OBROLAN SAUNG 2

Setelah berlatih silat, Abah Entum dan ketiga murid kesayangannya duduk-duduk di saung favorit mereka untuk melepas lelah sambil menyantap sepiring pisang goreng.

“Abah, tadi malam di kebun pisang saya mendengar ada dua jin dedemit yang lagi ngobrol bahwa si anu dan si anu sudah menjadi manusia ‘gampusan'. Maksud mereka apa, Abah? Apakah sejenis aliran musik baru?” tanya Asep.

Abah Entum terkekeh. “Bukan aliran musik, kasep. ‘Gampusan' itu istilah bangsa jin berdialek Madanglaya yang berarti manusia yang memiliki resistensi rendah terhadap bisikan-bisikan setan dari golongan jin maupun manusia.”

“Jadi para setan ini suka membisik-bisik? Tapi saya belum pernah tuh mendengar bisikan setan di telinga saya. Suaranya seperti suara apa, Abah? ” tanya Jajang, polos.

“Itu karena kamu tidak menyadari akan adanya bisikan itu. Pokoknya, setiap ide, konsep, pemikiran, dalam bentuk lisan, tulisan, maupun benda apa saja yang membuat kamu lupa dari beribadat dan berbuat kebajikan adalah bisikan setan. Terkadang kita sama sekali tidak menyadari akan adanya bisikan-bisikan ini karena terasa begitu wajar, menyenangkan, dan ‘innocent'.”

Wajar, menyenangkan, dan ‘innocent'? Maksud Abah seperti gimana?” tanya Jajang kembali.

“Misalnya, Anda sedang bermain game komputer. Sangat wajar dan menyenangkan, kan? Karena memang anak-anak seusia kalian wajar saja jika senang bermain. Tapi pernah nggak, saking asyiknya main kalian sampai lupa untuk bikin PR atau mandi?”

Ketiga pemuda itu tersenyum-senyum seraya mengangguk-angguk.

“Bikin PR dan mandi juga ibadat, anak-anak. Pokoknya segala sesuatu yang menghalangi kalian untuk beribadat dan beramal saleh adalah bisikan setan. Setiap kalian lupa atau lalai untuk beribadat kepada Tuhan, meskipun tidak terasa, PASTI para setan turut andil dan berperan di dalamnya. Baik para setan dari golongan jin maupun manusia.”

“Jadi si Mamat kemarin adalah setan, Abah?” tuduh Jajang.

“Heh! Sembarangan luh!” Mamat merasa tak suka dituduh sebagai setan.

“Bener, Abah. Kemarin sebelum tidur, dia ngebodor melulu sampai saya lupa untuk berdoa.”

“Alaaaa... kamu juga sama aja dong? Kalo kamu nggak ketawa melulu, saya juga nggak akan ngebodor terus, kan? Jadi kamu juga setan karena gara-gara kamu ketawa-ketiwi melulu, saya jadi lupa juga untuk berdoa.”

“Artinya kalian berdua sama-sama aja setan.” Asep menimpali seraya mengekeh, puas.

Mamat dan Jajang mendelik ke arah Asep. Mamat mencibir seraya mengacungkan tinjunya ke wajah pemuda itu.

“Termasuk kamu juga, Asep.” Abah Entum tersenyum tipis.

Asep tersentak. “Saya, Abah? Tadi malam saya tidak lupa untuk berdoa kok.”

“Tapi kamu juga tidak segera mengingatkan mereka, kan? Padahal kamu tahu bahwa mereka lupa. Para setan telah membuat kamu malas untuk mengingatkan mereka dan kamu kehilangan kesempatan untuk berbuat kebajikan dan beramal. ”

Asep hanya cengar-cengir.

“Selain itu, kamu juga baru saja menuduh serta mencemooh teman-temanmu sebagai setan hingga membuat mereka tidak enak hati. Itu juga pekerjaan setan. Segala sesuatu yang menyakiti hati orang lain adalah perbuatan setan. Ayo, kamu minta maaf sama mereka.” Abah Entum menepuk pundak Asep dengan lembut.

“Iya. Ayo, cepat cium tangan gue!”

Jajang menyodorkan punggung telapak tangannya ke arah Asep seraya tersenyum lebar. Asep mendengkus kesal.

“Itu juga kata-kata setan, Jajang. Kata-kata kamu membuat Asep, yang lebih tua dari kalian merasa tersinggung.”

Ketiga pemuda itu saling pandang lalu tertegun.

Abah Entum terkekeh. “Begitulah cara kerja para setan. Demikian lembut dan tak terasa, kan?”

