The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Crisis Center PGI


Crisis Center PGI, 30 April 2004

Crisis Center Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
Jalan Salemba Raya No. 10
Jakarta Pusat
Phone +62-21-315-7208, +62-21-230-5687
Fax +62-21-315-7208

Press Release 30 April 2004

Situasi Ambon menuju chaos total?

1) Kota Ambon kini berada dalam situasi rawan dan kian memburuk akibat kegagalan aparat keamanan dan pemerintah menghentikan sesegera mungkin aksi-aksi kekerasan kolektif dan meluasnya konflik yang terus tereskalasi. Kegagalan juga terjadi di tingkat masyarakat yang telah main hakim sendiri dalam menyikapi isu FKM/RMS dan tidak mempercayakannya kepada aparat penegak hukum untuk menindak pengikut FKM/RMS yang telah melakukan tindakan melawan hukum. Jika ini terus terjadi dikuatirkan Kota Ambon akan menuju pada situasi chaos total. Sementara itu ekses konflik sudah semakin terasa, terutama sejak hancurnya pasar dan meningkatnya harga-harga, sementara pada pihak lain pendapatan masyarakat terus menurun. Selain aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, pemerintahan dan pembangunan juga terganggu, bahkan sejumlah aktivitas pembangunan yang sedianya didanai oleh sejumlah lembaga donor internasional dan negara asing telah ditangguhkan.

2) Diketahui bahwa Menko Polsoskam Ad Interim dan tim telah melakukan kunjungan ke Ambon dalam rangka mengambil berbagai langkah penghentian konflik dan kekerasan bersama-sama para tokoh masyarakat. Meskipun demikian kami mencatat sejumlah hal sejak kunjungan tersebut dilangsungkan, yaitu:

a) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa aksi-aksi kekerasan kolektif terus berlangsung. Sampai dengan tanggal 30 April 2004 tercatat setidaknya sejumlah lokasi yang terus menjadi titik rawan kekerasan, yaitu: Perigi Lima-Waringin-Batu Gantong-Talake, Sekitar Tugu Trikora-Pohon Pule, Perbatasan Batu Merah-Mardika, Karang Panjang Bawah dan Poka-Rumatiga. Total korban Muslim dan Kristen sampai tanggal 30 April 2004 tercatat berjumlah 238 orang, yang terdiri dari 33 orang meninggal, 82 orang rawat inap di 7 RS di Kota Ambon, dan 110 orang rawat jalan.

b) Koordinasi antara aparat pemerintah daerah dan pihak aparat keamanan yang lebih serius baru terjadi pada hari kelima setelah pecahnya konflik (tgl 30/4). Hal itu dibuktikan dengan diambilnya langkah pengamanan yang lebih serius, seperti perintah tembak di tempat oleh Pangdam, pengejaran terhadap penembak gelap, dll. Sangat disayangkan bahwa langkah tersebut baru diambil setelah jatuhnya korban jiwa, kerugian material dan hancurnya proses sosial yang sebelumnya sudah kondusif ke arah rekonsiliasi. Langkah tersebut diambil bersamaan dengan keluarnya sejumlah "SOS calling" dari pimpinan gereja-gereja di Maluku, baik protestan maupun katholik, yang merasa bahwa umatnya tidak lagi dilindungi dan tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan keamanan oleh negara dan aparat-aparatnya.

3) Situasi konflik di Kota Ambon sekarang ini sangat dipengaruhi oleh perubahan setting konflik dimana warga Kristen dan warga Muslim tanpa pilihan telah dijebak masuk ke dalam posisi saling berhadapan dan saling menghancurkan tanpa sadar dan berlangsung secara sistematis. Hal ini diakibatkan oleh setidaknya dua hal, yaitu: (a) opini publik bahwa konflik ini adalah konflik antara kelompok pro-NKRI melawan kelompok pro-FKM/RMS; dan (b) kegagalan dan kelambanan aparat kemanan menghentikan aksi-aksi kekerasan dan meluasnya konflik, bahkan terdapat indikasi keterlibatan aparat keamanan.

