watchPAPUA, Feb 25, 2006, 05:43
Pernyataan sikap tujuh suku di pegunungan tengah Papua
(Pemilik Tanah Areal Pertambangan PT. Freeport Indonesia)
Bangsa Papua dipaksakan masuk ke dalam NKRI di bawah bayang-bayang Amerika
Serikat hanya karena kepentingan politik dan ekonomi semata. Pemerintah Indonesia
mempunyai kepentingan ekonomi dan politik di Papua, sedangkan Amerika Serikat
memainkan status Papua hanya demi kepentingan ekonomi semata. Buktinya adalah
bahwa sejak tahun 1962 Amerika Serikat melakukan siasat yang jitu untuk
mengelabui PBB dan Belanda untuk Papua masuk ke dalam NKRI.
Salah satu siasat yang dimainkan dalam rangka mencaplok Papua ke dalam NKRI
adalah proposal Bunker. Proposal tersebut dirancang oleh seorang Amerika Serikat
politik kelas kakap. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB.
Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York.
Dalam perjanjian tersebut telah menyatakan bahwa status Papua diserahkan ke
dalam tangan UNTEA dan ditetapkan bahwa selama 6 tahun UNTEA menyiapkan
bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara "one man one vote" (satu
orang satu suara).
Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi, orang Papua melakukan
berbagai kegiatan, misalnya aksi protes atas tidak menerima pemerintah Indonesia
berkuasa di Papuia, akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes
diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, diperkosa,
dan bahkan dibantai.
Selama satu tahun (antara 15 Agustus 1963-1 Mei 1963), Amerika serikat bermain
sedemkian rupa dan berusaha mempengaruhi PBB (UNTEA), akhirnya pada tanggal 1
Mei 1963 Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia
diserahkan oleh UNTEA kepada negara Indonesia yang juga sebagai pihak sengketa
itu. Inilah suatu kelalaian PBB melalui kaki tangannya UNTEA. Anehnya Papua yang
sedang disengkatan antara Belanda dan Indonesia, Papua diserahkan kepada
Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri. Inilah
politik tingkat tinggi yang dimainkan oleh Amerika Serikat hanya demi memperkuat
posisi Amerika Serikat dalam bidang ekonomi di Papua.
Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk
memainkan satutus Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan
dalam rangka itu. Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah
sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan
nama "PEPERA"; pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangi
MoU tentang pengeksploitasian tambang Emas dan Tembaga di Timika.
Ini aneh, status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua,
pemerintah Indonesia berani melakukan perjanjian MoU antara Amerika dan Indonesia
tantang rencana pengekpolitasian tembaga dan emas. Dengan demikian sejak tahun
1967 PT Free Port sudah mulai dioperasikan oleh Amerika Serikat. Akhirnya melalui
berbagai rekayasa, intimidasi, terror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius,
pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang
untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI.
Sejak tahun 1967 tujuh suku, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang
mendiami di sekitar pertambangan PT Freeport mengalami kerugian fatal, baik
lingkungan, flora dan fauna serta manusia Papua dikorbankan. Hanya demi
mengambil emas dan tembaga itu Pesona alam dan pesona manusia dikorbankan.
Pemilik tanah adat menderita di atas kekayaan alam, sementara para perantau yang
baru datang hanya untuk mempertahankan hidup sambil menguras kekayaan alam
Papua, menari-nari di atas hasil penjualan emas dan tembaga.
Orang Papua, khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. Hidup kami terlantar karena
lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang
tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku,
terlebih suku Amungme dan Komoro mengalami dampak negatif yang membawa
ancaman terhadap hak hidup.
Kasus Timika Berdarah pada tanggal 21 adalah merupakan salah satu peristiwa
kelabu dari sekian ribu kasus yang terjadi dari sejak PT Free Port beroperasi di
Timika. Pelaku penambakan adalah TNI, Brimob dan Kapolsek Timika. Korban kasus
Timika berdarah terdiri dari lima orang, yakni Yulian Murib meninggal dunia setelah
sebuah peluru menembusi dahi - kepala, Melianus Murib kena tembakan di perut dan
3 orang di antaranya identitasnya tak bisa diketahui oleh pihak korban karena rumah
sakit "hospital 68" yang sedang menjalani perawatan diblokir oleh aparat TNI, Brimob
dan POLRI.
