeriksa 53 orang. Dari pemeriksaan itu diperoleh
dugaan pelaku menggunakan mobil jenis Panther saat beraksi.
Bom yang pecah di penghujung 2005 itu memang tak dinyana. Pagi sekitar pukul
07.00 Waktu Indonesia Timur, warga sibuk membeli daging untuk perayaan tahun
baru. Tiba-tiba, blar! Sebuah bom meledak membikin atap kios berhamburan dan
mematahkan tiang bangunan. Orang-orang bergelimpangan, meninggalkan onggokan
daging babi di mana-mana. Delapan orang tewas, dan 54 lainnya luka berat.
Polisi bergerak cepat. Hanya dalam dua jam mereka meringkus Mulyono, 60 tahun,
yang diduga erat terkait dengan bom laknat itu. Warga Kotaraya, Kabupaten
Parigi-Mutong, Sulaw! esi Tengah, itu ditangkap setelah aparat memeriksa 27 saksi.
"Para saksi melihat Mulyono mondar-mandir dan menanyakan situasi pasar sesaat
sebelum bom meledak," kata juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Anton Bachrul
Alam. Hingga Jumat, pekan lalu, Mulyono masih diperiksa di kantor polisi.
Siapakah Mulyono? Seorang anggota intelijen di Mabes Polri mengungkapkan, ia
adalah anggota kelompok yang selama ini melakukan aksi teror di Poso. "Mulyono
adalah bagian dari kelompok perusuh yang bermarkas di Morowali," kata intel
berpangkat perwira pertama itu. Sumber tersebut menegaskan, bom Palu tak
terpisahkan dari rentetan kejadian di Poso. Memang, serangkaian aksi kekerasan
terus mengoyak Poso pada bulan-bulan terakhir. Ada pemenggalan kepala, juga
penembakan terhadap warga.
Sementara itu, sumber-sumber lain membeberkan bahwa Mulyono tak sehe! bat itu.
Menurut Subagio, warga Kelurahan Tatura Selatan, Kota Palu, Mulyono hanya
seorang penganggur yang terampil mereparasi sofa rusak. Subagio pernah berteman
dengan Mulyono ketika keduanya menetap di Kotaraya. Dua pekan sebelum ledakan,
Mulyono mengunjungi Subagio dan menyatakan hendak mencari pekerjaan di Palu.
"Dia tak membawa apa-apa kecuali pakaian di badan," katanya. Subagio lalu
menyilakan temannya itu tinggal untuk sementara di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, dia membawa Mulyono untuk bekerja pada temannya,
seorang pengusaha batako bernama Rusmandi, di Tatura Selatan. Namun, Mulyono
hanya sehari bekerja di sana. Pada 27 Desember, dia pamit untuk pulang ke
Kotaraya. "Saya mengantarnya sampai di depan Toko Nusantara, Jalan Hasanuddin,
tempat dia menunggu temannya," tutur Rusmandi.
Persinggungan dua orang itu dengan Mulyono! , tak ayal, membuat mereka harus
berurusan dengan polisi. Rumah mereka ikut digeledah aparat. Tetapi tak sebiji pun
benda-benda yang berkaitan dengan bahan peledak, atau barang mencurigakan
lainnya, ditemukan. Subagio dan Rusmandi akhirnya diperbolehkan pulang.
Toh, polisi tak menyerah. Mereka masih yakin Mulyono adalah bagian dari kelompok
yang biasa memanaskan Poso selama ini. Menurut intel di Mabes Polri itu, kelompok
perusuh tersebut diketahui terus merekrut anggota dari luar Sulawesi—kebanyakan
dari Indonesia Timur. Mereka masuk Sulawesi Tengah lewat Morowali yang dianggap
aman bagi pendatang. "Karena penduduknya sangat plural," kata dia kepada Erwin
Dariyanto dari Tempo. Di sinilah para rekrutan itu berhimpun dalam lima kelompok
sebelum beraksi.
Ruang gerak kelompok ini belakangan kian sempit dengan beroperasinya Satgas
Keamanan Poso M! abes Polri. Lalu, mereka berusaha memindahkan kerusuhan ke
Palu. "Mereka sudah menyiapkan sejak dua bulan terakhir," kata dia. Palu dipilih
karena dinilai sebagai kawasan empuk untuk beraksi. Di sana, misalnya, kata telik
sandi itu, jaringan teroris dari Filipina Selatan keluar masuk dengan mudah. Di
kawasan ini pula banyak desersi.
Begitukah? Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Paulus Purwoko,
mengakui, pelaku bom Palu masih pemain lama. "Hal itu diperoleh berdasarkan
identifikasi awal," kata Purwoko.