4) Perubahan setting konflik (yang di permukaan mewujud sebagai konflik antara kelompok pro-NKRI vs kelompok pro-FKM/RMS) telah mempengaruhi opini publik maupun perilaku konflik di lapangan. Setting itu juga menunjukkan adanya sejumlah kejanggalan dan ketidakbenaran kemasan opini yang dibentuk dengan kenyataan yang terjadi di lapangan sejak awal. Hal ini memberi indikasi bahwa pecahnya peristiwa kekerasan sejak 25 April 2004 merupakan sebuah upaya yang telah direncanakan, dan aparat keamanan gagal mencegah meluasnya konflik. Berlangsungnya perubahan setting konflik tersebut ditunjukkan dari tahapan berikut:

a) Ketika terjadi penghadangan dan aksi saling lempar di antara massa yang mengaku sebagai kelompok pro-NKRI dengan kelompok massa yang baru kembali dari Polda Maluku di sekitar kawasan Pohon Pule, ternyata diikuti oleh pelemparan bom dan granat. Meledaknya bom dan granat juga berlangsung dalam peristiwa peledakkan sejumlah gedung (diantaranya UN Center) dan pemukiman warga beberapa saat setelah penghadangan di Pohon Pule. Adanya bom dan granat yang meledak menunjukkan bahwa telah ada kelompok yang "mempersiapkan diri" dan/atau "telah dipersiapkan" untuk membuat kekacauan dan teror. Bukti lain yang menunjukkan bahwa konflik ini telah direncanakan adalah (a) menyebarnya konflik secara cepat (b) melalui penyerangan oleh kelompok perusuh pada waktu yang hampir bersamaan, (c) peristiwa penghadangan di Pohon Pule berlangsung hampir bersamaan waktu terjadinya penyerangan ke wilayah-wilayah pemukiman warga di beberapa lokasi yang jauh dari lokasi pristiwa Pohon Puleh. Isu yang membingkai terjadinya penyerangan-penyerangan tersebut adalah "perlawanan kelompok pro-NKRI terhadap kelompok pro-FKM/RMS."

b) Berbagai aksi penyerangan tersebut mula-mula disasarkan terhadap bangunan rumah dan perkantoran di wilayah pemukiman warga Kristen. Kondisi faktual tersebut secara sengaja dibuat untuk mengukuhkan opini publik Indonesia bahwa warga kristen identik dengan kelompok separatis pro-FKM/RMS. Sebaliknya, penyerangan yang dilakukan dari arah pemukiman warga Muslim secara tidak langsung mengukuhkan opini publik bahwa warga Muslim identik dengan kelompok anti-separatis dan pro-NKRI.

c) Aksi kekerasan kolektif pada kenyataannya berlangsung secara cepat dengan eskalasi yang terus meningkat. Tidak mengherankan jika sampai pada tanggal 25 - 27 April 2004 telah terbentuk opini publik (terutama akibat peran media massa) bahwa kelompok pro-NKRI melawan kelompok pro-FKM/RMS. Padahal secara faktual yang terjadi di lapangan adalah berlangsungnya konflik dengan identifikasi agama (meskipun jelas-jelas pula bahwa ini bukanlah konflik agama atau berakar pada masalah agama).

d) Sentimen antar agama di antara warga kota Ambon yang dibungkus rapih dalam kemasan "perlawanan kelompok pro-NKRI terhadap kelompok pro-FKM/RMS", semakin mengental akibat jatuhnya korban warga sipil. Ironisnya, penyiaran media massa kepada publik selama 3 hari pertama konflik selalu diidentifikasi berdasarkan label agama. Akibatnya masyarakat dibuat tidak sadar terhadap fakta konflik bahwa jumlah korban yang jatuh terbanyak diakibatkan penembakan oleh aparat keamanan dan juga penembak gelap.

e) Setting ini makin diperkuat dengan tidak segeranya diambil langkah identifikasi terhadap siapa anggota dan pendukung FKM/RMS. Opini publik bahwa warga Kristen pro-FKM/RMS dan warga Muslim pro-NKRI berakibat pada terjadinya penyerangan terhadap pemukiman dan warga kristen. Perlakuan destruktif ini dianggap sah-sah saja karena warga Kristen telah diidentikan sebagai pendukung separatisme. Kebijakan pemerintah untuk mengidentifikasi dan menangkap para pendukung FKM/RMS kemudian baru dilakukan pada hari kelima (30/4).

f) Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat kemanan untuk tidak dengan segera melakukan identifikasi terhadap siapa pendukung FKM/RMS, berakibat semakin meluasnya konflik. Baik dengan terbukanya ruang bagi aparat TNI dan POLRI dalam menggeneralisasi tindakan-tindakan kekerasan terhadap warga sipil tanpa pandang bulu, maupun terbukanya ruang bagi warga sipil untuk menggunakan kekerasan sebagai jalan penyelesaian.

g) Terbentuknya opini yang menyesatkan bahwa telah terjadi konflik antar kelompok pro-NKRI melawan pro-FKM/RMS berakibat pula pada pengabaian fakta konkrit terhadap terjadinya peristiwa penyerangan dan pembantaian warga sipil (termasuk Ibu hamil dan anak-anak) penumpang KM Doloronda. Penyerangan dan pembantaian tanpa dapat melakukan perlawanan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan pelanggaran HAM. Akibatnya peristiwa pelanggaran HAM ini tidak mendapat perhatian dari para pejabat, tokoh masyarakat, bahkan peliputan media massa.

5) Dari lapangan kami menerima laporan yang memberikan indikasi adanya keterlibatan aparat keamanan dalam peristiwa penyerangan terhadap pemukiman dan warga kristen, sebagai berikut: (kami kesulitan untuk mendapatkan informasi dugaan yang sama dari komunitas Muslim untuk mengkonfirmasi dugaan kami ini)

a) Peristiwa pembakaran gereja Nazareth pada tanggal 28 April 2004 diduga melibatkan aparat keamanan. Masyarakat telah menyatakan kesaksiannya dalam aksi di kantor Polda Maluku pada hari yang sama bahwa pembakaran gereja dilakukan oleh oknum dari Satuan Arhanud 11 yang bertugas di lokasi tersebut (Karang Panjang Bawah - perbatasan Batu Merah);

b) Terdapat sejumlah penembak gelap yang berkeliaran di lokasi-lokasi konflik. Diduga 2 orang anggota Brimob yang ditangkap dan 1 orang anggota TNI (yang ditembak mati karena melawan) adalah bagian dari mereka yang dianggap sebagai penembak gelap oleh masyarakat dan selama ini menembak ke arah pemukiman warga kristen.

6) Kami juga mempertanyakan sejumlah hal yang kurang mendapatkan perhatian berbagai pihak, baik pemerintah maupun tokoh masyarakat dan media massa, yang umumnya lebih diarahkan pada korban dan isu FKM/RMS. Perhatian tersebut umumnya mengabaikan fakta adanya kelompok agresor yang melakukan serangan dan teror terhadap warga.

Saat ini pihak yang bertindak agresif dan mengambil posisi "seakan-akan mewakili massa Muslim" telah nyaris tiba di pintu masuk salah satu kawasan pemukiman Kristen yang terbesar di Kota Ambon, yaitu kawasan Batu Gantong. Kawasan ini merupakan kawasan antara menuju kawasan Kudamati dimana terdapat rumah dr. Alex Manuputty yang rumahnya dipakai sebagai tempat perayaan HUT RMS tanggal 25 April 2004 lalu. Apabila kawasan ini dibumihanguskan hanya untuk mencapai kawasan pemukiman Kudamati dan mencari sejumlah pendukung FKM/RMS yang jumlahnya belum bisa dipastikan, maka perlu diperhitungkan efeknya terhadap menguatnya keyakinan bahwa warga Kristen tidak diberikan jaminan perlindungan keselamatan di negara RI. Semua pihak kini semakin menyadari bahwa konflik saat ini bukanlah konflik antar agama, namun identifikasi kelompok yang direduksi atas dasar agama merupakan preseden yang buruk bagi perwujudan perdamaian dan penegakan demokrasi.

Bukankah seharusnya jika konflik ini merupakan konflik antara kelompok pendukung FKM/RMS dan kelompok pendukung NKRI maka aksi-aksi kekerasan kolektif akan berakhir jika pemerintah mampu mengidentifikasi siapa pendukung FKM/RMS sejak awal? Jika sampai saat ini konflik masih berlanjut, pertanyaannya tentu, "apa yang dicari dari konflik ini?" Pertanyaan lainnya adalah, "jika para pendukung FKM/RMS yang dicari, mengapa pemukiman warga kristen diserang tanpa pandang bulu?"

Jakarta, 30 April 2004

Crisis Center PGI

Pdt. Lies Mailoa-Marantika
Ketua
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/nunusaku
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044