Jamal penulis yang berbahaya!
M. Fadjroel Rachman, Kolumnis, presenter TV, mantan aktivis
Endorsment dari Fadjroel Rachman di sampul novel ini pasti akan membuat
calon pembaca novel ini penasaran. Seberapa berbahayakah kandungan novel
Epigram ini sehingga Jamal dijuluki penulis yang berbahaya ?
Dari ketiga novel sebelumnya (Louisiana-Luoisiana, 2003, Rakaustarina
,2004, Fetussaga,2005) tak terlihat indikasi bahwa Jamal adalah penulis
yang berbahaya. Louisiana-Louisiana dan Rakkaustarina berbicara mengenai
kisah cinta yang dibumbui oleh setting luar negeri dan konflik-konflik
batin akibat benturan budaya pada kehidupan tokoh-tokohnya, Fetussaga
menceritakan kisah jabang bayi yang mampu merasakan dan berkomunikasi
dengan alam lain. Tak ada yang berbahaya, ketiga-tiganya
menghibur sambil memberi wawasan pada pembacanya dalam hal kultur budaya
lokal (Fetussaga) hingga lansdkap negara-negara Eropa (Louisiana-louisiana
& Rakkaustarina), tak ketinggalan Jamal juga selalu memasukkan unsu-unsur
seni, desain dan filosofi kehidupan dalam dialog-dialog para tokohnya.
Apakah novel keempatnya ini berbeda dengan ketiga novelnya terdahulu?
Dalam Epigram, Jamal berutur mengenai tokoh dua orang mahasiswa demonstran
Kris dan Nara yang dibebaskan teman-temannya dari tahanan militer. Kris
ke Eropa dan Nara ke Amerika. Cerita dimulai dari lokasi Kris bekerja
pada tahun 2003, di rig raksasa tempat pengeboran gas dan minyak Troll
West milik Norsk Hydro di Laut Norwegia. Secara tak terduga atasan Kris
adalah seorang eksil asal Indonesia yang pada 1965 sedang menyelesaikan
kuliahnya di Uni Soviet, gonjang-ganjing politik di tahun itu membuat
dirinya tak bisa pulang dan menjadi seorang eksil di Eropa.
Ketika Kris menerima email dari sahabatnya Adun yang akan pergi berlibur
ke Eropa dan meminta bertemu dengan Kris di Belanda. Ingatan Kris terlempar
ke masa lalu. Cerita lalu kilas balik ke tahun 1989 pada saat menjelang
demo menentang kehadiran seorang menteri mantan jenderal ke kampusnya.
Kris yang dikenal sebagai demonstran sebetulnya sudah tak berminat terjun
langsung ke lapangan karena ia merasa sudah terlalu tua dan baru saja
menyelesaikan sidang sarjananya dan tinggal menunggu wisuda. Kehadiran
Kris di lapangan hanya sebagai penggembira saja.
Demonstrasi menentang kehadiran menteri itu semakin memanas, aparat
melesat masuk kedalam kampus. Kris tak bisa mengelak dari hajaran aparat.
Untunglah Kris tak sampai ditangkap. Esoknya timbul desas-desus bahwa
aparat akan melakukan penangkapan terhadap penggerak demo itu. Nama
Kris yang sudah dikenal sebagai demonstran termasuk dalam daftar mahasiswa
yang akan diciduk. Benar saja, Kris, Nara dan beberapa teman lainnya
diculik oleh aparat dan dimasukkan kedalam penjara militer.
Di dalam penjara Kris dan Nara diinterogasi secara kontiniu, walau
Kris mengelak bahwa dirinya bukan koordinator demo, aparat yang memeriksanya
tak mempercayainya. Siksaan fisik dan mental harus dihadapi Kris dan
Nara selama dalam tahanan. Hal ini nantinya akan mengakibatkan kepribadian
Kris menjadi terpecah walau belum dalam tingkat yang mengkhawatirkan.
Kawan-kawan Kris tak tinggal diam, berkat seorang kawan yang memiliki
hubungan langsung dengan petinggi militer Kris dan Nara berhasil dibebaskan
melalui sebuah operasi rahasia. Agar Kris dan Nara tak tertangkap lagi
mereka diterbangkan ke luar negeri. Nara ke Amerika, Kris ke Eropa.
Awalnya mereka tak rela melarikan diri ke luar negeri sementara kawan-kawan
lainnya masih dalam penjara, namun mereka tak bisa mengelak dan keduanya
hidup sebagai pelarian di negara asing.
Keberuntungan berpihak pada Kris dan Nara. Karena perkenalannya dengan
seseorang di pesawat yang bersimpati padanya Nara melanjutkan kuliah
di Greensboro, Amerika serikat. Pada saat liburan di Boston Nara bertemu
dengan Mira, putri seorang jenderal, sepupu temannya yang nantinya akan
menguak misteri bagaimana mereka bisa dibebaskan dari penjara militer.
Sementara Kris yang mendarat di Amsterdam ditampung oleh mahasiswa
Indonesia di sana, lalu oleh dubes RI di Belanda yang bersimpati padanya.
Rencana kuliah diBelanda batal, seorang kawannya yang sedang kuliah
di Bremen-Jerman mengajaknya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas
Bremen. Kris menerima ajakan kawannya itu hingga akhirnya Kris lulus
master dengan gemilang dan bekerja di perusahaan gas Norsk Hydro di
sebuah rig rakaksa di kawasan ladang gas dan minyak lepas pantai kawasan
Troll West di Laut Utara Norwegia. Walau Kris sukses dalam kariernya
namun ia terlunta diantara rasa bersalah dan prestasi gemilangnya. Ia
senantiasa dihadapkan pada pilihan pelik; terus mengusung idealisme
atau melupakan masa lalu dan kembali ke tanah air.
