KPU Makassar Yang Transparan dan Akuntabel
Oleh Maqbul Halim
Gagasan tentang transparan, demokratis, independen, akuntabel (bertanggung jawab), dan berkeadilan adalah “kata kunci” (keyword) bagi kerja KPU 2004 bila ingin mendapatkan respek dari publik, masyarakat, atau rakyat. Saya akan memulai essei singkat ini dari kata-kata kunci itu untuk melihat dan mengukur apa yang dapat dan mungkin saya lakukan agar hasil kerja KPU Kota Makassar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat. Namun, ada kesulitan karena istilah masyarakat dalam essei ini sangat general serta tidak definitif. Untuk itu, sebelum menarik garis sepakat tentang kata kunci di atas, terlebih dahulu kita mencari yang mana dimaksud masyarakat dalam essei singkat ini.
Saya memaksudkan masyarakat dalam essei ini sebagai penerima pertama dan langsung serta dalam skala paling luas dari dampak kebijaka-kebijakan publik yang diambil oleh penyelenggara negara. Dalam konteks Pemilu, memang simpatisan dan anggota partai adalah sebagian dari unit-unit individu dalam masyarakat, namun kepentingan masyarakat jauh lebih luas skalanya ketimbang kepentingan masyarakat yang didasarkan pada skala kepentingan partai, misalnya masyarakat berdasarkan kepentingan yang dikutip dari kepentingan partai tidak akan dimasukkan ke dalam kategori “masyarakat “ di sini.
Dengan demikian, bila yang dimaksud masyarakat dalam konteks pemilu adalah seperti dimaksudkan di atas, maka sebenarnya kepentingan masyarakat yang demikian terhadap penyelenggara pemilu adalah kata-kata kunci yang telah disebutkan : transparan, demokratis, independen, akuntabel (bertanggung jawab), dan berkeadilan”.
Lantas, dalam hal bagaimana masyarakat dapat mempercayai hasil kerja KPU Kota Makassar ? Tentu saja apabila hasil-hasil kerja KPU Kota Makassar memenuhi kepentingan masyarakat menurut kata-kata kunci: transparan, demokratis, akuntabel, berkeadilan, serta taat pada hukum dan Undang-Undang. Pertanyaan selanjutnya yang juga penting puaskah atau diterima luaskah masyarakat dengan adanya UU Pemilu, UU Susduk, dan UU Partai Politik yang kita miliki sekarang? Pertanyaan ini penting namun essei singkat ini tidak akan selesai bersama terjawabnya pertanyaan itu karena ketiadaan data-data valid dan reliabel tentang tanggapan masyarakat , serta belum selesainya UU Susduk di bahas di DPR.
Selanjutnya, kita akan melihat satu persatu dari kata kunci itu. Sembari demikian, kita juga sekaligus akan melihat posisi, peran, dan fungsi KPU Kota Makassar dalam memprediksi dan melihat bagaimana KPU Kota Makassar bekerja apakah dipercaya atau tidak oleh masyarakat.
Transparan
Transparan dalam badan atau lembaga publik semisal KPU Kota Makassar adalah yang memungkinkan akses informasi publik dan keterbukaan secara aktif yang mencakup :
Proses pembentukan KPU Kota Makassar,
Tata cara kerja KPU Kota Makassar
Proses kerja KPU Kota Makassar,
Proses dan pengambilan keputusan (kebijakan) publik KPU Kota Makassar beserta dasar pertimbangannya,
Profil dan track record anggota KPU Kota Makassar,
Informasi tentang anggaran dan fasilitas yang dikelola dan digunakan oleh sekretariat dan anggota KPU Kota Makassar,
Data daftar kekayaan calon anggota dan anggota legislatif, serta anggota KPU Kota Makassar sendiri,
Hasil audit keuangan secara periodik partai-partai,
Data-data tentang hasil pemilu, kecurangan partai, dan kekurangan pelaksanaan pemilu,
Rapat umum dan khusus anggota KPU Kota Makassar beserta hasil notulensinya,
Proses dan pengambilan keputusan dalam menjalin kerjasama antara KPU Kota Makassar dan pihak kedua dan atau ketiga seperti proyek tender pengadaan dll.
