Dalam percakapan sehari-hari di Ranah Minang sering ada orang-orang yang disebut sebagai: "manusia yang tak tahu di nan Ampek"
Sering juga secara umum orang ini disebut sebagai "orang yang tak punya adat" Alam terkembang, diciptakan oleh yang Maha Kuasa sebagai makhluk "Islam" atau patuh kepada jalan lurus dengan kadar atau takaran yang dapat dihitung. Tak ada manusia dari bangsa dan agama apapun yang mengingkari kebenaran angka-angka/bilangan. Manusia-manusia yang mampu membaca dan memakmurkan alam, dijanjikan Allah akan diberi pahala berlipat ganda sebagai bekal di akhirat nanti. Penemuan listrik, pesawat terbang, komputer, rekayasa genetika, astronomi dlsb. hanya dilakukan oleh orang-orang yang paham mengolah angka-angka bilangan.
Kegiatan manusia yang melibatkan nilai-nilai "angka bilangan" saat melihat, mendengar, mencium, meraba, merasa dengan lidah/mengecap segala sesuatunya disebut sebagai "memeriksa" atau "periksa" atau "pareso". Sedangkan rasa atau perasaan adalah persepsi seseorang saat berinteraksi dengan alam sekitar yang tidak dapat dinilai dengan angka bilangan, sehingga ukurannya bersifat kualitatif. Raso dibawa naik, pareso dibawa turun
Ciri-ciri manusia yang "tak tahu nan Empat" ialah:
Untuk mempermudah mengingat sifat-sifat seperti ini, lihatlah perilaku sehari-hari makhluk yang berkaki empat.
Bilangan "empat" atau "nan Empat" merupakan simbolisasi terhadap pentingnya penggunaan angka-angka untuk membaca (iqra') alam terkembang yang dijadikan guru.
Oleh sebab itu alam terkembang adalah kitabullah yang tidak tertulis
Angka/bilangan adalah sesuatu nan Benar yang ditampakkan Tuhan kepada manusia.
Dengan mengolah angka-angka, manusia mampu membaca serta memakmurkan alam, bahkan sekaligus juga bisa merusaknya.
Pengendali dari pareso ini berpusat di otak kiri.
Kegiatan "merasa" atau "rasa" atau "raso" pusatnya di dada, hati, atau batin.
Raso harus segera dibawa naik ke otak kanan, karena otaklah yang dapat dapat menilainya dengan angka-logika di otak kiri tadi.