Crisis Center PGI, 27 April 2004
Press Release 27 April 2004
Setting konflik massal makin kukuh
Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon telah berlangsung dua hari, sejak pecah 25
April 2004. Sampai saat ini masyarakat Kota Ambon terus berada dalam kondisi
tegang dan berjaga-jaga, sementara itu korban terus berjatuhan. Aksi-aksi kekerasan
kolektif yang terus berlanjut akan menambah penderitaan dan jumlah korban, dan
karenanya aksi-aksi kekerasan kolektif tersebut harus segera dihentikan. Dalam
rangka penghentian kekerasan kami mencatat sejumlah hal sebagai berikut:
1) Penggunaan identifikasi kelompok yang berkonflik dalam kategori "kelompok
Pro-FKM/RMS (separatis) versus kelompok Pro-NKRI" adalah identifikasi yang justru
memberikan legitimasi bagi dilanjutkannya penggunaan tindakan kekerasan, baik oleh
aparat keamanan, pihak-pihak yang berkonflik dan pihak lain yang turut menyatakan
solidaritasnya.
Penggunaan identifikasi tersebut dipakai secara jelas dalam beberapa pernyataan
pejabat publik, antara lain: pernyataan Soetjipto, Wakil Ketua DPR-RI (Suara
Pembaruan, 27 April 2004) dan Hari Sabarno, Menko Polsoskam Ad Interim
(Kompas, 27 April 2004). Bahkan Soetjipto, Sekjend PDI-P, sebagaimana dikutip
Suara Pembaruan (27/4) menyatakan, "gerakan ini sebagai gerakan separatis murni
(........) jadi bedil-lah yang harus maju". Identifikasi tersebut juga dipakai oleh media
massa, misalnya dalam pemberitaan Harian Kompas, Suara Pembaruan dan
Republika pada hari Selasa 27 April 2004.
Penggunaan identifikasi tersebut di atas, dalam kenyataannya di lapangan, telah
membelah kembali masyarakat dan mendudukkan masyarakat berada pada posisi
konflik, tanpa ada pilihan lain, padahal kelompok FKM/RMS adalah sekelompok kecil
orang yang tidak setara jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Ambon
dan Maluku, serta tidak mewakili masyarakat Maluku secara umum atau pihak warga
kristen di Maluku secara khusus.
Akibatnya, dalam kenyataan di lapangan, saat ini konflik telah mengalami
transformasi, dari yang semula berlangsung antara pendukung FKM/RMS dengan
kelompok yang menyatakan pro-NKRI, kembali menjadi konflik yang menggunakan
identifikasi simbol agama (khususnya Islam - Kristen). Hal tersebut nampak di
lapangan ketika kelompok massa yang saling berhadapan terbelah atas dasar
agama. Identifikasi terhadap wilayah-wilayah yang diserang dan rumah-rumah yang
terbakar, yang adalah milik warga beragama kristen, telah memberikan kesan bahwa
warga beragama kristen adalah pendukung FKM/RMS. Bahkan harian Republika
(27/4) menulis, "massa pro-NKRI membakar kampus Universitas Kristen Indonesia
Maluku (UKIM) yang dinilai sebagai markas pengkaderan kelompok separatis RMS".
2) Tercatat juga pernyataan lain dari pejabat pemerintah yang menunjukkan bahwa
pemerintah menyederhanakan dan mereduksi fakta kerusuhan pada soal makar
semata, antara lain pernyataan Gubernur Maluku (RCTI, 27/4) bahwa "akar dari
pecahnya kerusuhan tanggal 25 April 2004 adalah tindakan makar dari kelompok
FKM/RMS". Pernyataan ini adalah pernyataan yang sarat tendensi militer dari
seorang pejabat sipil. Pernyataan ini tanpa sadar telah memperkuat kesan bahwa
aksi kekerasan kolektif terfokus pada soal FKM/RMS semata dan mengabaikan para
pelaku aksi kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM terhadap warga
yang bukan anggota FKM. Selain itu, pernyataan seperti itu telah menutupi fakta
bahwa telah terjadi identifikasi massa berdasarkan simbol-simbol agama, meskipun
konflik ini jelas-jelas bukanlah konflik agama.
3) Telah terjadi pengalihan perhatian publik terhadap sejumlah peristiwa yang
jelas-jelas mengindikasikan kelalaian, kelambanan, pembiaran maupun keterlibatan
pihak aparat keamanan, yang akhirnya membuat konflik meluas dan menyebar pada
sejumlah lokasi di dalam dan luar kota Ambon. Fakta begitu cepatnya penyebaran
wilayah konflik dalam waktu yang hampir bersamaan ini [yang seharusnya
menimbulkan pertanyaan tentang apakah perluasan konflik ini telah disiapkan] justru
tidak mendapat perhatian publik dan kurang diliput media massa. Perhatian publik
malah terus dikukuhkan pada setting konflik antara kelompok Pro-NKRI dengan
kelompok pendukung FKM/RMS.