Di luar masalah idealisme Kris dan Nara juga sama-sama mengalami konflik
lain yang memusingkan keduanya, cinta. Nara bertemu dengan Maria, anak
seorang jenderal yang ternyata menunggunya sejak kedatangannya ke Amerika.
Di acara Expo di Sevilla Spanyol disaat Kris bekerja sebagai
staf pengamanan stand Indonesia, Kris secara tak terduga bertemu dengan
Sasti temannya satu almamater di Indonesia. Ketika cinta tumbuh diantara
mereka Kris diperhadapkan pada dilema apakah ia harus ikut pulang dengan
Sasti setelah Expo selesai atau meneruskan hidupnya di Eropa.
Dalam Epigram banyak hal-hal menarik yang akan pembaca temui dalam
novel ini. Novel ini sarat dengan kritik terhadap pemerintahan Orde
Baru yang secara de facto dikuasai oleh militer. Dialog-dialog antar
tokohnya secara jelas dan gamblang mengkritisi peran militer dimasa
Orde Baru yang menguasai hampir seluruh lini pemerintahan mulai dari
Presiden, menteri hingga gubernur hampir semua dijabat oleh pensiunan
militer yang tentunya masih memiliki hubungan dengan petinggi militer
yang masih aktif. Pembaca akan diajak berpikir secara kritis bahwa Indonesia,
sebuah negara Republik tak ubahnya sebuah negara diktator yang diperintah
militer.
Pembaca yang mengalami masa-masa mahasiswa di akhir 80-an tentunya
akan segera mengetahui bahwa kisah demo mahasiswa yang menentang kehadiran
seorang menteri yang pensiunan jenderal ke kampus UTT (Universitas Tralala
Trilili) adalah kejadian yang pernah terjadi di sebuah Universitas Negeri
di Bandung. Peristiwa penculikan aktivis dan kehidupan pelarian politik
ke luar negeri adalah realita yang terjadi di negeri ini. Realita inilah
yang diangkat oleh Jamal kedalam novelnya ini. Pembaca diajak menerobos
batas fiksi dan non fiksi carut marutnya kehidupan politik dunia mahasiswa
di bawah rezim Orde Baru. Uniknya sisi kelam bangsa ini tidak dituturkan
dalam nuansa yang gelap, di tangan Jamal dunia aktivis politik mahasiswa
yang kaku dan paranoid ini menjadi lentur, menghibur dan manusiawi lengkap
dengan kisah cinta romantis para tokoh-tokohnya yang selalu merasa sepi,
gundah, dan ragu.
Selain menyuguhkan kritik tajam terhadap militerisme di masa orde baru,.
Novel ini juga mengungkap kehidupan dan konflik batin para pelarian
politik yang dalam novel ini diwakili Kris dan Pak Agus, atasan Kris
seorang pelarian yang tak bisa pulang dan harus menjadi warga negara
Jerman, melalui novel ini juga pembaca diajak melintasi bola dunia mulai
dari Bandung, Boston, Amsterdam, Expo di Sevilla Spanyol, Bremen hingga
Laut Utara Norwegia. Tak ketinggalan, seperti di novel-novelnya terdahulu
secara cerdas Jamal menyusupkan hal-hal seni, desain, museum, suasana
Expo di Seville hingga filosofi kehidupan yang dituturkan secara ringan
sehingga mencerahkan pembacanya dalam hal politik, seni, desain, dll.
Sayangnya kehidupan sosial Kris dan para pekerja rig hanya mendapat
porsi yang kecil dibanding setting lainnya di novel ini. Jika saja hal
ini digali lebih dalam oleh Jamal pastilah novel ini akan semakin menarik
karena kehidupan para pekerja di RigTroll yang terasing pastilah bukan
hal yang mudah. Padalah cover novel ini secara jelas menyajikan pemandangan
di sebuah rig di laut lepas. Tentunya pembaca yang melihat novelnya
akan berasumsi bahwa novel ini akan menyajikan kehidupan para tokohnya
di sebuah rig lengkap dengan landskap sebuah rig dan tantangan yang
dialami para pekerjanya
Selain itu kisah Kris ketika dalam penjara militer tampaknya kurang
didramatisir oleh penulisnya, padahal ketika dalam penjara inilah Kris
mengalami terpecahnya kerpibadiannya menjadi dua. Beberapa interogasi
yang dilakukan oleh aparat terhadap Kris terkesan biasa-biasa saja dan
siksaan fisik yang dialaminyapun tak terungkap dengan dramatis, padahal
jika kita mendengar pengakuan dari para mantan aktivis yang pernah diculik
aparat, pengalaman mereka sangat dramatis dan memilukan.
Namun dibalik kelebihan dan kekurangannya novel ini tampaknya akan
mengajak pembacanya melihat realita secara gamblang politik yang pernah
terjadi di negeri ini, bahkan beberapa hal mungkin masih terjadi. Itulah
mengapa Fadjroel Rachman mengatakan bahwa Jamal adalah penulis yang
berbahaya. Batas antara fakta dan fiksi menjadi kabur. Kritikan-kritikan
terhadap militerisme dan kehidupan politik Indonesia disajikan secara
tajam, suatu hal yang rasanya tak mungkin diungkapkan selama masa orde
baru. Walau rezim sudah berganti dan era kebebasan diusung tinggi. Mungkin
saja masih ada beberapa pihak yang akan merasa tersinggung dengan kritik
sosial dan politik yang muncul di novel ini.
Jamal memang penulis yang berbahaya!
@h_tanzil