1. Membangkit batang terendam
2. Gadis tua tidak bersuami
3. Mayat terbujur di tengah rumah
4. Rumah gadang ketirisan
Secara tradisi atau adat nan teradat, yang disebut harta pusaka oleh orang Minangkabau ialah sawah dan ladang (ladang = tanah, sawah = air, asal kata istilah: "tanah air". Bandingkan dengan orang Barat, mereka tak mengenal istilah tanah air, tetapi "motherland" atau tanah ibu).
Keberadaan atau eksistensi suatu kaum (keluarga besar di Minangkabau) ditandai dengan empat materi yang dimiliki yaitu rumah gadang, sawah ladang, pandam pekuburan dan tepian tempat mandi. Bukankah penjajahan selalu dimulai dari penguasaan/pemilikan tanah oleh orang/bangsa asing.
Sumber penghasilan masyarakat tradisional ini diwariskan berdasarkan garis keluarga ibu.
Yang mempunyai hak milik atas sawah dan ladang (tanah - air) adalah anak perempuan dari ibunya, seterusnya diwariskan ke bawah melalui garis ibu.
Anak laki-laki diberi hak pakai saja dan berkewajiban menjaganya atau berusaha merantau ke luar kampung.
Sawah-ladang atau tanah dan air, merupakan sumber kehidupan manusia serta lambang martabat suatu kaum.
Budaya adat Minangkabau melarang orang menjual sawah-ladang yang berasal dari pusaka moyangnya; hakekatnya seseorang dilarang untuk menjual "tanah-air" atau "tanah tumpah darahnya".
Menggadai adalah tindakan darurat, dimana hak kepemilikan atas tanah tetap pada pemilik.
Membangkit batang terendam
Membangkit batang terendam diibaratkan mengeluarkan batang pohon yang terendam air.
Bila tidak cepat-cepat dikeluarkan, maka batang ini akan menjadi busuk.
Identik dengan batang terendam, maka gengsi kaum yang "terendam" harus segera dikeluarkan pula, supaya posisinya duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan kaum-kaum lainnya.
Gengsi kaum yang dimaksud ialah gelar pusaka yang dimiliki kaum.
Saat ini, pengertian tersebut dapat dianalogkan dengan gelar akademik bidang ilmu pengetahuan.
Prestasi akademik seseorang sangat menentukan statusnya di dalam pergaulan masyarakat.
Gadis tua tak bersuami
Perempuan dalam struktur masyarakat Minangkabau memiliki kedudukan lebih dari laki-laki, sehingga anak perempuan dan para ibu harus didukung dengan harta pusaka. Faktor pendukung lainnya yang tidak kalah pentingnya ialah suami yang akan melindungi kehidupannya. Segala upaya diusahakan agar anak perempuan mendapatkan suami yang terbaik. Perempuan yang tidak mempunyai anak perempuan berarti dia tidak mampu meneruskan keberadaan suatu kaum, sehingga kaum tersebut didalam budaya Minangkabau disebut punah.
Mayat terbujur di tengah rumah
Dahulu untuk menguburkan dan mendoakan anggota kaum-keluarga yang meninggal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini biaya-biaya tersebut sudah jauh berkurang.
Satu hal yang perlu diingat tentang kewajiban si pewaris mayat terbujur tersebut, yaitu utang-utangnya. Utang si mayat harus segera dilunasi, meskipun dengan cara menggadaikan harta-pusaka.
Rumah gadang ketirisan
Rumah gadang adalah lambang eksistensi kaum yang harus dipelihara keadaannya, jangan sampai rusak, ketirisan. Bila saat ini rumah gadang tidak lagi berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, namun apabila rumah tersebut tetap dijaga, maka masyarakat akan tetap mengakui bahwa keluarga itu masih menjadi bagian dari warganya.
Identik dengan rumah gadang, di masyarakat moderen di kota-kota rumah masih tetap dijadikan lambang prestasi kaum-keluarga.
Saat ini kepemilikan atau perbaikan rumah sudah biasa menggunakan fasilitas utang (pegang-gadai) dari bank.
Lingkungan tetangga cari yang enak
Supaya keluarga betah di rumah
Tidak seperti kucing beranak
Setiap saat berpindah-pindah