Kami orang Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak ulayat tidak mau korban lagi di
atas negeri kami sendiri; kami tak mau tempat tinggal kami dirusakkan, kami tak
mau kekayaan kami diambil, kami tidak mau menderita lagi di atas tanah kami
sendiri, kami tidak mau mati lagi, kami tidak mau ditipu dan dibodohi lagi; kami tidak
mau kasih makan Indonesia, Amerika dan negara lain lagi.
Kami orang Papua, khususnya tujuh suku mengatakan pada kesempatan ini:
CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, kami orang Papua, khususnya tujuh suku
menjamin dunia dari hasil Tambang Emas dan Tembaga. CUKUP, CUKUP DAN
CUKUP SUDAH, demi mengambil emas Papua, kalian telah dan sedang
mengorbankan MAS Papua.
Maka, kami tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat menyatakan dan menyerukan
kepada pimpinan PT Freeport, Negara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat
serta Belanda bahwa:
1. Kami pemilik hak ulayat berkomitmen bahwa kami yang masih hidup tetap
memblokir PT. Freeport selama berhari-hari sampai Tom Beanal, James Moffet dan
para pemegang SAHAM bersama Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat
mengadakan dialog bersama dengan tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat untuk
mencabut MoU tentang PT Freeport dan memberhentikan pengeksploitasian
Tambang Emas dan Tembaga.
2. Mendesak kepada MRP dan DPRP segera mengadakan Sidang Paripurna demi
menetapkan Dialog Nasional dan Internasional; selanjutnya MRP dan DPRP
mendesak Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat segera melakukan
Dialog Nasional dan Internasional untuk menyelesaikan masalah Papua secara
menyeluruh, utuh dan tuntas.
3. Kami tujuh suku menyeruhkan kepada suku-suku lain di Papua bahwa segera
menyatukan barisan perlawanan dalam mendukung penutupan Freeport yang
didorong oleh tujuh suku pemiilik hak ulayat dan mendesak lembaga-lembaga terkait
(DPRP dan MRP) mendorong Dialog Nasional dan Internasional untuk membicarakan
berbagai masalah di Papua secara konprehensif
4. Sebelum pihak PT. Freeport (James Moffet), pemilik Saham, Indonesia dan
Amerika Serikat tidak membuka dialog dengan tujuh suku pemilik hak ulayat dan
membuka Dialog nasional dan Internasional dengan orang Papua, maka kami tujuh
suku bersama dengan suku-suku asli lain di Papua berkomitment bahwa kami akan
mempertaruhkan nyawa kami untuk memblokir PT Freeport Indonesia sampai
pihak-pihak yang melacurkan diri (Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB) datang dan
duduk bersama dengan Massa rakyat Papua dalam penyelesaian masalah Papua
secara menyeluruh, utuh dan tuntas berdasarkan prinsip demokrasi, hukum, keadilan,
kebenaran dan bermartabat.
5. Apabila Tuntutan kami tidak ditanggapi, maka kami akan memboikot Pilkadasung
Gubernur/Wakil Gubernur Papua Periode 2006-2011 tanggal 10 Maret 2006 melalui
Mogok Sipil Nasional Papua. Pilkadasung tidak ada artinya kalau Rakyat Papua terus
dibantai diatas tanah leluhurnya sendiri.
Demikianlah pernyataan dan seruan kami untuk diperhatikan dan diperiksa.
Port Numbay, 25 Februari 2006
Atas Nama Ketujuh Suku Pemilik Hak Ulayat
(Tokoh Masyarakat)
THADEUS KWALIK
______________________
Untuk Informasi Detail tentang Publikasi ini, silahkan menghubungi Selpius Bobii
(Sekjen Front Pepera Papua Barat) Mobile : +62 81 343 118 143. Selpius Bobii
dipercayakan sebagai Juru Bicara Ketujuh Suku.
© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA
|