KPU Kota Makassar dapat melakukan langkah untuk setiap saat dalam waktu cepat dan biaya murah melayani permintaan dari publik terhadap informasi-informasi dalam lingkup kewenangan komisi ini yang telah dicakup di atas, bahkan bila sumber daya memungkinkan, KPU Kota Makassar dapat melakukan secara aktif.
Bila ketersediaan informasi dan akses informasi di atas bagi publik menjadi kewajiban institusional KPU Kota Makassar, maka asas transparansi dalam pelaksanaan pemilu bukan lagi isapan jempol belaka. Juga apabila di KPU Kota Makassar sendiri terdapat terlalu banyak rapat atau pertemuan yang sifatnya rahasia atau tertutup bagi publik/masyarakat, hal itu akan merangsang kecurigaan yang mungkin akan berlebihan dari publik terhadap KPU Kota Makassar. Jika demikian, tentu saja masyarakat tidak mungkin percaya terhadap hasil kerja KPU Kota Makassar. Dalam pengertian lain, bahwa kepentingan publik tentang transparansi KPU Kota Makassar akan memberikan dampak secara langsung dari kepercayaan masyarakat terhadap hasil-hasil kerja KPU Kota Makassar.
Demokratis
Hasil paling minimal yang dapat diperoleh dari KPU Kota Makassar, adalah ketika semua pihak (pemerintah, partai politik, masyarakat, dan pihak-pihak multi stakeholder) dalam Pemilu merasa puas atas keputusan dan proses kerja lembaga ini. Selain dari itu, juga bahwa masing-masing pihak berkepentingan dengan KPU Kota Makassar menyadari dan mengenal dengan persis kelemahan dan kekurangan pihaknya sehingga hasil kerja KPU Kota Makassar belum mampu menguntungkan pihak yang bersangkutan.
Hal itu mustahil bila lembaga KPU Kota Makassar ini kurang/tidak dijiwai oleh proses dan kerja yang demokratis. Demokratis yang dapat dimengerti dalam kata kunci ini adalah partisipasi semua pihak, semua pihak dapat menerima atau memberikan ide dan gagasan, serta semua pihak dapat menerima apapun hasil kerja dan keputusan KPU Kota Makassar, bahkan pun bila tidak menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan, alias menerima dengan ikhlas keunggulan dan kelebihan pihak lain.
Yang disebutkan terakhir di atas adalah mungkin. Tentu saja, seperti telah disebutkan tadi, hal mungkin itu bila memenuhi kondisi dimana pihak yang tidak diuntungkan dengan hasil dan kerja KPU Kota Makassar telah dan dapat mengenali dan mengetahui dengan baik atas kelemahan dan kekurangan pihaknya sehingga mengakibatkan ketidakberuntungan itu. Jadi kapasitas yang mesti dimiliki oleh lembaga tingkat kabupaten/Kota ini adalah kapasitas dan kemampuan, baik dari segi “publik relation” maupun dari segi kekuatan gagasan dan penguasaan masalah sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dengan KPU Kota Makassar dapat dengan mudah menerima hasil kerja lembaga ini.
Akhirnya, demokratis dalam pengertian pada kesempatan ini tidak hanya sebatas apa yang dimaksudkan “ pemerintahan oleh publik (rakyat). Tetrapi lebih dari itu, sebuah bentuk “facilitation” yang memungkinkan semua pihak dapat belajarb dan bekerjasama. Kapasitas kelembagaan yang demikian mudah mendatangkan kepercayaan dari masyarakat. Suatu proses kerja, berikut dengan hasilnya, yang dilandasi dengan asas kerja yang demokratis sebagaimana telah disebutkan di atas, tentu akan meminimalisir konflik-konflik kepentingan, yakni konflik kepentingan yang menjurus pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil kerja KPU Kota Makassar.
Akuntabel
Dalam sebuah organisasi atau institusi, pertanggung jawaban adalah hal yang mutlak. Tugas sebagai anggota KPU adalah kerja profesional yang tentu sarat dengan tanggung jawab. Segala kebijakan atau keputusan dan prosesnya , penggunaan dan pemanfaatan sumber daya di KPU Kota Makassar, komitmen individual anggota KPU Kota Makassar UU Pemilu No. 12 tahun 2002 adalah kesemuanya dapat dipertanggung jawabkan.