Tapi Abah juga telah menuduh kami sebagai setan juga, kan?” celetuk Jajang.

Abah Entum terkesiap.

“Astagfirullah! Bener juga. Ternyata Abah juga masih gampusan. Maafin Abah, anak-anak.” Abah Entum menyodorkan telapak tangannya untuk menyalami ketiga pemuda itu. Mereka pun akhirnya saling bersalaman dan saling memaafkan.

“Maafin ogut, ya.” Asep menyalami Jajang dan Mamat. Jajang dan Mamat pun saling bersalaman.

“Heheh. Jadi kayak lagi lebaran aja, Abah,” komentar Mamat seraya tersenyum lebar.

“Bermaaf-maafan dan saling memaafkan tidak hanya saat berlebaran saja. Setiap saat pun kita bisa melakukannya, bukan? Bukannya memaafkan dan meminta maaf juga suatu ibadat? Orang yang lebih tua tidak perlu merasa gengsi untuk meminta maaf kepada orang yang lebih muda, meskipun orang itu adalah anak atau cucunya sendiri.”

“Iya. Terkadang kita suka gengsi kalau mau minta maaf. Apakah perasaan gengsi juga pekerjaan setan, Abah?” tanya Asep.

“Tentu saja. Perasaan gengsi timbul karena adanya rasa tinggi hati atau sombong. Karena merasa memiliki suatu kelebihan, baik berupa usia, pengalaman, jabatan, status sosial, atau pengetahuan, kita terkadang suka menganggap remeh orang lain.”

“Wah, jadi kita setiap saat harus selalu sadar akan segala tindakan kita agar tidak menyinggung hati orang lain, seperti tadi. ” Asep menyimpulkan.

“Betul, Asep. Ini suatu contoh yang baik, Anak-anak. Karena terasa sangat sepele , terkadang kita tidak menyadari bahwa kita telah menjadi setan untuk sesama kita sendiri. Pokoknya, segala sesuatu atau perbuatan sekecil apa pun yang menyinggung atau menyakiti hati sesama kita adalah perbuatan setan. Makanya kita selalu harus berusaha untuk dapat melihat dari kacamata orang lain. Seandainya saya jadi mereka, apakah saya akan tersinggung dan sakit hati atas perkataan atau perbuatan saya terhadap mereka? Begitu, Anak-anak. ”

“Tapi Abah tadi tidak menyakiti hati kita, kok. Kita memang salah, Abah.” Asep tersenyum lebar.

“Iya, Abah.” Dukung Mamat dan Jajang, hampir bersamaan.

“Alhamdulillah. Kata-kata kalian membuat hati Abah nyaman dan tenteram. Meskipun sederhana, kata-kata kalian adalah kata-kata malaikat.” Abah Entum tersenyum sangat lebar. “Setiap manusia bisa menjadi malaikat atau setan kapan saja, tergantung kondisi hatinya saat itu. Setiap kali kalian tersenyum, atau mengucapkan kata-kata yang baik sehingga membuat hati orang lain menjadi enak dan nyaman, itu artinya kalian telah mengalahkan para setan dan beramal saleh. Demikian sebaliknya, setiap kalian mencemooh orang lain dan menyakiti hati orang lain sekecil apa pun, itu adalah perbuatan setan. Kalian sendiri yang menentukan untuk berlaku sebagai malaikat atau setan. Paham?”

“Paham, Abah,” sambut mereka serentak.

"Abah punya tugas atau eksperimen yang cukup berat untuk kalian. Kalian bersedia?"

"Wah, eksperiman apaan, Abah?"

"Begini. Mulai saat ini, kalian catat segala perkatakan dan tindakan kalian lalu besok malam kalian tentukan dan pikirkan mana perkataan dan tindakan kalian yang bersifat setan dan mana yang bukan. Sanggup?"

Ketiga pemuda itu saling pandang lalu mengangguk serentak dengan semangat.

"Saya siap, Abah. Itu mah kecil, Abah!" Mamat menjentikkan jarinya seraya tersenyum lebar.

"Nah. Dapet satu..." gumam Abah Entum.

"Satu?" Mamat mengerutkan dahinya tak mengerti.

"Ya. Tadi kamu baru saja menyombongkan diri dan menganggap enteng tugas kamu, padahal kamu sendiri belum mencobanya, kan? Sebenarnya tugas ini cukup berat, anak-anak." Abah Entum mengerutkan dahinya sambil menatapi ketiga pemuda itu dengan wajah serius.

Mamat tersenyum kemalu-maluan seraya menepuk-nepuk dahinya sendiri.