Kami mencatat beberapa peristiwa kelalaian, kelambanan dan keterlibatan pihak
aparat keamanan, antara lain:
a) Dalam upacara peringatan HUT RMS di halaman rumah dr. Alex Manuputty di
Kudamati, yaitu lokasi yang sejak lama diduga merupakan pusat perayaan di Kota
Ambon, tidak dilakukan tindakan pencegahan sejak awal. Upacara "dibiarkan"
berlangsung selama hampir 50 menit, sebuah durasi waktu yang panjang dan tidak
biasanya "diberikan" aparat keamanan dalam dua tahun terakhir, dan bendera
berhasil dikibarkan.
b) Bukti lainnya adalah satuan aparat keamanan yang melakukan patroli sejak pagi
hari di wilayah Kudamati menjelang upacara perayaan HUT RMS (Kudamati adalah
lokasi peringatan HUT RMS) ternyata hanyalah satuan dari POLSEK SIRIMAU,
sebuah pilihan langkah pengamanan minimal yang tidak selaras dengan langkah
antisipatif aparat keamanan yang seharusnya maksimal. Satuan patroli itupun hanya
melakukan patroli di jalan raya dan tidak memasuki Lorong PMI, yaitu wilayah tempat
tinggal dr Alex Manuputty.
c) Ketika terjadi penembakan di sekitar Tugu Trikora terhadap massa yang saling
berhadapan, yaitu massa FKM yang pulang dari demo di POLDA dengan massa yang
menghadang dan mengidentifikasi diri dengan simbol merah-putih, ternyata tidak ada
satupun anggota TNI yang terlihat di lokasi tersebut, yang mengamankan hanyalah
aparat kepolisian. Situasi ini sangat kontradiktif dengan situasi pada Malam Hari
tanggal 24 April 2004, dimana tersebar banyak anggota TNI yang bergerak tanpa
senjata pada pemukiman warga di Kota Ambon, yang katanya hendak mengantisipasi
peristiwa perayaan HUT RMS, sementara pada saat itu hampir tidak terlihat adanya
anggota kepolisian. Meledaknya bom dan granat begitu terjadi peristiwa saling
lempar, serta ketika beberapa saat kemudian dipakai untuk meledakkan kantor UN
Center dan sejumlah pemukiman warga, menunjukkan ada kelompok yang "sudah
mempersiapkan diri". Lagi-lagi ini menunjukkan kualitas dan antisipasi yang dibuat
oleh aparat keamanan (termasuk kualitas aparat intelijen) sejak berminggu-minggu
sebelumnya perlu dipertanyakan.
d) Pembakaran Gereja Silo (25/4) diduga dilakukan oleh 3 orang oknum berpakaian
loreng tentara. Saksi mata melihat pada saat terjadi aksi saling lempar di sekitar tugu
trikora ada 1 truk tentara yang berhenti di dekat pintu masuk ke gereja. Beberapa
menit kemudian terdengar bunyi bom meledak diikuti rentetan tembakan yang
mengejutkan massa. Saat massa berlarian panik beberapa oknum berpakaian loreng
tentara terlihat menyelinap masuk ke dalam gereja. Terdapat anggota Perintis Polda
Maluku yang juga melihat keberadaan 3 orang oknum berpakaian loreng tentara yang
membawa jerigen masuk ke dalam Gereja Silo. Tidak terlihat bagaimana mereka
keluar, tetapi sesudah ledakan bom dan tembakan mereda, api terlihat menyala dari
lantai 2 Gereja Silo.
4) Seluruh pernyataan pejabat dan pemberitaan media massa bersifat sangat politis
dan sengaja dibingkai dalam setting kelompok separatis FKM/RMS VS kelompok
pro-NKRI. Pernyataan pejabat dan pemberitaan media massa yang demikian telah
mengabaikan dan "menutup mata" terhadap fakta telah terjadinya pelanggaran HAM
dan kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya terhadap anak-anak dan kaum
perempuan yang tidak melakukan perlawanan; seperti yang terjadi dalam peristiwa
penyerangan dan pembantaian terhadap para penumpang KM Doloronda, pada malam
tanggal 26 April 2004. Para penumpang yang diangkut dengan 2 buah truk Brimob
tersebut dicegat di depan pelabuhan yang berada di wilayah pemukiman warga
Muslim, kemudian sebanyak 22 orang diserang dan dibantai. Diantara korban
pembantaian itu terdapat anak-anak dan perempuan (diantaranya perempuan
hamil).Tercatat di rumah sakit, korban yang meninggal adalah seorang anak berusia 4
tahun (Iwan Talanila) dan seorang perempuan hamil yang meninggal di rumah sakit
(Ny. Yuyun Luhukay).
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan supremasi hukum,
berdasarkan uraian di atas, maka Crisis Center PGI menyatakan hal-hal sebagai
berikut:
A. Menuntut pemerintah agar segera mengidentifikasi warga yang merupakan anggota
FKM serta melakukan proses hukum secara tegas, adil dan transparan sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Hal yang sama juga dilakukan terhadap setiap
pelaku tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tanpa pandang bulu.
B. Menuntut pemerintah agar bertindak tegas melakukan penghentian kekerasan,
terutama dengan cara memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan
penyekatan serta bertindak tegas terhadap setiap orang yang melakukan tindakan
kekerasan.
C. Menuntut pemerintah untuk segera menghentikan praktek pemecahbelahan
masyarakat Maluku dengan menyatakan bahwa warga kristen tidak identik dengan
FKM/RMS dan bahwa anggota/pendukung FKM/RMS hanyalah segelintir orang,
karena identifikasi demikian telah menghancurkan masyarakat dan membawa korban
diantaranya terhadap mereka yang bukan pendukung FKM/RMS.
D. Menuntut pemerintah untuk merubah langkah-langkah pengamanan agar lebih
efektif, karena aparat keamanan dan pemerintah gagal melakukan penghentian
kekerasan dan perluasan konflik, meskipun jauh hari sebelumnya
digembar-gemborkan telah mengambil langkah antisipatif dan telah mengetahui
rencana kegiatan FKM.
Jakarta, 27 April 2004
Crisis Center PGI
Pdt. DR. Lies Mailoa-Marantika
Ketua
|