Sebagai badan pemerintah, tentu saja KPU Kota Makassar bekerja menurut UU Pemilu No. 12 tahun 2002 dan peraturan lainnya. Tetapi seringkali terdapat keputusan yang menyangkut ketetapan atau perubahan yang yang dikemudian hari bermasalah namun sulit dilacak penanggung jawabnya, baik secara institusional maupun personal. Hal itu kerap terjadi di lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan. Salah satu aspek memungkinkan terjadinya kecenderungan untuk tidak bertanggung jawab adalah ketertutupan (tidak transparan) suatu lembaga sehingga ketika kemudian muncul masalah, publik tidak bisa menuntut dengan tepat terhadap penanggung jawabnya. Atau ada saja alasan-alasan yang tidak diatur dalam UU dan peraturan sehingga seorang pejabat atau pelaksana tugas-tugas publik bisa mengelak dari tanggung jawab
KPU Kota Makassar akan kesulitan dalam pertanggung jawaban publiknya etika ada keputusan publikmenyangkut Pemilu 2004 yang merupakan hasil dari persekongkolan dan konspirasi dengan pihak kedua atau ketiga. Dalam hal pihak kedua atau ketiga, kontaminasi partai politik dan pemerintah dalam KPU Kota Makassar merupakan “Higlight” intervensi informal dan formal dan pemerintah terhadap kerja KPU Kota Makassar yang merupakan hasil konspirasi dan persekongkolan, cenderung prosesnya tertutup (tidak transparan) dan pada akhirnya tidak bisa dipertanggung jawabkan (tidak akuntabel). Contoh paling konkrit adalh kasus dugaan korupsi Bulog dengan Akbar Tanjung sebagai tersangka waktu itu. Hampir semua pihak dalam kasus itu tidak ada yang berani mengulurkan tangan untuk bertanggung jawab terhadap keberadaan selembar Cek Tunai yang terletak di atas meja.
Kekecewaan masyarakat biasanya bermula dari praktek-praktek pelayanan publik yang demikian. Lebih celaka lagi, eksistensi KPU Kota Makassar sebagai badan atau lembaga independen yang akan dibahas tersendiri kemudian, mejadi diragukan. Mungkinkah masyarakat akan percaya hasil-hasil kerja KPU Kota Makassar bila demikian peristiwanya?
Sebagai tambahan, ketika KPU Kota Makassar bekerja di bawah tekanan dari parpol dan pemerintah atau pihak lainnya, sering ada kecenderungan menghasilakan keputusan-keputusan yang sulit (dan bahkan tidak bisa) dipertanggung jawabkan). Karena itu, KPU Kota Makassar mesti bekerja tidak di bawah tekanan dari pihak manapun. Saya kira KPU Kota Makassar akan dapat dikontrol melalui tekanan-tekanan eksternal (pemerintah, parpol, ormas, dan pihak lainnya) bila anggota-anggotanya memiliki keterkaitan emosional, informal, balas-budi dengan pihak parpol, pemerintah (birokrasi), kekuatan modal (uang), serta tidak memenuhi lagi dengan sungguh-sungguh syarat-syarat anggota KPU sebagimana disyaratkan dalam pasal 18 UU Pemilu No. 12 tahun 2002.
Independen
Sekarang kita berbicara masalah independensi KPU Kota Makassar. Independensi lembaga ini dapat ditinjau dari dua sisi pertama sisi sistem yang mengacu pada sistem politik dan konstitusi yang melandasi lembaga ini bekerja dan eksistensinya. Kedua, reputasi (track record) personel (anggota) yang mewakili KPU Kota Makassar. Tesisnya menurut logika yang berlaku dalam etika politik adalah : sisi pertama bulkan variabel penentu sisi kedua, dalam arti bahwa sisi kedua punya kekebalan atau resistensi menurut konteks aktualnya (stuasional). Sementara sisi kedua sangat berpeluang melengkapi sisi pertama.