Purwoko tak bersedia memerinci lebih jauh, tetapi "pemain lama" yang dia maksud
bisa dilacak dari rekam jejak kerusuhan yang melanda Poso enam tahun silam.
Waktu itu Poso luluh-lantak oleh konflik yang diwarnai sentimen agama. Akibat
benturan amarah itu, 577 jiwa melayang, 7.932 rumah terbakar, 1.378 bangunan
rusak berat, dan 690 rusak ringan. Selain itu, 27 masjid dan 55 gereja lumat.
Hanya saja seorang kombatan yang pernah terlibat dalam konflik tersebut
menyatakan bahwa saat ini para pemain lama sudah tercerai-berai. Menurut sumber
yang memiliki jaringan ke Jemaah Islamiyah ini, jika ada pemain lama yang
meledakkan Palu, dipastikan bukan dari kelompoknya. "Lagi pula ahli peracik bom di
Sulawesi Tengah ini banyak, karena mereka rata-rata pintar membuat bom ikan," kata
dia.
Kemungkinan lain diungkap Hamdan Basyar, peneliti utama di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang pernah meneliti konflik Poso (2002-2004). Menurut dia
pemain yang berperan dalam konflik itu datang dari kalangan elite politik lokal,
provinsi, hingga tingkat nasional. "Masyarakat kedua agama hanya menjadi korban,"
kata dia.
Dalam gebalau kerusuhan itulah tertangkap indikasi adanya kepentingan kekuatan
lain untuk terus melanggengkan kerusuhan. Hal itu terlihat dari aksi kekerasan yang
terjadi berulang kali. "Dan, pelakunya adalah orang terlatih. Nah, ini maknanya apa?"
ujar Kepala Bidang Politik Lokal LIPI tersebut.
Menurut dia, serial kekerasan di Poso ditengarai sebagai upaya untuk menyamarkan
praktek pembalakan liar di kawasan itu. Yang dimaksud adalah penebangan kayu
eboni yang memang merupakan komoditas utama Sulawesi Tengah selain kakao. Di
balik kegiatan haram itulah biasanya terdapat beking oknum aparat keamanan.
"Kalau ada kerusuhan, bisnis ilegal ini bisa jalan terus," kata Hamdan.
Dia melihat medan aksi para petualang itu kini kian menyempit. Lagi pula, para tokoh
dari kedua kubu yang dulu bertikai kini terus mencari jalan damai. "Ma! ka, para
pemain yang tak terlihat itu berusaha memperlebar permainan, seperti kejadian bom
di Palu itu," kata dia.
Hamdan yakin target para petualangan itu untuk membakar Palu tak akan berhasil.
Kondisi Palu yang menunjukkan ketidakseimbangan demografis antara muslim dan
kristiani justru tak akan meletikkan benturan. "Rumput keringnya tak terlalu luas
untuk dibakar," kata dia. Lain soalnya jika jumlah kedua pemeluk agama seimbang.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Palu, Poso Center, membeberkan beberapa
kemungkinan siapa saja para "pemain Poso" itu. Pertama, kekerasan di Poso dan
Palu terkait dengan korupsi dana pengungsi Poso senilai Rp 240 miliar. Maka,
kekerasan terus dilakukan guna mengalihkan perhatian. Kedua, bom diledakkan oleh
mereka yang mencoba balas dendam atas tewasnya ratusan muslimin selama konflik
tahun 2000. Ketiga, keke! rasan dilakukan aparat keamanan sendiri. "Kasus
pemenggalan tiga siswa SMA Kristen Poso itu diduga melibatkan aparat TNI yang
tergabung dalam Tim Bunga," kata Yusuf Lakaseng, Direktur Poso Center.
Dugaan terakhir itu dibantah tentara. Menurut Kolonel A. Yani Basuki, Kepala Dinas
Penerangan Umum Mabes TNI, institusinya tidak pernah memerintahkan prajurit
melakukan tindakan menyimpang dari tugas pokoknya. "Tugas TNI di sana justru
membantu menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat," kata dia kepada Nur
Aini dari Tempo.
Setelah sepekan mengubek-ubek informasi, Jumat pekan lalu polisi yakin telah
mendapatkan ciri fisik tersangka. Orang tersebut digambarkan tingginya sekitar 160
sentimeter, gemuk, berjenggot, kumis tipis, rambut pendek, dan kulit sawo matang.
"Dia memakai kaos oblong putih dan jaket warna ! hitam," kata seorang perwira di
Mabes Polri yang enggan disebutkan namanya. Nomor polisi mobil di lokasi kejadian
pun sudah diketahui.
Apakah orang ini bagian dari pemain lama? Sayang, untuk soal ini polisi masih
bungkam.
Tulus Wijanarko, Maria Ulfah, Darlis Muhammad (Palu)
copyright TEMPO 2003
|