Lantas apa kaitannya dengan independensi KPU Kota Makassar dan tesis yang talah disebutkan di atas? Penelusuran terhadap proses penyusunan RUU pemilu menjadi UU No. 12 Tahun 2002 tentang Pemilu yang kemudian mengatur tentang eksistensi KPU dan pembubaran KPU sebelumnya, telah menunjukkan tahapan-tahapan yang relatif independen. Demikian juga tentang pembentukan KPU untuk Pemilu 2004 , gagasannya telah melalui perdebatan wacana akademis, politis, dan relatif lebih terbuka hingga terbentuknya komisi secara definitif melalui UU No. 4 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Konten dan semangat dari UU NO. 12 Tahun 2002 juga telah menguatkan komitmen independensi komisi ini.
Namun tesis ini tentang proses legislasi dan pembentukan komisi yang sudah cenderung lebih mengarah ke independensi komisi ini, bukan jaminan bahwa aktor-aktor yang mengawaki lembaga ini juga bisa bersikap independen. Bahkan sekalipun proses penentuan tim seleksi calon anggota sudah independen, pun juga bukan jaminan bahwa mereka yang terpilih nantinya akan bekerja independen. Secara institusional dan proses rekruitmennya, komisi ini telah memenuhi sebagian besar syarat-syarat sebagai lembaga independen. Sekarang fokusnya adalah anggota komisi itu sendiri, apakah independen atau tidak? UU No. 12 Tahun 2002 tentang Pemilu pasal 18 huruf “I” dan “k” jelas meyebutkan bahwa salah satu syarat menjadio anggota KPU adalah ‘tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik” (i) serta “tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dal;am jabatan negeri” (k).
Bila hanya berbekal pasal 18 dari UU Pemilu di atas, sudah terjaminkah bahwa mereka yang memenuhi itu akan bekerja secara independen dalam kondisi ini nantinya? Pertanyaan in sesungguhnyamerekomendasikan sebuah tuntutan kepada kita tentang siapa sesungguhnya orang-orang yang akan kita pilih menjadi anggota komisi itu. Saya sendiri, untuk bekerja lebih independen dalam komisi ini, paling tidak seseorang mesti punya catatan yang sangat minimal perlihat perihal keterlibatannya pada segmen ini sesungguhnya sudah menjadi “warning” (PERINGATAN) untuk tim seleksi.
Sekalipun mungkin independen, sangat tipis peluang mereka bekerja independen dalam komisi ini bila punya catatan partisan “dalam banyak halaman” pada segmen-segmen yang telah disebutkan di atas. Sekarang asumsi selanjutnya adalah, bila komisi ini tidak bekerja secara independen, maka butir “kata kunci” sebelumnya tentu hanya kiasan belaka. Sekarang kita bertanya lagi, percayakah masyarakat terhadap hasil-hasil kerja KPU Kota Makassar bila kerja dan hasil kerjanya tidak independen? Bila masyarakat mengukurnya menurut UU Pemilu (sistem politik), mestinya hasil kerjanya komisi ini sudah independen karena institusinya sendiri independen. Tetapi tesis logika dalam etika politik menyebutkan tidak cenderung demikian. Sekadar catatan: “orang-orang yang bersikap independen dalam perhelatan pemilihan Umum sangat langka dan mahal, termasuk dalam lembaga-lembaga yang mendeklarasikan diri independen”.
Berkeadilan.
Salah satu pengalaman terburuk dalam melaksanakan pemilu di masa Orde Baru adalah ketidak-setaraan antara partai besar (GOLKAR) dan partai-partai ecil, kala itu partai kecil Cuma dua (PPP dan PDI). Ketidak-setaraan ini terlihat betapa timpangnya perlakuan panitia pemilu, panwas, KPU, dan perangkat instrumen pemilu lainnya terhadap partai-partai kecil waktu itu. Ketidak-sertaan itupun masih berlanjut pada pemilu tahun 1999, partai-partai besar seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan dan beberapa lain diantaranya mampu mengelak dari tuntutan hukum atas pelanggaran yang dilakukan dalam kampanye dan pemungutan suara pada Pemilu tahun 1999.
Partai-partai kecil lain sepertinya tidak mendapatkan tempat dan kesempatan untuk memperjuangkan eksistensinya. Contohnya adalah ketika pembahasan RUU Pemilu, wacana tentang ketentuan “electoral theshold” hanya menguntungkan partai-partai besar sementara partai-partai kecil hanya mampu berteriak sembari menyingkir. Ini hanya sebagian kecil contoh ketidak-setaraan yang masih kerap dipertontonkan dihadapan hukum perundang-undangan dan institusi negara. Masyarakat kemudian melihat perilaku timpang institusi dan aparat negara sebagai indikasi bahwa memang kedaulatan dan urusan negara masih sangat elitis. Masyarakat kemudian menjadi tidak percaya bahwa apa pun aturan dan kebijakan yang diambil betul-betul demi masyarakat itu sendiri.
Bila tradisi-tradisi seperti itu masih dipraktekkan dalam menjalankan tugas dan kewenangan KPU Kota Makassar, saya kira tidak ada alasan bagi masyarakat untuk mempercayai kerja komisi ini, termasuk hasil-hasil kerjanya. Praktek-praktek yang adil dan memperlakukan semua peserta pemilu dan pihak-pihak lain secara setara dihadapan hukum oleh KPU Kota Makassar akan membuktikan dirinya komit manakala opini publik kurang mengeluhkan soal komitmen komisi ini terhadap asas keadilan dalam pelaksanaan Pemilu nantinya. Tidak diperlukan “pernyataan” tentang komitmen terhadap keadilan, baik institusional maupun personal, tidak diperlukan dalam kesempatan ini.
Sepertnya masih terdapat beberapa bagian dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik yang memang terkesan adil terhadap semua stakeholder Pemilu, seperti “electoral thereshold” atau perlindungan saksi pelapor pelanggaran Pemilu. Menurut saya, prioritas yang mesti dilakukan oleh KPU Kota Makassar untuk mendapat kepercayaan dari masyarakat atas hasil kerjanya adalah ketegasan tanpa pandang bulu dalam pelaksanaan kampanye pemilu. Kampanye pemilu kerap menjadi persoalan krusial dan partai-partai besar cenderung kebal hukum ketika melakukan pelanggaran dalam kampanye.
Demikian kelima kata kunci yang bila sebagian besar dapat terpenuhi oleh KPU Kota Makassar, maka komisi ini akan menjadi betul-betul dibutuhkan masyarakat mensukseskan pemilihan Umum. Konsistensi terhadap hukum dan perundang-undangan saya tidak masukkan karena itu merupakan keniscayaan. Selain itu, konsistensi terhadap terhadap hukum juga kerap merupakan cerita lain ketika sebuah Undang-Undang atau peraturan justru memiliki kekurangan atau celah namun menguntungkan piohak-pihak yang konsisten terhadap aturan dan Undang-undang itu.
Sebagai penutup, saya akan mengulangi kembali pertanyaan yang diajukan panitia melalui formulir kepada pendaftar calon anggota KPU Kota Makassar. Jika saudara terpilih menjadi anggota KPU Kota Makassar, apa saja yang anda akan dilakukan agar hasil kerja KPU dapat dipercaya masyarakat? Saya menjawab: kepentingan masyarakat adalah transparansi, demokratis, akuntabel, independen dan berkeadilan. Penuhi dan puaskan kelima kepentingan masyarakat terhadap KPU (Kota Makassar) itu, sehingga masyarakat akan mempercayai, dan bahkan dapat lebih dari, juga mendukung apa yang komisi ini hasilkan dari menjalankan tugas dan kewenangannya. Prioritas saya secara pribadi untuk itu adalah mewujudkan transparansi seperti telah saya bahas pada paruh awal essei singkat ini.
Terima Kasih
Essei singkat ini digagas dan disusun sendiri oleh penulisnya (applicant/pendaftar calon anggota KPU Kota Makassar) pada Senin, 13 April 2003 tanpa keterlibatan pihak lain dan bersih dari tindakan pelacuran intelektual seperti menciplak, menyadur, menyalin sebagian atau keseluruhan essei pendaftar calon anggota KPU Kota Makassar lainnya atau penggunaan jasa orang atau pihak lain untuk penyusunan tulisan essei ini.